Peta Google Bisa Tunjukkan Deforestasi di Sumatera

Google sumbangkan perangkat pemetaan kepada WWF dan Eyes on the Forest untuk mendukung upaya konservasi

KOALISI lembaga non pemerintah, Eyes on the Forest membangun perangkat baru yang memungkinkan publik memvisualisasikan hutan dan hidupan liar di Sumatera seperti badak, harimau, gajah dan orangutan.

Alat ini juga memberikan informasi penting tentang penyelamatan hutan alam dan keragaman hayati serta upaya pemberdayaan masyarakat lokal.

Proyek pemetaan ini sumbangan pertama dari tim Google Earth Outreach untuk penggunaan Google Maps Engine, sarana hosting, penyimpanan, dan pengelolaan data peta.

Hutan alam Sumatera habitat bagi badak, gajah, harimau dan orangutan  yang telah menyusut sangat cepat. Sekitar 50 persen hutan alam Sumatera hancur sejak 1985. Kebanyakan  karena penebangan untuk kebutuhan produksi kertas dan sawit.

Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia mengatakan, peta ini menggambarkan detil penyempitan dan hilangnya wilayah jelajah empat satwa kunci Sumatera dari waktu ke waktu.

Pemetaan ini, akan memberikan gambaran tutupan hutan, penggunaan lahan, dan keanekaragaman hayati yang dikumpulkan dari hasil kerja-kerja lapangan selama puluhan tahun di Sumatera.

Peta-peta yang ditampilkan akan memberikan gambaran tentang nilai-nilai ekologis dan kultural Sumatera yang luar biasa. “Keanekaragaman hayati dan kehidupan liar yang menakjubkan, serta cadangan karbon di lahan gambut yang sangat besar,” katanya.

Peta ini, alat tepat memberikan informasi penataan ruang untuk menyelamatkan hutan tropis. Kerja sama Google Earth, WWF, dan Eyes on the Forest, ucap Nazir,  makin mempermudah pembuatan peta, hingga tak ]hanya dimengerti orang-orang dengan spesialisasi tertentu.

“Kami yakin pemberdayaan masyarakat sipil dengan informasi seperti ini akan bisa menyelamatkan sisa hutan di Sumatera, sekaligus membantu restorasi hutan yang sudah rusak.”

Peta dari Eyes on the Forest

Database ini, bisa mengidentifikasi penyebab deforestasi, penghancuran habitat dan pelepasan karbon dari lahan gambut. Para pengguna, bisa membuat peta mereka dengan lapisan-lapisan data Eyes on the Forest, seperti hutan alam yang hilang, sebaran satwa, dan prioritas konservasi.

“Juga prioritas restorasi, lahan terdegradasi dan wilayah dilindungi pemerintah,”ucap Nazir.

Tanya Birch, Manajer Program Google Earth Outreach mengatakan, sebagai penerima sumbangan teknologi ini, Eyes on the Forest bisa menggunakan sarana Google Maps Engine cloud-base untuk berbagi data hutan kepada semua orang.

“Organisasi nirlaba dapat mudah menciptakan peta-peta sendiri untuk membantu memvisualisasikan data-data mereka dengan menambahkan lapisan-lapisan informasi di atas Google Earth and Maps.”

Muslim Rasyid, Koordinator Jikalahari, menambahkan, proyek ini langkah maju bagi Eyes on the Forest. Sebab, peta sarana kuat membuka jendela kepada dunia tentang kondisi hutan, khusus di Sumatera.

“Kami berharap Google selalu memperbarui teknologi citra satelit ini, hingga dunia dapat melihat fakta-fakta tentang penghancuran hutan di Sumatera. Siapa yang berbuat, kemana produk-produk dijual.”

Peta ini, bisa diperlihatkan kepada pengambil kebijakan agar mendorong perlindungan hutan alam yang tersisa di Sumatera.

Cikal bakal proyek pemetaan ini adalah Laporan WWF tahun 2010 berjudul “Sumatra’s Forests, their Wildlife and the Climate. Windows in Time: 1985, 1990, 2000 and 2009” yang dibuat berdasarkan penelitian selama delapan tahun di lapangan. Juga kontribusi analisis dari banyak individu dan lembaga yang bekerja untuk isu-isu di Sumatera.

Mereka mengumpulkan data selama berpuluh tahun tentang deforestasi, spesies dan hutan untuk memperoleh pengertian lebih baik tentang lokasi deforestasi, wilayah paling kritis dan lokasi konflik manusia – satwa.

Eyes on the Forest (EoF) adalah koalisi LSM Lingkungan di Riau, Sumatera. Ia terdiri dari Walhi Riau, Jikalahari (Jaringan Penyelamat Hutan Riau), dan WWF-Indonesia Program Riau.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,