Korban Lapindo, dari Bertenda di Tanggul sampai Terjerat Bunga Bank

SUTIKNO, kesal dan kecewa. Perlunasan ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya, belum ada kejelasan hingga kini.  Warga korban lumpur Lapindo asal Desa Jatirejo Kecamatan Porong ini pun nekad mendirikan tenda di dekat semburan utama lumpur.

Awalnya, pria 57 tahun ini mengontrak rumah di Krembung, Sidoarjo. Dia warga korban lumpur yang masuk peta terdampak sesuai Perpres No 14 Tahun 2007. Kontrak rumah habis. Ganti rugi tak jelas. Diapun terpaksa pindah dan menginap di tanggul lumpur sumur titik 25.

Di tenda berukuran dua kali tiga meter itulah, kini dia tinggal.  Sutikno memasak dan tidur di sini. Untuk mandi dan buang air dia menumpang di rumah warga yang juga korban lumpur Lapindo.

“Banyak yang bilang saya stres, padahal saya ini waras-waras saja,” katanya seperti diberitakan Jurnal Nasional, Selasa pekan lalu. .

Sutikno  nekad karena tak ada jalan lain untuk mendapatkan perhatian Lapindo agar segera membayar pelunasan ganti rugi .

Sampai saat ini, ujar dia, kekurangan ganti rugi atas lahan dan rumah di Desa Jatirejo sekitar Rp162 juta.  Guna menopang kehidupan keluarga, Sutikno harus utang sana kemari. Ke sanak famili dan para tetangga.

Sambil berutang, dia menunggu sisa pembayaran ganti rugi dilunasi. Jadi uang bisa  buat bayar utang dan membeli rumah lagi. “Dulu saya punya toko kecil-kecilan di rumah. Sejak rumah saya ditenggelamkan lumpur Lapindo, saya tidak bekerja lagi.”

Selama bertenda, Sutikno mengandalkan kail, senapan angin dan sabit untuk makan. Kail untuk memancing ikan, senapan untuk menembak burung atau hewan lain yang bisa dimakan. Lalu, untuk mencari sayuran atau tumbuhan.  Dia tidur hanya beralaskan selembar tikar. “Saya akan terus di sini hingga kekurangan pembayaran dilunasi,” ucap Sutikno.

Yudi Wintoko, koordinator lapangan (korlap) korban lumpur Lapindo kepada Mongabay, mengatakan, sampai saat ini pelunasan ganti rugi memang belum kunjung selesai padahal sudah berjalan enam tahun. “Ini pemerintah gagal menjalankan fungsi melindungi rakyat,” katanya.

Terbaru, perusahaan milik keluarga Aburizal Bakrie ini berjanji melunasi ganti rugi pada Juni ini. Dari nilai ganti rugi sekitar Rp918 miliar, PT Lapindo hanya menyanggupi membayar Rp400 miliar.

Yudo mengatakan, ada 8.000 an keluarga masuk peta terdampak, dengan 4.000 an berkas. Berkas lebih sedikit, kata Yudo, karena banyak satu berkas itu berisi beberapa keluarga.

Porong sebelum semburan lumpur Lapindo, 2005. Foto: www.crisp.nus.edu.sg

Dia meminta, perhatian serius bagi korban Lapindo, baik dari pemerintah pusat maupun daerah. “Jangan jadikan kami mainan politik hingga masalah ini berlarut-larut tak ada penyelesaian.”

Pemerintah, harus melihat betapa warga Lapindo sudah kehilangan kehidupan mereka. Warga kehilangan mata pencaharian, kini hidup dalam kesulitan.

Menurut dia, banyak warga yang menggadaikan ATM dan buku tabungan ke pihak lain untuk mendapatkan uang guna melanjutkan hidup.

Tempat tinggal juga menjadi masalah.  Menurut Yudo, ini berawal dari kesepakatan warga dengan REI Jatim, yang difasilitasi Soekarwo, Gubernur Jawa Timur (Jatim).

Warga mendapatkan hak tinggal di perumahan yang dibangun REI dengan kredit dari BPD Jatim. Sekitar 600 keluarga mengambil rumah—kini masih hak tinggal dan warga berusaha agar mejadi hak milik.

Rencana awal, kata Yudo, Soekarwo, berjanji akan membantu warga mendapatkan perlunasan ganti rugi dari PT Lapindo Brantas. Uang ganti rugi itu nanti untuk membayar cicilan rumah. “Namun, sampai sekarang, perlunasan ganti rugi belum dapat. Cak Karwo (gubernur-red) pun berkelit.”

Warga kesulitan membayar cicilan. Kini, mereka pun menanggung bunga atas keterlambatan cicilan rumah. “Berita yang kami dengar selama ini, yang menyediakan rumah ini dari pemerintah. Jangan salah, ini semua atas usaha kami. Kami sekarang menanggung bunga bank. Tolong luruskan ini.”

Porong setelah lumpur Lapindo pada 2008. Foto: www.crisp.nus.edu.sg

Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Bambang Catur mengatakan, yang  ditangani pemerintah selama enam tahun ini, baru seputar pembangunan fisik atau infrastruktur. Namun, dampak kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat sama sekali terlupakan.

Pemerintah pusat maupun daerah, belum ada yang andil dalam membantu kesehatan warga. Padahal, dampak lumpur Lapindo, banyak warga sakit. “Salah satu, bisa dilihat warga yang sakit ISPA, meningkat tajam.”

Boro-boro perbaikan kualitas lingkungan dan kesehatan warga, penanganan fisik ataupun penggantian hak milik warga yang sudah ada aturan pemerintah saja, belum selesai. “Harusnya dari 2009 sudah selesai ganti rugi. Ini sampai sekarang masih tak jelas,” ucap Catur.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,