Hutan Indonesia Masih Jadi Sumber Konflik

PRODUSEN terbesar kayu jati dunia, sebuah perusahaan milik negara Indonesia di pulau Jawa, PT Perhutani,  kembali dianugerahi sertifikasi pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management/SFM). Meskipun begitu, perusahaan yang kadang berselisih dengan masyarakat sekitar hutan dan hutan hak adat ini masih berpotensi menjadi penyebab konflik.

“Hak atas tanah telah lama menjadi sumber kekerasan di Jawa,” kata Rhett Butler, ahli lingkungan terkemuka dan pencipta sebuah situs berita lingkungan, Mongabay.com, mengatakan kepada IRIN seperti dikutip dari Jakarta Globe.

Perhutani, merupakan perusahaan kehutanan milik negara Indonesia (badan usaha milik negra/BUMN), memanfaatkan 2,4 juta hektare hutan di Jawa – tujuh persen dari luas pulau – dengan pendapatan sekitar US$400 juta pada 2011.

Pada 2011, Perhutani sudah secara sukarela ikut  mempromosikan manajemen ramah lingkungan untuk mendapatkan sertifikasi. Namun, perusahaan ini beroperasi di kawasan yang  pernah digunakan penduduk asli. Mata pencaharian penduduk asli ini masih banyak yang tergantung pada.

Muhammad Firman, Direktur Pemanfaatan Hutan Kementerian Kehutanan mengatakan, perusahaan memerlukan sertifikasi FSC guna bisa masuk ke pasar kayu yang bernilai tinggi di Amerika Serikat dan Eropa.

SFM menyeimbangkan penggunaan hutan saat ini dengan pelestarian untuk generasi yang akan datang. Sertifikasi ini mulai tahun 1980 an dan diberikan kepada perusahaan-perusahaan kehutanan oleh sekitar 60 organisasi independen di bawah dua payung kelompok utama. Yakni, Program for the Endorsement of Forest Certification (PEFC),sistem sertifikasi kehutanan terbesar di dunia dan Forest Stewardship Council (FSC).

Sebanyak  20 sampai 30 persen dari hutan di Amerika Utara dan Eropa memiliki sertifikasi ini. Asia tertinggal jauh, dengan hanya dua sampai empat persen.

Namun, banyak aktivis percaya jika sertifikasi SFM kurang memperhatikan  masyarakat lokal, lebih pada lingkungan dan memfasilitasi perdagangan antara perusahaan-perusahaan kehutanan dan pembeli kayu di dunia barat.

“Ketika masyarakat lokal tak memperoleh hak untuk menggunakan hutan secara tradisional, tak ada pencantuman program yang sepenuhnya menutup kerugian mereka. Ini bukan pertanyaan tentang pengecualian atau pencantuman,” kata Deddy Raith,  dari Walhi.

Ambrosius Ruwindrijarto, Presiden Telapak, lembaga non pemerintah di Indonesia,  mengatakan, sampai hari ini Perhutani masih memiliki tanggung jawab penuh atas hutan mereka. “Apa yang kami inginkan adalah komunitas utama penebang kayu menjadi rezim pengelolaan pohon baru di Indonesia.”

Martua Sirait, analis kebijakan di Aceh untuk the Nairobi-based World Agroforestry Center menyatakan,  pengelolaan hutan telah mengabaikan hak-hak tanah adat dari 40 sampai 60 juta orang sejak 1960 an.

Pembalak kayu ilegal skala besar kerap aktif di hutan-hutan dan penduduk lokal yang terkena bahaya, dengan kadang-kadang terlibat, atau tertangkap dalam baku tembak.

The Forest Trust (TFT), sebuah lembaga donatur  internasional berbasis di Jenewa melaporkan,  dalam memerangi  pelaku kayu ilegal, antara 1998 dan 2008 patroli bersenjata Perhutani dituduh membunuh 32 orang dan melukai 69 orang.

“Perhutani kehilangan sertifikasi SFM pada 2002. Dan meminta bantuan TFT  untuk  menentukan langkah-langkah agar mendapatkan kembali,”  kata Scott Poynton,  Direktur Eksekutif TFT.

Program ‘melepas senjata’ dimulai pada 2003, Perhutani menyediakan dari penjualan kayu dan produk hutan bukan kayu untuk penduduk sekitar hutan. Sebagai timbal balik, menempatkan penduduk sebagai penjaga hutan.

Namun, kedua pihak baru menyerahkan senjata mereka pada 2009. ”Hal ini menjelaskan mengapa perkelahian mematikan masih berlangsung sampai 2008,” ucap Poynton.

“Perdamaian tetap rapuh karena penyebab yang mendasari hak hutan yang tidak sama tak terselesaikan. Perhutani bisa lebih baik menjual produk-produk mereka, tetapi penduduk desa menerima terlalu sedikit, “kata Hasbi Berliani, Manajer Kemitraan, lembaga non pemerintah.

Dia mengutip sebuah evaluasi berkelanjutan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Evaluasi LIPI menunjukkan, kemiskinan antara rumah tangga adat masih belum berkurang.

“Penduduk desa telah diberikan $19 juta antara 2005 dan 2010,” kata Bambang Sukmananto, CEO Perhutani, seraya menyebutkan,  pada  2011 sertifikasi SFM diberikan atas upaya perusahaan.

Memberikan hak hutan lebih besar untuk masyarakat adat menjadi tren yang berkembang di Asia. Ia bertujuan tak hanya pada menjaga mata pencaharian warga desa juga meningkatkan perlindungan lingkungan. IRIN

Artikel yang diterbitkan oleh
,