Kebijakan Moratorium Hutan Mandul

PENUNDAAN pemberian izin baru (moratorium)  di lahan hutan dan gambut  hampir memasuki usia satu tahun. Sayangnya, kebijakan ini  tampaknya tak  mampu meredam perusakan hutan dan lahan gambut di Indonesia. Tata kelola hutan di negeri ini  tetap tak membaik. Dengan kata lain, kebijakan moratorium mandul. Demikian diungkapkan Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global di Jakarta, Kamis(3/5).

Koalisi ini antara lain, terdiri dari Greenpeace, Walhi, AMAN, HuMa,  Sawit Watch, Bank Former Center, dan Solidaritas Perempuan. Mereka meminta, dalam proses moratorium pemerintah harus berbasiskan hasil atau capaian bukan waktu. Juga harus ada transparansi dalam proses moratorium dan pelibatan publik secara luas hingga pencapaian komitmen penurunan emisi karbon di Indonesia, bisa efektif.

Setahun lalu, melalui Inpres no 10 2011, pemerintah menunda perizinan baru  di hutan primer dan lahan gambut. Inpres ini hanya mencakup penundaan pemberian izin baru dan hutan primer, serta tak berlaku bagi pemegang konsesi lama.

Yuyun Indradi, Juru Kampanye Hutan Greenpeace mengatakan, analisa Greenpeace memperlihatkan serial revisi peta indikatif penjundaan izin baru (PIPIB) menunjukkan keberpihakan pada usaha perusakan hutan, pengurangan luasa hutan, dan lahan gambut terus terjadi.”Berkat revisi pada periode Juni-November 2011 ada kehilangan 5,64 juta hektare dan 4,9 juta hektare berpotensi hilang pada periode November 2011 sampai Mei 2012,” katanya.

Salah satu contoh, ucap Yuyun, hasil investigasi Greenpeace yang menemukan penggunaan kayu ramin oleh APP. Laporan ini sudah disampaikan ke Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dan Kepolisian. “Kehutanan ada respon minta ke ke lapangan, tapi respon lama. Hingga dalam rentang waktu itu banyak sekali celah dan potensi menghilangkan barang bukti.”  Sikap ini, memperlihatkan Kemenhut seakan tak serius dan tak tegas dalam memperbaiki tata kelola kehutanan. Jadi, apa yang dimandatkan Presiden SBY melalui moratorium pun menjadi tak bermakna. “Tindakan nyata sampai saat ini belum kelihatan.”

Menurut dia, mengkaji ulang semua perizinan dan prosedurnya merupakan kunci keberhasilan moratorium sekaligus, perlindungan total kepada hutan dan lahan gambut Indonesia. “Tanpa itu, tata kelola kehutanan hanya jadi wacana belaka.”

Dedy Ratih, Manajer Kampanye Hutan Walhi berpendapat sama. Menurut dia, kebijakan moratorium seakan tak berarti apa-apa.  Mengapa? Penyebabnya, antara lain, pemerintah daerah seakan tak peduli ada kebijakan ini. Izin pengelolaan hutan masih diberikan oleh pemerintah daerah, seperti izin perkebunan sawit di Rawa Tripa, Aceh. Lalu, pengawasan kawasan yang masuk moratorium tak ada. Ditambah lagi, jika terjadi pelanggaran, tak dihukum. Bahkan lebih parah lagi, jika ada suatu kawasan masuk wilayah moratorium malah dikeluarkan.

“Jadi apapun ceritanya, dalam tataran aturan, di lapangan tak ada perbaikan,” ucap Dedy. “Inpres moratorium mandul, tidak berjalan!”  Pemerintah, katanya, seakan mengkerdilkan aturan yang telah mereka  buat sendiri. Dia khawatir melihat kondisi ini.  Dedy meminta ada tindakan cepat dan tegas dari pemerintah untuk memperbaiki keadaan.

Tak berbeda dengan Muslim, koordinator Jikalahari. Menurut dia, dengan melihat kasus seperti di Pulau Padang, Riau, jelas sekali perbaikan tata kelola hutan tak berjalan. “Kenyataan pemerintah lebih berpihak kepada perusahaan besar daripada masyarakat yang terkena dampak.”  Sejak 2009, penduduk desa di Pulau Padang, Riau, protes menolak kehadiran perusahaan pulp dan kertas April yang menguasai 41.205 hektare lahan.

Habsoro dari Forest watch mengungkapkan, dalam satu tahun, moratorium ini tak berarti. Pemerintah dalam moratorium seharusnya tak berdasarkan waktu, tetapi hasil yang dicapai. “Moratorium yang benarlah, jangan ecek-ecek,” ujar dia.

Dari konflik pertanahan selama 2011, 97 kasus sektor perkebunan, 36 kehutanan, 21 kasus sektor infrastruktur, delapan kasus pertambangan dan satu kasus wilayah tambak (pesisir).  Menurut koalisi, kondisi ini menunjukkan dengan moratorium belum terjadi perbaikan tata kelola sektor kehutanan. Sebab, tidak menyentuh aspek sosial, tak atas tanah dan akses masyarakat atas sumber daya alam.

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,