Pertahanan Terakhir Badak Paling Langka

Pada 5 Juni 2012, Indonesia mendeklarasikan Tahun Badak  Internasional

Video dari Taman Nasional Ujung Kulon

BERJALAN melintasi lumpur becek dan rerumputan, kami menemukan sebuah kubangan yang bau. Para jagawana berpakaian serba hitam di hawa tropis yang panas ini, menandai lokasi itu dengan unit GPS. Mereka mengukur kubangan itu, lalu melanjutkan langkah.

Ini sebuah tanda-tanda keberadaan salah satu hewan paling langka di dunia, badak Jawa. Badak ini hanya tersisa sekitar 40 ekor, semua bebas di alam liar. Sisa hutan hujan tropis dan rawa-rawa di Taman Nasional Ujung Kulon, di ujung paling barat pulau Jawa, adalah habitat terakhir mereka.

Hingga dua tahun silam, hal ini tidak terjadi. Populasi badak Jawa kedua terbesar di dunia, yaitu di Vietnam, adalah sebuah sisa-sisa dari spesies yang dulu ada di seluruh penjuru Asia. Namun badak Jawa di Vietnam akhirnya musnah saat pemburu liar menembak hewan terakhir yang tersisa di Taman Nasional Cat Tien.

Sang pemburu pun mendapatkan hadiah: cula sang badak, yang di dalam pengobatan tradisional China berharga lebih dari US$65 setiap kilogram, jauh lebih mahal dari emas sekalipun.

Badak Jawa tidak sendirian. Organisasi International Union for Conservation of Nature (IUCN) menyatakan tiga dari lima spesies badak yang tersisa sebagai nyaris punah alias selangkah menuju kepunahan. Saudara terdekat badak Jawa, yaitu badak Sumatra dan Kalimantan, juga mengalami nasib serupa.

Salah satu dari badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Foto: TNUK

Para ahli menyatakan kemungkinan kelangsungan hidup dari spesies-spesies ini di tahun mendatang hanya 50 persen.

Mari kita lihat di Afrika – rumah bagi tiga spesies badak, dengan total 20 ribu ekor- hanya sedikit lebih baik. Menjulangnya harga cula, dan dipicu oleh meledaknya permintaan dari kelas menengah di Vietnam dan China, membuat pembunuhan massal terus terjadi terhadap badak.

Afrika Selatan, rumah dari 70 persen badak liar di dunia, kehilangan 448 ekor akibat perburuan liar tahun lalu. Ini sebuah rekor baru. Sementara, badak hitam western, sebuah sub-spesies dari badak hitam, sudah dinyatakan punah tahun 2011. Penyebabnya sama: perburuan liar.

Badak Borneo, subspises dari badak Sumatera. Foto: Jeremy Hance

Tekanan-tekanan yang menyebabkan kebinasaan badak tidak pernah berhenti. Dalam jangka panjang, hilangnya habitat menjadi penyebab utama. Namun seiring dengan penurunan jumlah mereka, ancaman terhadap setiap ekor badak menjadi yang utama.

Di Afrika, dimana badak menyebar di seluruh padang savana dan seringkali berada di wilayah yang tidak terlindungi atau kurang terlindungi, permintaan terhadap cula badak menjadi ancaman utama.

Di Asia Tenggara, dimana badak hidup di hutan hujan tropis yang relatif terlindungi, dan dijaga jagawana, kurang cocoknya habitat tempat hidup dan wilayah kepadatan spesies yang rendah menjadi ancaman utama.

Badak hitam Afrika n

Kondisi badak Jawa memang paling berbeda. Habitat tunggal mereka adalah area hutan yang muncul sebagai dampak dari erupsi Gunung Krakatau tahun 1883. Debu vulkanik dan tsunami membunuh setiap mahluk di tempat yang kini bernama Taman Nasional Ujung Kulon. Karena takut akan terjadi letusan serupa, area ini dibiarkan kosong, membuat hutan bisa tumbuh kembali dan menjadi habitat badak Jawa, di pulau yang kini menjadi pulau terpadat di Indonesia.

