,

Pemerintah Klaim Berhasil Tekan Perusakan Hutan

Greenpeace heran data dipertanyakan padahal yang mereka gunakan bersumber dari Kementerian Kehutanan

PEMERINTAH mengklaim berhasil menekan laju kerusakan hutan. Data teranyar dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) disuguhkan. Pernyataan ini sekaligus menanggapi data Greenpeace tentang kehilangan dan potensi berkurang lagi lahan hutan dan gambut dari peta moratorium.

Data Greenpeace menyebutkan, selama revisi peta kawasan yang masuk moratorium, pada Juni-November 2011, hutan dan gambut berkurang sekitar 5,64 juta hektare (ha). Lalu, revisi kedua November 2011-Mei 2012, potensi hilang dari peta berkisar 4,9 juta ha.

Melalui Agus Purnomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim pada Minggu(6/5), pemerintah mengeluarkan pernyataan pers. Menurut dia, sebagai negara berkembang, dengan puluhan juta penduduk hidup di ambang batas dan di bawah garis kemiskinan, Indonesia memiliki hak membangun ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. “Hanya melalui pembangunan ekonomi adil dan berkelanjutan, Indonesia bisa menyumbang hasil pengurangan emisi karbon,” katanya.

Hak membangun ekonomi dan mengentaskan warga dari kemiskinan, kata Agus, tidaklah sama dengan hak menciptakan polusi gas rumah kaca. Sebab, pembangunan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang sedang melalui MP3EI dan MP3KI bersungguh-sungguh melalui cara-cara bersahabat dengan iklim dalam keterbatasan sumber daya dan teknologi yang dimiliki saat ini.

Dia mengungkapkan, tuduhan Greenpeace ada 5 juta ha hutan dirusak untuk pembangunan perkebunan merupakan hal yang sulit dipahami karena sangat berbeda dengan laporan lembaga PBB (FAO). Begitu juga catatan Kemenhut yang menyatakan laju deforestasi dalam beberapa tahun terakhir berkurang secara drastis, menjadi sekitar 500 ribu ha setiap tahun.

Agus mencantumkan data kehutanan dari Kemenhut 2012. Di sana, menunjukkan, periode 1990-1996, laju deforestasi 3,51 juta hektare per tahun. Lalu, 1997-2000, kerusakan hutan sebanyak 3,51 juta ha per tahun akibat kebakaran hutan, desentralisasi dan penegakan hukum yang lemah. Pada 2001-2003, turun menjadi 1,08 juta ha, 2009-2011 menjadi 0,45 juta ha per tahun.

Agus ingin mengundang Greenpeace untuk menjelaskan metodologi yang menyatakan kerusakan hutan itu hingga jelas duduk perkara. “Apakah angka ini khayalan atau angka yang akurat yang membuat penurunan laju deforestasi Indonesia harus dikoreksi.” Agus menuding, dramatisasi terhadap kejadian dalam skala kecil adalah metoda yang sering digunakan beberapa pihak, baik LSM maupun pengusaha. “Ini untuk memperoleh perhatian dari pemerintah, masyarakat dan pengamat ekonomi dan pelestarian lingkungan di dalam dan luar negeri.”

Greenpeace malah heran dengan pernyataan ini. Karena yang mereka bahas bukan laju deforestasi, tetapi kawasan moratorium yang berpotensi hilang atau dikeluarkan dari peta revisi. Terlebih lagi, data Greenpeace bersumber dari Kemenhut. “Saya juga heran, kok yang dibahas dan dibantah tentang deforestasi. Padahal, yang kami bicarakan bukan deforestasi, tapi soal moratorium. Ini juga data dari Kementerian Kehutanan, jika mau kami beri link dan data bisa di-download, ada sumbernya,” kata Kiki Taufik, Kepala Pemetaan dan Penelitian Greenpeace di Jakarta, Senin(7/5).

Menurut Kiki, hampir semua data dari Kemenhut. Hanya, data izin tambang batu bara diperoleh dari Asosiasi Pertambangan Baru Bara Indonesia.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Yuyun Indradi menambahkan, dari data Kemenhut itu tampak peta moratorium revisi Juni-November 2011, ada pengurangan kawasan sebesar 5,64 juta ha. Dari pemerintah ada beberapa penjelasan, salah satu kawasan moratorium masih tumpang tindih dengan wilayah konsesi.

Berdasarkan data itu, Greenpeace melakukan pemetaan, terlihat masih banyak kawasan moratorium tumpang tindih dengan konsesi. Dari perhitungan ada sekitar 4,9 jut ha yang berpotensi hilang dari peta dalam revisi November 2011-Mei 2012 ini.

Dalam Inpres no 10 tahun 2011 itu, kata Yuyun, memang ada pengecualian antara lain, wilayah yang sudah berizin termasuk izin prinsip dikeluarkan dari moratorium. “Artinya, wilayah yang tumpang tindih jadi potensi dikeluarkan juga.” “Perhitungan Greenpeace, dari data Kemenhut dan peraturan pemerintah itu.” Greenpeace, katanya, hanya menggarisbawahi kawasan moratorium yang masih tumpang tindih, dan diperoleh data 4,9 juta ha.

Yuyun mengungkapkan, sampai saat ini, data perizinan terus masuk, termasuk izin prinsip. Sejau ini terus berproses, izin prinsip lalu berubah jadi defenitif, dikhawatirkan tak ada tambahan perlindungan terhadap hutan dengan ada moratorium. “Demand kita, revisi semua izin eksisting. Jadi semua clear.”

Dari kekhawatiran ini, tak berlebihan jika Koalisi Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global berusaha mengingatkan pemerintah. Memang benar, ucap Yuyun, Inpres tak akan menyelesaikan semua masalah kehutanan di negeri ini. Namun, setidaknya, dari Inpres ini, koalisi berharap, pemerintah melalui Kemenhut dapat memperbaiki tata kelola hutan dan prosedur perizinan. “Kami belum melihat perbaikan ini.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,