,

Lingkungan Desa dan Sungai Lematang Tercemar

WARGA sekitar enam desa yang dilewati Sungai Lematang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan (Sumsel) dalam beberapa tahun ini harus menahan rasa kesal.

Limbah padat dan cair dari perusahaan pulp, PT Tanjung Enim Lestari (PT TEL) diduga kuat menjadi penyebab pencemaran lingkungan mereka. Desa yang terkena dampak itu, Desa Kuripan, Muaraniru, Baturaja, Siku, Dangku dan Desa Banuayu.

Atap-atap rumah keropos. Sayur mayur mati sebelum panen, udara pun bau menyengat. Kondisi diperparah, sungai Lematang, yang mereka gunakan untuk kebutuhan sehari-hari mulai tercemar. Tangkapan nelayan pun berkurang.

Nur Hikmah, warga Desa Banuayu, Kecamatan Rambang Dongko, Sumut kepada Mongabay, mengatakan, sejak  tahun 2000, kala awal perusahaan pulp ini berencana masuk, warga sudah menolak.

Warga sudah khawatir keberadaan perusahaan ini akan merusak lingkungan. “Ternyata kami benar. Kini lingkungan kami rusak, bau, dan kotor.”

Dia mengatakan, kebun karet mulai mati pelahan dan produksi susut. Petani sayur pun menderita karena sayur mayur seperti tomat, kacang, terung, cabai dan jagung, kerap gagal panen. “Sampai radius lima kilometer dari pabrik udara itu bau tak enak, menyengat,” ucap Nur.

Bukan itu saja, sungai Lematang, anak Sungai Musi, ini mulai keruh, berwarna kecoklatan. Nelayan pun kini mengeluh sulit mendapatkan ikan. “Kami pun enggan pakai air Lematang untuk mandi, mencuci dan kebutuhan lain karena air sudah keruh seperti itu.”

“Kalau mandi di sana, badan bisa gatal-gatal,” kata warga desa, Dadang Heriyansyah.

Dadang menduga  kuat, pencemaran lingkungan dan sungai ini dampak pembuangan limbah perusahaan melalui pipa siluman yang ditanam pada kedalaman sekitar 17 meter dari permukaan tanah.

Menurut Nur, perusahaan memiliki satu saluran resmi pembuangan sampah. Resmi, dalam arti sampah yang dibuang menurut perusahaan, diproses terlebih dahulu. Kedua, saluran tak resmi, menurut perusahaan khusus membuang air asam. “Nyatanya, limbah tanpa proses langsung masuk juga ke sana.”

Perusahaan membuang sampah tengah malam sekitar pukul 12.00 sampai pukul 02.00. “Inilah dampaknya bagi kami. Kami yang menderita.”

Penolakan warga sudah disampaikan dari kepala desa sampai Gubernur. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup, Komnas HAM, dan Kementerian Perindustrian sudah dikirimi surat pada Maret 2012. Namun, sampai saat ini tak ada tanggapan.

Warga meminta, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan ikut bertanggungjawab. “Sebab, dalam analisis dampak lingkungan (Amdal) perusahaan ditandatangani Menteri Perindustrian dan Perdagangan.” Kini, kementerian ini terpecah menjadi dua: Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.

Penolakan sudah disampaikan kepada Gubernur sejak 2000. Gubernur saat itu meminta warga memberikan kesempatan kepada perusahaan beroperasi. Nanti, jika terjadi pencemaran, Gubernur sendiri yang akan menghentikan.

“Gubernur sudah berganti, warga sudah menderita dampak pencemaran, tetap taka da tindakan apa-apa.”

Dia mengatakan, mereka menuntut perusahaan bekerja dan mengelola usaha dengan benar hingga tidak berdampak buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar.  Kini tanah, udara dan air sudah tercemar.

Perusahaan pernah menjanjikan akan membangun sumber air untuk warga. Namun, realisasi hanya setengah hati. “Perusahaan janji setiap RT akan dibuatkan sumur lima. Faktanya, tiap RT hanya satu sumur. Ya, tidak cukup, apalagi sungai sudah tercemar.”

Perusahaan juga berjanji akan membangun Puskesmas gratis untuk berobat masyarakat desa. “Ya, cuma janji saja.”  Hal lain yang mengesalkan, perusahaan mendirikan sekolah megah. “Tapi warga desa tak boleh sekolah di sana. Hanya khusus untuk mereka saja,” ucap Nur.

Nur mengatakan, warga memberi batas waktu hingga 21 Mei ini. “Jika tetap tak ada tanggapan, biar warga yang bergerak sendiri. Itu artinya memang tak ada gunanya pemerintah.”

Kini, perwakilan warga mencoba mencari keadilan di Jakarta. Mereka mengadu ke Walhi nasional dan YLBHI. Mukri Fiatna dari Walhi Nasional mengatakan, Walhi mendesak PT TEL segera membongkar pipa siluman yang selama ini dikeluhkan warga sebagai penyebab utama pencemaran.

“Seharusnya PT TEL menunjukkan cara kerja yang baik bukan menjadi masalah bagi warga dan lingkungan sekitar.”

Gatot Riyanton, Wakil Direktur YLBHI mengatakan, perusahaan harus betul-betul menjalankan sesuai UU Lingkungan Hidup. “Pemerintah juga harus rutin mengontrol perusahaan-perusahaan yang menghasilkan limbah.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,