Para aktivis lingkungan kini bekerja keras untuk memperluas habitat badak Jawa. Yayasan Badak Internasional atau International Rhino Foundation bekerja dengan mitra lokal mereka Yayasan Badak Indonesia (YABI) dan pengelola taman nasional berupaya memperluas status kawasan seluas 3.000 hektare (ha) hutan. Sebenarnya dibutuhkan 38.000 ha untuk habitat badak Jawa.

Upaya ini tidak akan mudah: badak harus bersaing dengan manusia yang melakukan perambahan, penebangan hutan untuk pertanian dan jebakan perburuan liar yang membahayakan hewan-hewan.  Termasuk hewan yang sebenarnya tidak menjadi target seperti badak.

Pada 2010 dan 2011, pengelola taman nasional, bersama YABI, berhasil meyakinkan 70 petani untuk meninggalkan lahan yang mereka tanami secara ilegal di dalam Taman Nasional Ujung Kulon.  Dengan kompensasi, mereka dapat hidup di luar area taman nasional. Namun ancaman di dalam taman dari para pemburu liar masih jadi masalah.  Itu sebabnya pasukan patroli YABI yang terlatih bertindak.

Badak Jawa yang terpantau kamera Taman Nasional Ujung Kulon.

Unit khusus ini, yang berkoordinasi dengan upaya konservasi dari pengelola taman nasional, memiliki tugas khusus melindungi dan memonitor populasi badak Jawa.  Mereka mencurahkan waktu dengan berjalan di dalam hutan, mendokumentasikan berbagai macam tanda keberadaan badak hingga berbagai tindakan ilegal.

Meskipun terkadang tidak secara langsung menemukan badak itu sendiri (sebagai ilustrasi tahun lalu mereka hanya berjumpa sekali dengan badak dalam operasi jelajah patroli 2.842 kilometer).

Unit ini sebagian besar adalah penduduk desa lokal yang membantu YABI. Dengan pemahaman kebutuhan lokal dan jaringan serta informasi berguna dalam aktivitas perburuan dan aktivitas ilegal lain. YABI membayar staf dengan sangat baik, sekaligus menjadikan sebuah simbol status di desa-, ketika lapangan pekerjaan sangat terbatas.

Manajer Perlindungan Badak YABI, Muhammad Waladi Isnan mengatakan, pengembangan wisata alam yang menyajikan pesona pasir putih dan terumbu karang yang indah. Termasuk pemandangan hutan di pulau Peucang, yang berjarak lebih kurang 1,5 km dari daratan Ujung Kulon merupakan tempat wisata.

Namun, jika anda bukanlah turis yang memiliki banyak uang, perjalanan ke Ujung Kulon memerlukan komitmen luar biasa.  Desa Tamanjaya, sebuah desa paling dekat dengan Taman Nasional harus ditempuh sekitar enam sampai tujuh jam berkendaraan roda empat dari Jakarta. Untuk mencapai Pulau Peucang, perlu tiga sampai lima jam tambahan, tergantung kepada kondisi cuaca dan laut.

Waladi mengatakan, perbaikan jalan menuju Tamanjaya akan memfasilitasi pariwisata dan meningkatkan akses ke pasar bagi petani. Termasuk menghasilkan harga lebih tinggi bagi produk tanaman mereka. Namun, jalan yang lebih baik bisa berarti menarik masuk penduduk ke daerah  itu—yang akan menempatkan lebih banyak tekanan pada Ujung Kulon dan si badak.

Ketika badak dilindungi dari perburuan liar, kelangsungan hidup mereka ini tidak berarti sudah terjamin.  Karena alasan-alasan lain di luar risiko bencana.  Habitat dan pakan kunci badak di Ujung Kulon kalah dari pohon sejenis aren invasif yang dikenal secara lokal sebagai Langkap  (Arenga obtusifolia).

