Living Planet Report 2012: Eksploitasi SDA Tekan Bumi

WWF merilis laporan tentang kondisi kesehatan planet bumi (The Living Planet Report) 2012 pada Selasa(15/5). Dalam laporan itu menunjukkan peningkatan populasi dunia mengakibatkan meningkatnya permintaan sumber daya alam.

Keadaan ini menyebabkan, tekanan luar biasa pada keanekaragaman hayati. Juga berdampak pada kesehatan, kesejahteraan, dan keamanan masa depan penduduk bumi.

The Living Planet Report 2012 menggunakan Global Living Planet Index untuk mengukur perubahan pada kesehatan ekosistem planet dengan memantau 9.000 populasi dari sekitar 2.600 spesies. Indeks global ini menunjukkan, hampir 30 persen mengalami penurunan sejak tahun 1970.

Dengan penurunan paling besar pada wilayah tropis, sebanyak 60 persen dalam waktu kurang dari 40 tahun. Selain tren penurunan keanekaragaman hayati, ecological footprints atau jejak ekologis—sebagai indikator kunci laporan ini—menunjukkan konsumsi sumber daya alam ini tidak lestari.

Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF Indonesia dalam pernyataan pers mengatakan, manusia menggunakan sumber daya bumi 50 persen lebih banyak dari yang mampu disediakan secara berkelanjutan.

Apabila, penduduk dunia, tidak mengubah tabiat ini, laju permintaan akan terus tumbuh dengan cepat.“Pada 2030 dua planet pun bahkan tak akan cukup untuk mendukung kebutuhan kita,” katanya di Jakarta.

Laporan ini menekankan, dampak pertumbuhan peduduk dan konsumsi berlebihan merupakan pendorong utama tekanan yang terjadi pada lingkungan.

Menurut dia, laporan ini seperti sebuah chek-up kesehatan bagi planet. “Hasilnya mengindikasikan bahwa planet kita sedang sangat sakit,” kata Jonathan Baille, Direktur Program Konservasi Zoological Society of London.

Jadi, kata Baille, mengabaikan diagnosis ini memberi dampak sangat besar bagi manusia. “Kita bisa memulihkan kesehatan Bumi, dengan menilik akar penyebabnya, yakni pertumbuhan populasi dan konsumsi berlebihan.”

Laporan ini juga menggaris bawahi dampak urbanisasi sebagai bagian dari dinamika pertumbuhan. Pada tahun 2050, dua dari tiga orang akan tinggal di kota. Hal ini memerlukan cara baru yang lebih baik dalam mengelola sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan manusia.

Menurut Nazir, 9 miliar atau bahkan 10 miliar orang yang hidup berbagi planet pada 2050, bisa tetap memiliki masa depan berkecukupan, pangan, air dan energi.

Syaratnya, harus ada pengurangan limbah, pengelolaan air dan penggunaan sumber daya terbarukan dari energi yang bersih dan berlimpah seperti panas bumi dan sinar matahari.

Perbedaan antara negara kaya dan miskin juga menjadi sorotan dalam laporan ini. Rata-rata jejak ekologis yang dihasilkan negara berpendapatan tinggi lima kali lebih besar dibandingkan negara berpendapatan rendah.

Negara kaya sangat perlu menurunkan jejak ekologi secara nyata, dan memberikan ruang kepada negara miskin untuk berkembang.

Jejak ekologis atau ecological footprint adalah sistem yang mengukur seberapa banyak ruang (di darat dan air) yang diperlukan manusia untuk menghasilkan sumber daya yang mereka habiskan, serta menyerap limbah yang mereka hasilkan.

Sepuluh negara dengan jejak Eekologis terbesar per orang adalah: Qatar, Uni Emirat Arab, Denmark, Amerika Serikat, Belgia, Australia, Kanada, Belanda dan Irlandia.

