Pengusaha Sawit Pengaruhi EPA untuk Batalkan Keputusan Mereka

Wilmar Internasional, perusahaan perdagangan dan pengolah minyak kelapa sawit terbesar di dunia, kini menyewa sebuah firma untuk melobi keputusan Environmental Protection Agency bahwa bahan bakar biodiesel berbasis kelapa sawit tidak akan memenuhi standar emisi gas rumah kaca di bawah Standar Bahan bakar Terperbarui (America’s Renewable Fuels Standard), seperti dilaporkan The Hill.

Wilmar Oleo Amerika Utara telah menyewa firma Van Ness Feldman untuk menekan EPA tentang temuan mereka bahwa bahan bakar biodiesel yang diproduksi berbasis kelapa sawit tidak akan menawarkan penurunan emisi yang substantifdibanding bahan bakar konvesional. EPA memutuskan hal ini berdasar atas analisis dari emisi siklus hidup dalam sebuah produksi minyak kelapa sawit, dimana dalam proses produksinya justru menghilangkan kerapatan karbon di hutan hujan tropis dan hutan gambut.

The Hill mencatat bahwa American Legislative Exchange Council (ALEC), sebuah grup konservatif yang menuliskan berdasar peraturan legislatif demikepentingan perusahaan perusahaan yang mendanai mereka, kini tengah bekerja untuk mengubah temuan EPA. “Keputusan EPA untuk membatasi perdagangan kelapa sawit adalah sebuah simbol pengabaian prinsip-prinsip perdagangan bebas yang menguntungkan banyak pihak,”dalam pernyataan grup ini yang diserahkan kepada EPA.

Group usaha dari Malaysia dan Indonesia juga memprotes keputusan EPA tersebut, masa untuk memberi tanggapan terhadap keputusan ini akan ditutup tanggal 27 April.

Namun grup pemerhati lingkungan mengatakan bahwa asumsi yang menjadi dasar keputusan EPA terlalu konservatif, terutama pada bagian bahwa lembaga ini mengharapkan hanya 9 persen ekspansi minyak kelapa sawit dari Malaysia, dan 13 persen di Indonesia yang diproduksi di lahan gambut. Namun dalam sebuah studi yang diterbitkan National Academy of Sciences menemukan bahwa setengah dari perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, Indonesia dibangun di lahan gambut. Konversi lahan gambut ini secara signifikan meningkatkan emisi gas rumah kaca.

“Adalah sebuah perkembangan yang mengganggu karena melihat sebuah grup yang bermotif politik seperti ALEC bergabung dengan lobi-lobi kelapa sawit dari Malaysia dan Indonesia, seprti juga layaknya grup usaha besar seperti Cargill dan Wlmar untuk menekan EPA untuk mengubah keputusan berbasis saintifik terbaik untuk rakyat Amerika,” Ucap Laurel Sutherlin bersama Rainforest Action Network, dalam sebuah pernyataan mereka.

“Emisi bahan bakar biodiesel dari kelapa sawit secara substansial telah melewati emisi bahan bakar konvensional,” tambah Jeremy martin, Penelit i Senior di Union of Concerned Scientists.

Standar bahan bakar yang bisa diperbarui menargetkan 7.5 milyar galon bahan baar yang bisa diperbarui untuk disatukan dengan bahan bakar di akhir tahun 2012. Inisiatif ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan dari minyak luar negeri dan menekan emisi dari transportasi, namun beberapa analis mempertanyakan efektivitas program ini, karena sejumlah besar “bahan bakar terperbarui” ini diharapkan dari ethanol jagung, yang menurut sejumlah aktivis lingkungan memiliki nilai plus dan minus secara lingkungan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,