Langkap yang tidak dapat dikonsumsi oleh badak, menyebar secara cepat dan menginvasi tumbuh-tumbuhan pakan badak yang ditanam.  Saat ini, YABI bekerja sama dengan pengelola taman nasional memberantas vegetasi langkap dimanapun mereka menemukan.

Sayangnya, upaya yang paling efektif menghilangkan langkap dengan cara menggali menggunakan tangan, — sebuah usaha yang memerlukan banyak tenaga kerja.

Selanjutnya, populasi badak begitu rendah di Ujung Kulon karena risiko dari wabah penyakit, yang terjadi dari waktu ke waktu.

Tantangan bagi saudara badak Jawa yang terdekat relatif berbeda. Sementara habitat telah sangat berkurang oleh deforestasi dan konversi menjadi area pertanian, masalah utama badak Sumatera adalah kepadatan yang rendah. Spesies ini tersebar sangat jarang baik di Sumatera maupun wilayah utara Borneo (Kalimantan).

Antar individu tidak dapat menemukan pasangan satu sama lain untuk kawin.

Para konservasionis langkah-langkah radikal untuk mengawinkan pasangan badak melalui upaya semi-penangkaran.  Tahun lalu, di Sabah, seekor Badak Sumatera betina telah direlokasi ke area hutan tertutup yang menjadi rumah bagi badak sumatera jantan.

“Hari-hari ketika Badak Sumatera hidup di habitat alami dan upaya untuk menjagai mereka, sambil berharap agar mereka tidak akan ditangkap dan dapat berkembang biak secara alami, telah berlalu,” kata John Payne dari Borneo Rhino Allliance, yang memimpin operasi penyelamatan badak tahun lalu.

“Sangat sedikit dari badak yang tersisa memiliki kemunginan subur. Beberapa yang subur tidak akan memiliki akses ke badak lawan jenis, karena nyaris tidak ada lagi badak yang tersisa. ”

Harapan kemudian ditempatkan kepada upaya perlindungan yang baik, habitat memadai, dan difasilitasi hingga populasi badak Sumatera dan Jawa kembali pulih. Suatu fakta yang pernah terjadi.

Di Nepal, populasi badak India kembali selama beberapa tahun terakhir. Ini melalui kombinasi program yang memberikan manfaat kepada orang-orang yang tinggal di sekitar habitat badak dan penegakan hukum ketat. Program ini terbukti berhasil.

Pada 2012, negara itu dengan bangga mengumumkan, tidak ada satupun badak hilang akibat perburuan tahun 2011. Sementara itu di bagian selatan negara itu, badak putih yang telah lolos dari angka kepunahan telah berjumlah lebih dari 17.000 di alam liar.

Foto: Rhett Butler

Nepal telah menikmati kesuksesan. Namun, tantangan konservasi badak tetap merupakan hal serius, terbukti dengan masih marak perburuan badak Putih Selatan di Afrika Selatan.

Salah satu kendala terbesar penyelamatan badak adalah tingginya harga cula badak, khusus dari pasar untuk obat tradisional China.  Cula badak dipercaya dapat menyembuhkan kanker, peradangan, dan penyakit lain (sebagai catatan: pasar cula untuk kerajinan di Yaman menurun dengan perang sipil negara itu dan gejolak ekonomi).

Untuk melawan permintaan pasar yang tinggi (rata-rata US$65.000 per kg tahun 2011) di Vietnam dan China, para konservasionis berjuang menemukan cara menurunkan insentif bagi perburuan.

Menurut Michael ‘t Sas-Rolfes, seorang ekonom yang fokus kepada perdagangan cula badak, masalah kelangkaan barang telah mendorong kenaikan harga cula.  Kelangkaan ini terjadi akibat kelangkaan badak maupun larangan perdagangan resmi.

