,

Menguak Masa Lalu Lewat Sedimen Danau Towuti. Seperti Apa?

Ingin mengetahui kondisi puluhan ribu tahun bahkan ratusan ribu tahun lalu? Apakah bisa? Bagaimana caranya? Inilah yang kini dilakukan Satrio Wicaksono, bersama tim ahli.

Pria kandidat doktor di Brown University Amerika Serikat, untuk kajian iklim purba ini bersama beberapa ahli iklim saat ini meneliti Danau Towuti dengan nama Towuti Drilling Project yang digagas sejak 2007. Kelompok ini melibatkan peneliti di lima negara yakni, Amerika Serikat, Jerman, Swis, Kanada dan Indonesia.

Di Indonesia, beberapa universitas dilibatkan seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Hasanuddin Makassar, Universitas Haluleo Kendari, dan Universitas Sam Ratulangi, Manado.

Peneliti iklim ini mengebor sedimen di Danau Towuti, dan membangun rig besar, seperti pengeboran minyak di lepas pantai. Saat mengunjungi lokasi di tengah danau, beberapa pipa transparan menumpuk. Pipa berdiameter 6,6 sentimeter inilah yang dimasukkan ke alat bor untuk menyimpan lumpur sedimen.

Di Towoti, kata Satrio, dengan alat ukur refleksi seismic, ketebalan sedimen batuan dasar danau mencapai 200 meter. Tumpukan sedimen inilah yang menjadi “harta karun” dalam menganalisis iklim. “Ini penelitian lanjutan dari 2010. Kami ingin mengebor hingga 150 meter. Dari angkka diperkirakan akan mengetahui kondisi iklim sekitar 700.000 tahun lalu,” kata Satrio.

Sebelumnya pada 2010, tim ini mengebor hingga kedalaman 12 meter. Hasilnya, ditemukan kondisi iklim hingga 60.000 tahun lalu. Pada kurun waktu 16.000 hingga 33.000 tahun lalu, terjadi perubahaan curah hujan ekstrim.  “Ternyata masa itu, iklim di sekitar danau ini kering. Hanya ada sabana atau stepa mirip Nusa Tenggara Timur, sekarang. Kemarau lebih panjang dan lebih kering.”

Pengaruh kekeringan itu, katanya,  bersamaan saat masa glacial atau zaman es. Dimana air lebih banyak terkonsentrasi di kutub. Permukaan air laut turun dan menyebabkan perubahaan curah hujan khusus di Sulawesi.

Peralatan kerja para tim peneliti di Danau Towuti. Foto: Eko Rusdianto
Peralatan kerja para tim peneliti di Danau Towuti. Foto: Eko Rusdianto

Tak hanya itu, sampel sedimen di kedalaman 12 meter, ditemukan abu vulkanik diperkirakan dari letusan gunung-gunung api di Sulawesi Utara. “Perkiraan awal kami abu vulkanik itu dari letusan dan pembentukan Danau Toba, namun setelah meneliti dengan melihat berbagai unsur, ternyata kandungan mineral tak sesuai.”

Rupanya, lumpur-lumpur sedimen ini tak hanya menyimpan rekaman iklim purba, melainkan berbagai hal yang diperlukan ilmu pengetahuan buat proyeksi masa depan. Adanya abu vulkanik ini akan menentukan sebarapa kuat letusan gunung berapi yang mambawanya. Sementara lapisan sedimen lumpur yang mengendap dan mengeras akan menunjukkan bagaimana proses terjadi Danau Towuti. “Jadi dengan sampel sedimen ini, kita akan tahu kapan terbentuk Towuti, bagaimana proses pembentukan danau,” katanya. “Kan selama ini usia danau masih sebatas perkiraan.”

Peneliti lain dari ITB seorang Geofisikawan, Satria Wicaksana, mengatakan, lapisan sedimen di Towuti ibarat seperti sebuah buku. Endapan-endapan seperti halaman-halaman yang perlu ditelisik dengan hati-hati.

Bayangkan untuk merinci setiap lapisan perlu rata-rata 0,2 mm, jadi satu mm untuk satu sentimeter didapat proyeksi iklim dalam satu dekade. Jadi mengukur setiap sentimeter, perlu sekitar 1.200 data.

Pada 2010, Wicaksana, menganalisis lapisan sedimen dengan melihat kecenderungan magnetik ditemukan tiga kecenderungan, yakni pada lapisan atas antara 16.000 tahun lalu hingga sekarang, sifat magnetik rendah. Pada 16.000 sampai 33.000 tahun lalu sifat magnetik lebih tinggi. Pada 33.000 sampai 60.000 tahun lalu lebih rendah lagi.

“Jadi yang rendah itu kami (tim peneliti) berasumsi, dari sekarang hingga 16.000 tahun lalu itu kondisi seperti saat ini, basah. Namun dari 16.000 – 33.000 tahun lalu, ada perubahan saat terjadi zaman es,” katanya.

Danau Towuti, di Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur. Foto: Eko Rusdianto
Danau Towuti, di Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur. Foto: Eko Rusdianto

Endapan-endapan sedimen ini juga merekam, kondisi lingkungan sektiar. Misa, pada masa kering antara 16.000 hingga 33.000 tahun lalu, di sekitar Danau Towuti tumbuhan lebih banyak rumput dan tumbuhan kecil. Bukan pohon-pohon besar seperti saat ini.

“Inilah kenapa endapan dan sedimen di Towuti sangat baik. Sedimen ini semacam kotak hitam yang akan selalu ditelisik.”

