,

Suku Moi di Papua, Dibayar Murah Melepas Lahan Demi Kebun Sawit

Sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit membayar suku Moi di Papua hanya 6.000 rupiah per hektar untuk tanah senilai 5.000 dollar per hektar setelah ditanami, berdasarkan laporan yang dibuat oleh Environmental Investigation Agency (EIA) dan LSM dari Indonesia, Telapak. Laporan ini juga memuat kesepakatan-kesepakatan yang tidak adil lainnya dalam bisnis kayu dengan perusahaan yang sama, yang mengingkari janji mereka untuk memperbaiki pendidikan dan infrastruktur.

“Orang Papua, adalah salah satu warga termiskin di Indonesia, sudah dieksploitasi dalam kesepakatan perkebunan kelapa sawit dan membawa kentungan sangat besar bagi investor asing dan mengorbankan rakyat serta hutan di Papua Barat,” Kata Jago Wadley, Senior Forest Campaigner dari EIA dalam pers rilisnya.

Selama penelitian di tahun 2009, EIA dan Telapak telah mewawancarai suku Moi tentang interaksi mereka dengan produsen kelapa sawit PT Henrison Inti Persada (PT HIP). Kendati suku Moi tidak pernah menerima salinan kontrak, namun EIA berhasil menyimpan kontrak dengan tulisan tangan untuk 1.420 hektar hutan.

“Model kesepakatan yang satu sisi seperti ini diwarnai oleh persuasi dan tekanan dari pihak perusahaan yang didukung oleh staf pemerintah lokal, dan sesekali intimidasi dari militer dan kepolisian,” diungkapkan laporan tersebut. “Para pemilik tanah telah bersedia melepaskan hak atas tanah mereka dan dibayar dengan uang tunai di depan, mereka juga dijanjikan untuk mendapat keuntungan lainnya seperti rumah baru, kendaraan, dan pendidikan gratis bagi anak-anak mereka.”

Namun, pada kenyataannya suku Moi dibayar 7000 kali lebih murah dibanding keuntungan yang diharapkan bisa diraih oleh perusahaan tersebut, dan semua janji-janji yang diucapkan tidak pernah menjadi kenyataan.

Pihak suku memberitahu EIA bahwa alasan mereka menandatangani kontrak adalah karena adanya janji pihak perusahaan memberikan pendidikan gratis. Namun, mereka tidak diberitahu bahwa pendidikan gratis hanya diberikan kepada sejumlah siswa yang dipilih perusahaan yang akan mendapat pendidikan politeknik selama 3 tahun di Jawa secara gratis – namun dengan syarat. Sebagai gantinya, semua siswa yang dikirim untuk belajar ini harus berkomitmen untuk bekerja di perusahaan sawit ini, yaitu PT HIP selama tujuh tahun. EIA menyebut skema ini sebagai “tanaga kerja yang diwajibkan.”

Noble Group, raksasa perdagangan komoditi yang memiliki saham mayoritas di PT HIP, tidak memberikan respon atas pertanyaan yang dikirimkan oleh Mongabay.com terkait laporan tersebut dan dan apakah mereka akan menindaklanjuti penyimpangan tersebut.

Laporan ini kemudian mengarah pada tuduhan ke negara Norwegia yang mengambil keuntungan dengan melakukan eksploitasi kepada orang Papua dengan berinvestasi di Noble Group, meski negara ini menghabiskan miliaran dollar untuk melakukan start awal di Indonesia untuk menekan deforestasi. Norwegia adalah pendukung utama program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) di Indonesia, namun pada saat yang bersamaan berinvestasi di Noble Group senilai 50 juta dollar dengan dana mereka yang berlimpah.

“Norwegia mungkin sekarang adalah negara investor terbesar -yang secara tidak langsung- dalam deforestasi di Papua dan Papua Barat,” ungkap laporan tersebut, dimana juga ditambahkan bahwa hal ini “Bagaimana sebuah pasar investasi global yang belum direformasi mempertahankan insentif yang kemudian menjadi ancaman terbesar bagi hutan dan kesusesan REDD+.”

EIA menyatakan penting bagi pemerintah Norwegia untuk segera menarik investasi mereka untuk dua tahun, namun pada kenyataannya “Kementerian Keuangan dan Kantor Perdana Menteri masih melanjutkan otorisasi untuk meningkatkan investasi dalam menghancurkan hutan Indonesia – sebuah investasiyang jauh lebih besar daripada yang dibayar kepada Indonesia untuk menekan emisi akibat deforestasi.”

Eksploitasi ekonomi atas tanah bukan satu-satunya isu. Suku Moi juga dibayar dibawah harga pasaran untuk kayu mereka, seperti disebutkan laporan tersebut. Kayu Merbau yang mahal (Intsia bijuga) diolah oleh Group Kayu Lapis Indonesia (KLI) didapat dari suku Moi senilai 250 ribu rupiah per kubik meter, namun dijual di pasar internasional seharga lebih dari 8 juta rupiah per kubik meter. Secara keseluruhan, KLI mencetak laba 9 juta dollar dari investasi ini, dengan pembeli utama dari Australia sebanyak sepertiga dari kayu olahan ini. Merbau sebagian besar digunakan untuk lantai kayu, dan telah mencapai tahap eksploitasi berlebihan dan mulai langka di beberapa negara Asia Tenggara.

EIA juga menemukan beberapa temuan lain dalam membabat hutan untuk keperluan perkebunan yang dilakukan sebelum izin dikeluarkan dan hutan ditebang secara liar. Para aktivis lingkungan internasional meminta pemerintah Indonesia dan pemerintah propinsi untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap penyimpangan yang terjadi.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,