Ikut Berperan Lewat Partai Hijau Indonesia

ISU lingkungan belum menjadi bagian penting bagi pembuat kebijakan. Belum ada komitmen kuat ke arah itu. Ditambah lagi, pemahaman akan isu lingkungan masih minim hingga tak menjadi pertimbangan penting dalam menyusun kebijakan. Padahal, Indonesia sudah krisis lingkungan. Hingga isu ini tidak bisa lagi sekadar perspektif, tetapi sudah harus menjadi prioritas dan bagian inti dalam kebijakan di negeri ini. Partai Hijau Indonesia(PHI) pun muncul digagas Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Partai yang akan diisi aktivis dan figur-figur peduli lingkungan ini akan dideklarasikan Juni 2012.

Direktur Eksekutif Walhi, Abetnego Tarigan mengatakan, konsolidasi tengah dilakukan oleh para aktivis. “Jika sesuai rencana, Juni atau Juli ini sudah dideklarasikan pembentukan PHI,” katanya di Jakarta, Jumat(11/5).

Dia mengungkapkan, melihat waktu yang sudah dekat, PHI tak akan ikut bertarung dalam pemilihan umum (pemilu) 2014, tapi persiapan 2019. Abed mengatakan, pembentukan PHI ini, jangan disamakan dengan partai politik lain. PHI tak berniat menjadi pemenang pemilu. Partai Hijau, di negara maju seperti Eropa sekalipun belum ada yang menjadi pemenang pemilu. “Memang itu bukan target, tetapi yang terpenting bisa ikut terlihat dalam pembuatan kebijakan. Ikut berperan.”

Dia mengatakan, pembentukan PHI ini sudah lama dipikirkan oleh aktivis Walhi. Secara keorganisasian pun, Walhi sudah berpikir ke arah sana. Sebab, ada begitu banyak upaya dari masyarakat sipil menyuarakan masalah lingkungan, tetapi jarang menemukan jalan keluar alias mentok, bertemu jarang buntu. Tidak bisa dilaksanakan. “Apa itu dalam kebijakan atau juga dalam bentuk praktik di lapangan.”

Abet mencontohkan, Walhi mengorganisasi para pemerhati isu lingkungan, dan organisasi sosial untuk mendorong UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). “Kemudian ketepatan momentum yang pas UU bisa lahir, tapi itu situasi last minutes DPR periode 2004-2009, waktu itu. Pertanyaan, bagaimana UU itu dijalankan. Ga ada PP (peraturan pemerintah-red). Artinya kita lihat bagaimana sebenarnya secara politik tidak ada komitmen yang kuat dari penyelenggara negara ini,” katanya.

Belum lagi, ada begitu banyak usulan dan gagasan berhenti. Karena lagi-lagi, penyelenggara negara yang berasal dari partai politik tak memiliki komitmen, wawasan dan pemahaman cukup terkait isu-isu lingkungan. Kondisi ini diperparah krisis lingkungan yang terjadi saat ini. “Isu lingkungan sudah tak bisa lagi hanya ditempatkan dalam kebijakan prespektif, tapi sudah harus menjadi salah satu prioritas di dalam seluruh kebijakan yang ada.“

Saat ini, kata Abed, dalam kebijakan pembangunan, isu lingkungan seakan selalu kontra dengan pembangunan. Padangan ini tentu tak adil, di mana aspek ekonomi lebih dominan hingga selalu berhadapan (face of face) dengan soal lingkungan. “Itu suatu cara berpikir yang salah ketika menempatkan pembangunan memang berpusat pada satu sektor atau bidang ekonomi saja,” ujar mantan Direktur Sawit Watch ini.

Dari aktivis Walhi juga pernah membentuk ormas, Serikat Hijau Indonesia.Namun, jika hanya menempatkan pendekatan berbasis pada format gerakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan ormas, tak cukup. Kemudian muncul gagasan yang lebih besar dan memperluas jangkauan melalui PHI. “Tapi, ada satu yang perlu saya sampaikan di sini, tidak ada pengurus Walhi yang di Partai Hijau itu. Pengurus aktif, tidak ada,” ucap Abet.

Abet, juga menekankan, yang duduk di dalam PHI secara struktur tidak ada kaitan dengan Walhi. “Itu ga ada kaitan dengan struktur. Secara program juga tidak ada. Tapi secara pemikiran dan pandangan-pandangan tentu banyak hal yang sama.” Sebab, mereka yang digerakkan atau yang bergerak ke ruang politik adalah mantan aktivis Walhi atau aktivis lingkungan secara lebih luas.

Jika berbicara partai, kata Abet, tentu akan mencakup hal-hal yang lebih luas. Mereka yang konsern dalam gerakan lingkungan akan bergabung. “Mereka yang konsern dengan konservasi, mereka yang konsern dengan pendidikan lingkungan itu akan tergabung.”

Walhi sendiri, sebagai LSM, punya karakter tersendiri. Ia sebagai kelompok penekan yang selalu menjaga jarak dan membangun relasi dengan para pihak dengan tepat. “Hingga tak harus menghilangkan mandat Walhi sebagai kelompok penekan.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,