Dia mencoba membandingkan dengan beberapa model pengukuran dan proyeksi iklim menggunakan pohon jati, stalakmit ataupun coral. “Menggunakan lingkar pohon harus mendapatkan pohon usia tua, kalau usia hanya 300 tahun maka proyeksi iklim hanya sebatas itu. Jika menggunakan coral, proyeksi ikllim paling jauh hanya ribuan tahun, sama dengan stalakmit.”

“Saya kira kompleks Danau Malili–Matano, Mahalona, Towuti,  jika terus dijaga akan menjadi laboratorium penelitian danau paling baik di seluruh di Indonesia,” katanya.

Sulawesi jadi pusat

Mengapa Sulawesi dipilih menjadi pusat penelitian iklim? Mengapa Sulawesi menjadi begitu penting? “Secara umum Indonesia dan laut-laut di sekitarnya merupakan penghasil uap air dan laut yang paling hangat di dunia,” kata Satrio.

“Karena hangat itulah,  laut Indonesia menghasilkan uap air yang nanti  menjadi hujan, termasuk salju di Jepang atau Australia, itu datangnya dari Indonesia.”

Para pekerja melakukan perbaikan di pompa pengeboran. Foto: Eko Rusdianto
Para pekerja melakukan perbaikan di pompa pengeboran. Foto: Eko Rusdianto

Jadi, katanya, Indonesia semacam motor atau sistem penggerak iklim dunia. “Penelitian ini, untuk mengetahui iklim dunia, bukan hanya di Indonesia.”

Menurut Wicaksana, curah hujan rata-rata di Indonesia cukup tinggi menjadikan sangat penting dalam melihat dan mengamati perubahan iklim global. Di seluruh dunia, hanya ada tiga wilayah yang memiliki curah hujan ekstrim, hingga 3.000 milimeter per tahun, yakni Afrika, Amazon di Brasil dan Indonesia. “Sulawesi mencapai tingkat rata-rata hujan per tahun seperti itu,” katanya.

Fenomena lain, Indonesia dipengaruhi El-Nino dan La-Nina. “Nah Sulawesi ini merupakan batas El-Nino atau pusat. Jadi kalau orang mau tahu iklim di Indonesia, yang paling representatif itu berbicara tentang Sulawesi. Jadi Sulawesi ini adalah hotspot.”

Secara umum, Indonesia adalah negera kepulauan. Punya 17.500 pulau dengan panjang garis pantai 95.181 km. Ia terhampar dari ujung barat Sabang di Aceh hingga Merauke, Papua. Secara garis besar iklim Indonesia terbagi tiga, dimana iklim wilayah timur menjadi pembatas adalah Sulawesi dan sebagian kecil Jawa Timur. Kalimantan berbeda. Jawa dan Sumatera dipengaruhi oleh iklim di India. “Saat terjadi pembentukan Danau Toba 74.000 tahun lalu, akulumasi abu ternyata lebih banyak di India,” kata Wicaksana.

Antisipasi ketersediaan pangan

Buat apa mengetahui iklim masa lalu? Pertanyaan itu terus dilontarkan beberapa orang. Di Towuti bahkan, penelitian iklim ini beberapa kali ditolak masyarakat. “Saya kira iklim masa lalu mengajarkan kita untuk menyiapkan diri melihat iklim masa depan,” kata Wicaksana.

pengecekan melalui GPS lokasi pengeboran sedimen Danau Towuti. Foto: Eko Rusdianto
pengecekan melalui GPS lokasi pengeboran sedimen Danau Towuti. Foto: Eko Rusdianto

Dia mencontohkan saat kedatangan pertama kali orang-orang Inggris ke Australia pada 1800-an.  Para pendahulu ini menggambarkan kondisi wilayah yang cukup basah dan subur. Ternyata itu hanya sebuah anomali cuaca, dan sekarang Australia cukup kering dengan curah hujan sedikit.

Contoh lain, pada 1816, ketika Napoleon Bonaparte kalah perang. Orang-orang Eropa menganggap sebagai tahun sial, karena dianggap tahun tanpa musim panas dan tahun yang mencelakakan. Kemudian para peneliti iklim dunia mendapati, fenomena itu terjadi ketika Gunung Tambora meletus tahun 1815, dan abu menutupi langit Eropa.

Dia menjelaskan lagi dengan sederhana. Di hotel tempat kami berbincang di Sorowako, dia menunjukkan berita di halaman pertama yang menunjukkan keseriusan pemerintah menghadapi gejala El-Nino yang diperkirakan melanda Indonesia.

Beberapa kebijakan pertanian dibuat, menyiapkan pompa air hingga benih unggul. “Ini aneh saja. Jika pemerintah mengetahui sejarah iklim dengan beberapa siklus, maka kebijakan pertanian bisa saja untuk jangka panjang, bukan dadakan tahun per tahun. Itu akan menghabiskan anggaran.”

“Dulu waktu saya kecil, paman punya kebun cengkih. Dia mengharap panen raya, tapi mereka tak tahu seperti apa. Sekarang kita tahu, kalau panen cengkih itu tahun-tahun dimana EL-Nino terjadi, dimana kemarau panjang, karena hujan sedikit dan bunga gak rontok.”

Sedang petani padi tidak mau ada El-Nino panjang, malah ingin hujan panjang. “Jadi dengan ini kita tahu beberapa kecenderungan, dan akan melakukan apa.”

Menteri Pertanian atau instansi yang berhubungan dengan persoalan iklim, katanya, seharusnya bisa mempersiapkan dengan baik, bukan meraba-raba.

Lokasi pengeboran di Danau Towuti. Foto: Eko Rusdianto
Lokasi pengeboran di Danau Towuti. Foto: Eko Rusdianto
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,