Turbin angin yang menghasilkan energi, salah satu cara menyelamatkan bumi dengan mencari alternatif dengan energi terbarukan. Foto: Diambil dari situs resmi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI

Menurut global Living Planet Index, penurunan keragaman hayati sejak 1970 lebih cepat terjadi di negara berpendapatan rendah . Kondisi ini menunjukkan, bagaimana negara miskin menyangga gaya hidup negara-negara kaya.

Anjloknya biokapasitas atau kemampuan suatu wilayah memulihkan sumber daya akan memaksa suatu negara mengimpor sumber daya dari ekosistem di luar negara. Keadaan berpotensi memberikan kerugian jangka panjang.

Mathis Wackernagel, Presiden dari Global Footprint Network mengungkapkan, tumbuhnya ketergantungan sumber daya dari luar memberikan risiko sangat besar bagi banyak negara.” Krisis ekologi menjadi pendorong bagi permasalahan perekonomian dunia,” ucap Wackernagel.

Wackernagel mengatakan, menggunakan lebih banyak sumber daya alam dari batas yang dimiliki sangat berbahaya. Sayangnya, sebagian besar negara terus menempuh kebijakan ini.

“Kalau negara-negara itu tidak mulai memantau dan mengelola defisit biokapasitas dari sekarang, mereka tidak hanya menempatkan planet ini pada posisi berbahaya, tetapi juga diri mereka sendiri.”

Laporan ini menguraikan sejumlah solusi yang diperlukan dalam memulihkan Living Planet index dan mendorong jejak ekologis ke batas yang mampu ditanggung planet ini.

Terdapat 16 langkah prioritas, termasuk perbaikan pola komsumsi, dan memberikan nilai ekonomi pada modal alam (natural capital). Juga menciptakan peraturan serta kerangka kebijakan yang memberi kesetaraan akses terhadap pangan, air dan energi.

Melukis di Sungai Citarum. Sungai Citarum harus diselamatkan dari pencemaran limbah yang makin parah. Foto: Greenpeace
Melukis di Sungai Citarum. Sungai Citarum harus diselamatkan dari kerusakan akibat pencemaran limbah yang makin parah. Foto: Greenpeace

Laporan ini diluncurkan lima minggu sebelum negara, pelaku bisnis dan masyarakat sipil bertemu di Konverensi Tingkat Tinggi PBB untuk pembangunan berkelanjutan (Rio+20) di Rio de Janeiro.

Pertemuan ini telah berlangsung 20 tahun sejak konferensi Earth Summit. Ini pertemuan kunci yang memberikan kesempatan para pemimpin dunia melihat ulang komitmen mereka k menciptakan masa depan berkelanjutan.

“Rio+20 bisa dan harus menjadi momen bagi perwakilan pemerintah untuk menentukan arah baru pembangunan keberlanjutan. Pertemuan ini merupakan peluang bagi koalisi pemerintah dan pelaku bisnis untuk bergabung dan memainkan peran penting menjaga keberlangsungan planet ini,” kata Nazir.

Laporan yang disusun bersama oleh WWF, Zoological Society of London dan Global Footprint Network, diluncurkan dari Stasiun Antariksa Internasional oleh seorang Astronot Belanda, André Kuipers.

Dalam misi kedua dari stasiun luar angkasa European Space Agency itu, André memberikan perspektif unik mengenai kondisi planet bumi.

Kuipers mengatakan, meskipun praktik tak ramah lingkungan masih terus terjadi di bumi masih ada kesempatan menyelamatkannya. Bukan hanya untuk kepentingan saat ini tetapi  generasi akan datang.

“Kita hanya memiliki satu bumi. Dari atas sini saya bisa melihat jejak ekologis yang ditinggalkan manusia seperti kebakaran hutan, pencemaran air dan erosi. Semua adalah tantangan-tantangan yang terangkum dalam laporan Living Planet Report ini,” ucap Kuipers.

Video Living Planet Report 2012

Lembar fakta: http://awsassets.wwf.or.id/downloads/lpr_country_facts_indonesia.pdf

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,