Mongabay.co.id

Ekosistem Laut Kepulauan Spermonde Rusak Parah

Gugusan pulau Spermonde ini kaya keragaman hayati, namun kini makin makin rusak oleh berbagai aktivitas dari penangkapan ikan tak ramah lingkungan sampai penambangan karang. 

Dari udara, jika memasuki wilayah perairan Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), akan terlihat gugusan pulau berjejer. Membentang sepanjang Selat Makassar bagian selatan. Beberapa di antara pulau ini cukup dikenal dan menjadi lokasi kunjungan wisatawan domestik antara lain Pulau Samalona, Kayangan, Barrang Lompo dan Pulau Lae-lae. Gugusan pulau ini dikenal dengan nama Kepulauan Spermonde, masyarakat lokal menyebut Sangkarang.

Konon nama Spermonde diberikan orang-orang Belanda, yang berasal dari kata sperm (sperma), karena dari udara pulau-pulau ini terlihat seperti pergerakan sperma yang berjejer.

Kepulauan  Spermonde berada di kawasan laut yang membentang dari Kabupaten Takalar hingga Kabupaten Barru ini. Kawasan yang dihuni 121 pulau ini memiliki tingkat keragaman karang cukup tinggi. Ada 78 genera dengan total spesies 262. Bagi pehobi olahraga penyelaman (diving) kawasan ini sudah tidak asing lagi. Sejumlah spot penyelaman cukup dikenal di kawasan ini antara lain: Mercusuar, Samalona West, DPL Point, Jetty/House Reef, Foliose Point, Baby Coral, Eliana Point, Nudieville, Kampung Anemone.

Titik selam terbaik di kawasan ini di Taman Laut Kapoposang, di Pulau Kapoposang, Kabupaten Pangkajene, Kepulauan (Pangkep). Di Kapoposang ini ditemukan terumbu karang dengan kontur curam (drop off), atau melintang secara vertikal membentuk sebuah dinding, jarang ditemukan di tempat lain.

Sebagai surga bagi penyelam, Spermonde juga sumber ekonomi utama masyarakat di daerah pesisir. Suplai ikan untuk kawasan Makassar dan sekitar sebagian besar dari kawasan ini.  Tuntutan produksi makin tinggi, berbagai cara eksploitasi hasil laut pun dilakukan,  marak dengan cara tidak ramah lingkungan, seperti pemboman, pembiusan dan penangkapan dengan jaring trawl atau pukat harimau.

Awaluddinnoer, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Universitas Hasanuddin, mengatakan, kerusakan habitat di Spermonde antara lain akibat pemanfaatan sumberdaya laut yang open access dengan pemanfaatan berlebih.

“Penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, seperti bom ikan, bius, dan jaring trawl menyebabkan potensi perikanan di kawasan ini dari tahun ke tahun makin menurun. Begitupun kualitas karang makin rusak akibat limbah dan sedimentasi di beberapa pulau,”  katanya.

Kondisi ini, diperparah dengan penambangan karang sebagai bahan bangunan, menyebabkan terumbu karang sebagai tempat hidup, memijah, pengasuhan, pembesaran dan mencari makan berbagai jenis biota laut makin rusak dan berkurang. “Terumbu karang Spermonde dari tahun ke tahun kian tergerus. Dampak dari penambangan karang mulai terlihat dari banyak pulau di sana mengalami abrasi hebat, bahkan ada yang mencapai dua smapai tiga meter setiap tahun.”

Penggunaan bom dalam skala besar selain membunuh ikan-ikan dalam skala besar juga menimbulkan kerusakan yang besar pada terumbu karang yang selama ini menjadi tempat hidup, memijah (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), pembesaran (rearing ground) dan mencari makan (feeding ground) berbagai jenis biota laut. Foto: Awaluddinnoer

Dari hasil penelitiannya di sejumlah pulau di kawasan ini, aktivitas pengeboman ikan ditemukan di hampir semua tempat. Kejadian sangat intens di sejumlah pulau seperti Pulau Lumu-lumu, Karanrang dan Bone Tambu.

Bom ikan kebanyakan dirakit sendiri oleh nelayan. Pembuatan sangat sederhana, tidak memerlukan keahlian khusus. Awalnya wadah bom bekas botol kecap, tetapi berkembang menjadi ukuran besar menggunakan jerigen ukuran 30 liter, untuk mendapatkan daya ledak yang lebih kuat.

