,

Hentikan Penambangan yang Kriminalisasi Rakyat dan Rusak Lingkungan

ORGANISASI lingkungan dan lembaga hukum membuat pernyataan bersama meminta pemerintah menghentikan operasi pertambangan yang mengkriminalisasi rakyat dan merusak lingkungan.

Mereka juga mengecam ancaman pemerintah Jepang, agar Indonesia melangengkan ekspor material mentah bahan tambang ke Jepang lewat sidang WTO.

Pius Ginting, Manager Kampanye Tambang Walhi mengatakan, aksi ke Mabes Polri dan Kedutaan Jepang, Kamis(21/6/12) untuk memprotes kekerasan, dan kriminalisasi terhadap rakyat. “Juga kerusakan lingkungan akibat pertambangan di Sulawesi,” katanya.

Dia mengatakan, alam dan masyarakat Sulawesi terancam disingkirkan penambangan yang begitu marak. Pencemaran lingkungan di Buyat, Sulawesi Utara tahun 2004, teryata tak menjadi pelajaran.

Di Sulawesi Tengah, dalam  enam tahun terakhir izin usaha pertambangan dikeluarkan pemerintah daerah mencapai 368. Selain izin usaha pertambangan (IUP), pemerintah pusat juga mengeluarkan izin kepada beberapa kontrak karya baik mineral maupun migas Donggi Senoro– investasi dari Jepang.

Deretan panjang perluasan investasi di Sulteng menciptakan banyak problem, baik kemiskinan, pencemaran lingkungan, kriminalisasi. Bahkan kematian akibat penembakan aparat terhadap warga makin massif dalam melindungi aktivitas eksplorasi maupun eksploitasi  oleh perusahaan.

Kemiskinan akibat pengambilan ruang hidup produktif rakyat, sebagai nelayan, petani oleh industri ekstraktif membuat rakyat banyak protes. “Aksi protes ini dihadapi dengan kekerasan dan kriminalisasi oleh aparat Kepolisian.”

Di Kabupaten Morowali, tragedi penembakan tujuh orang warga Kolo Bawah berujung pada kematian dua orang,  yaitu Yurifin dan Marten Datu Adam.

Warga Kolo Bawah, protes karena tuntutan warga terhadap PT. Job Medco, yang tak pernah ditepati.  Demonstrasi warga dipicu penimbunan karang Tiaka tempat para nelayan menghilangkan ruang tangkap ikan warga.

Setelah karang Tiaka dikuasai PT. Job Medco, warga tidak lagi bisa mengakses tempat  itu. Walaupun sejak sebelum kemerdekaan Indonesia  suku Bajo di Kolo bawah telah menguasai wilayah Tiaka.

Warga protes tambang jadi korban tembak. Foto: dokumen

Di Morowali, perusahaan Nikel PT Gema Ripah Pratama dan PT Eny Pratama Persada terus beraktivitas pengrusakan dan pembabatan hutan di cagar alam Morowali.

“Perusahaan ini tidak mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan. Tidak ditindak.” Namun, petani yang biasa mengumpulkan batu di sungai, di pinggiran cagar Alam Morowali untuk bahan bangunan terus di usir dan diteror oleh aparat setempat di Kecamatan Sayo Jaya.

PT. Bintang Delapan Mineral (BDM), perusahaan Nikel  paling produktif  mengeksploitasi di wilayah hutan. Walau pemerintah mengeluarkan Permen No. 7 Tahun 2012, kegiatan eskpor mentah bahan tambang terus berlangsung.  Bahkan, perusahaan ini menggunakan jasa Brimob untuk menjaga keamanan dalam beraktivitas.

Menurut Pius, kerusakan hutan di Bahodopi perlu dihentikan karena berdampak pada sumber air yang dikonsumsi masyarakat setempat. Tahun 2011, Jatam Sulteng dan Walhi telah mengirimkan surat protes untuk menutup aktivitas PT. BDM kepada Presiden dengan dukungan 24.000 orang seluruh dunia.

Di Manado, Sulawesi Utara, gejolak perlawanan rakyat dilakukan oleh masyarakat desa Picuan yang menolak PT. Sumber Enerji Jaya (SEJ), berhujung pada penembakan dua orang Petani di Desa  Picuan, Kabupaten Minahasa Selatan. Penembakan oleh aparat karena warga menolak wilayah mereka ditambang.

Di Gorontalo, Kawasan Taman Nasional Lai Wanggi Wanggameti diubah menjadi kawasan pertambangan. Kondisi ini mengancam keragamanhayati hilang dan memperparah banjir bagi Kota Gorotalo, dan sekitar.

Untuk itu, gabungan organisasi ini menuntut Mabes Polri. Tuntutan itu, pertama, menindak tegas dan memproses secara hukum aparat yang menembak rakyat yang menolak  ruang hidup dijadikan pertambangan.

Kedua,  menuntut kepolisian bertindak tegas terhadap PT. Job Medco Tomori, PT. Bintang Delapan Mineral, PT. Mulia Facipic Resources, PT. Gema Ripah Pratama, PT Eny Pratama Persada, PT. Sumber Enerji Jaya. Perusahaan-perusahaan ini telah melakukan kejahatan kemanusian dan pengrusakan lingkungan hidup.

Ketiga, menuntut pemerintah pusat moratorium izin pertambangan di seluruh Indonesia. Sebelum ada penetapan wilayah pertambangan yang melibatkan persetujuan rakyat, berdasarkan putusan MK (PUU NO 32/VII/2010).

Peluru yang ditemukan. Foto: dokumen Walhi

Kecam Jepang

Gabungan organisasi juga mengecam Pemerintah Jepang. Kementerian Perdagangan Jepang mengancam membawa Indonesia ke sidang WTO bila melarang ekspor material mentah tambang ke Jepang.

“Ancaman ini berarti paksaan agar Indonesia melanjutkan kegiatan penambangan yang merusak lingkungan, penuh kekerasan dan pelanggaran HAM.” “Ini  bertentangan dengan semangat dasar KTT Bumi.”

Untuk itu, gabungan organisasi ini meminta kepastian beberapa hal kepada Kedutaan Besar Jepang.

Pertama, memastikan material tambang yang mereka pakai tidak merusak lingkungan Indonesia dan menimbulkan kekerasan dan kriminalisasi terhadap rakyat Indonesia.

Kedua, memastikan agar investasi Jepang tidak terlibat dalam perusahaan yang mengambil ruang hidup dan ruang kegiatan perekonomian produktif rakyat, seperti di Tiaka-Morowali.

Gabungan organisasi ini terdiri dari, Eksekutif Nasional Walhi, Jatam Sulteng, LBH Luwuk, LBH Manado, LBH Sulawesi Tengah, LBH Donggala, dan Yayasan Tanah Merdeka Sulteng, LBH Sultra, Walhi Sultra, serta Jatam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,