T Sas-Rolfes percaya , perdagangan cula badak dapat “dipanen” dari badak (tanpa perlu membunuh mereka-red) di peternakan-peternakan di Afrika Selatan. Ini dapat membantu menekan harga dan sekaligus tekanan terhadap kehidupan badak di alam liar.

“Ketika harga ritel pasar meningkat, biasa diikuti maraknya aktivitas perburuan liar. Selama biaya yang harus dikeluarkan untuk perburuan liar tetap tidak berubah,” tulisnya dalam sebuah analisis yang dipublikasikan di situs web rhino-economics.com. “Demikian pula sebaliknya, jika harga ritel pasar jatuh maka umumnya aktivitas perburuan akan berkurang.”

Namun, gagasan bagi pasar legal cula badak momok menakutkan bagi kaum konservasionis.

“Sebuah pasar cula badak ‘yang dilegalkan’ hanya mendorong orang-orang sakit untuk mengkonsumsi cula badak. Alih-alih mencari perawatan medik yang sesungguhnya, di sisi lain ini akan mendorong keuntungan sepihak.  Para pengepul cula badak dan para pedagang marak mempromosikan ‘obat kanker’, merupakan isu etika yang sangat serius,” demikian menurut Rhishja Cota-Larson dari Saving Rhinos, sebuah kelompok yang bekerja untuk menghentikan perdagangan organ badak dalam artikelnya: Cula Badak bukanlah Obat.

Cota-Larson mengkhawatirkan perdagangan resmi cula badak tidak akan melindungi praktik perburuan badak di alam. Dia percaya meningkatkan kesadaran di China dan Vietnam merupakan solusi jangka panjang mengatasi perdagangan cula badak.

Pesan “Selamatkan Badak” ditulis Waladi di Pulau Peucang. Foto: Rhett Butler

Sas-Rolfes meragukan, peningkatan kesadaran akan mampu mengendalikan penggunaan cula badak, terutama jika hal itu dikembalikan kepada akar keyakinan budaya yang telah dipraktikkan selama ribuan tahun.

“Apakah cula badak dapat dibuktikan secara ilmiah merupakan obat mujarab atau tidak, bukanlah hal yang relevan bagi mereka yang menggunakan,” tulisnya.

Dari situasi yang ada, tampak jelas, sebagian besar spesies badak, baik di Asia atau Afrika, menghadapi prospek suram dari kecenderungan yang berlaku saat ini.

Apakah spesies-spesies terlangka masih akan tetap bertahan di masa depan, sangat tergantung kepada tindakan-tindakan yang kita ambil. Baik itu upaya melindungi badak, maupun secara aktif menciptakan kondisi yang baik untuk kelangsungan hidup mereka.

“Dapat dikatakan, peluang untuk badak bertahan sangat kecil tanpa adanya campur tangan manusia” demikian Payne dari Borneo Rhino Allliance.

“Jika kaum konservasionis gagal menyelamatkan badak, dunia akan menjadi tempat yang suram,” kata Susie Ellis, Direktur Eksekutif International Rhino Foundation, yang bekerja untuk melindungi lima spesies badak tersisa, dengan bermitra bersama Borneo Rhino Allliance dan YABI.

“Saya tidak ingin melihat ke dalam mata anak-anak saya atau cucu saya dan berkata ‘kita harusnya bisa menyelamatkan Badak Jawa, jika saja dahulu kita mau mencoba sedikit lebih keras.”

“Kami memiliki tanggung jawab untuk melestarikan keanekaragaman hayati di planet ini untuk generasi berikutnya.” Badak Jawa merupakan spesies utama (flagship species) dan simbol dari hilangnya kawasan hutan hujan dataran rendah di Indonesia. Diterjemahkan oleh Aji Wihardandi dan Ridzki R. Sigit.

Tulisan ini merupakan versi yang lebih lengkap dari sebelumnya:

Pertempuran Hingga Titik Darah Penghabisan Untuk Selamatkan Badak Jawa


Artikel yang diterbitkan oleh
,