“Warga berkilah bahwa jika wadah bom kecil hasil diperoleh pun sedikit. Dalam sehari kita bisa mendengar tiga hingga empat kali pengeboman di berbagai tempat khusus di Pulau Lumu-lumu, Karanrang dan Bone Tambu.”

Cara lain menggunakan racun sianida. Sianida ini bersifat membius hingga ikan akan mudah ditangkap. Dalam dosis tertentu penggunaan sianida ini justru dapat mematikan ikan dan menghancurkan terumbu karang dalam skala besar.

Aktivitas lain yang tak kalah merugikan, penggunaan jaring trawl atau pukat harimau. Jenis jaring ini dapat merusak terumbu karang dan kestabilan ekologi. Ukuran jaring makin kecil, hingga ikan ukuran besar dan kecil tertangkap semua. Bahkan seringkali biota laut dilindungi seperti penyu, hiu dan pari manta ikut tertangkap. “Ini menyebabkan penurunan populasi ikan di kawasan ini semakin berkurang secara drastis.”

Menurut Awaluddinnoer, penggunaan berbagai cara penangkapan ikan tak ramah lingkungan ini tak terlepas dari dukungan cukong atau punggawa ikan setempat.

Istilah Punggawa sendiri merujuk pada hubungan patron-client yang umumnya berkembang di perkampungan atau komunitas nelayan di Sulsel, biasa dikenal dengan Punggawa-Sawi. Hubungan ini diyakini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Punggawa merupakan pemilik modal dan Sawi peminjam atau pekerja atau buruh atau nelayan-nelayan kecil. Pemilik modal berhak membeli hasil tangkapan Sawi. Sawi berkewajiban menjual hasil tangkapan kepada Punggawa.

Masalah lain, dalam sejumlah terjadi sedimentasi di beberapa pulau dan banyak limbah sampah rumah tangga yang membuat kawasan ini menjadi kotor dan keruh. Dampaknya antara lain pada keberlangsungan hidup terumbu karang.  “Untuk Makassar aktivitas pembuangan limbah rumah tangga ke laut cukup besar, ada 12 kanal pembuangan mengarah ke laut. Ironisnya limbah melalui kanal ini tidak melalui proses penyaringan terlebih dahulu,” ujar dia.

Awaluddinnoer mensinyalir, rantai makanan biota laut di kawasan Spermonde makin terganggu dengan banyak temuan Acanthaster planci atau bintang laut mahkota berduri, selama ini dikenal sebagai predator terumbu karang.

Kehadiran Acanthaster dalam batasan populasi normal hal umum di ekosistem terumbu karang. Namun, dalam jumlah melimpah, hewan ini bisa memberikan dampak negatif bagi kehidupan karang. “Ia mampu merusak daerah terumbu karang dalam skala luas.”

Banyaknya, Acanthaster di Spermonde kemungkinan karena populasi ikan-ikan yang seharusnya memangsa mereka, seperti napoleon, makin berkurang bahkan habis.  Keadaan ini menunjukkan ada mata rantai terganggu karena ekspolitasi berlebihan.

Menghadap kondisi ini Awaluddinnoer menyarankan upaya konservasi komprehensif, mencakup semua aspek, termasuk penguatan kelembagaan masyarakat di kawasan Spermonde.“Persoalan kita upaya konservasi secara parsial, akhirnya tidak bisa menyentuh berbagai persoalan secara tepat.”

Selain itu, perlu pengawasan ketat terhadap berbagai aktivitas pengeboman dan pembiusan, termasuk memperketat aturan penangkapan ikan di hulu dan hilir.“Di pusat pelelangan ikan seharusnya ada proses sortir jenis ikan apa saja yang boleh diperjualbelikan termasuk bagaimana cara mendapatkan.”

Kepulauan Spermonde yang terdiri dari 121 pulau membentang dari Kabupaten Takalar hingga Kabupaten Barru ini, dibagi menjadi empat zona dengan menarik garis dari utara ke arah selatan. Konon nama Spermonde diberikan oleh orang-orang Belanda, yang berasal dari kata Sperm (Sperma), karena dari udara pulau-pulau ini terlihat seperti pergerakan sperma yang berjejer, sementara masyarakat lokal sendiri menyebutnya Sangkarang.
Exit mobile version