Abdul Halim: Putra Wakatobi Kini Mengabdi Untuk Perairan Nusantara

Abdul Halim adalah seorang praktisi konservasi dengan lebih dari 15 tahun pengalaman lapangan (terutama di Asia Tenggara) dalam pembentukan dan pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut atau Marine Protected Area (MPA). Dia memiliki minat yang kuat dalam kebijakan sumber daya kelautan dan pemerintahan, pengembangan jaringan dan manajemen MPA, manajemen perikanan pesisir, dan aspek sosial ekonomi dari konservasi laut.

Keahlian manajemennya meliputi penciptaan kondisi untuk pengembangan kebijakan dan regulasi untuk pengelolaan sumber daya alam, pelaksanaan yang efektif dari situs berbasis konservasi, proyek mata pencaharian alternatif (budidaya kerapu), dan peningkatan partisipasi stakeholder dalam pengelolaan KKL.

Dia juga telah sangat terlibat dalam awal dan kemajuan Coral Triangle Initiative yang disahkan oleh enam kepala negara yang meliputi Coral Triangle (Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon) selama KTT mereka di Manado , Mei 2009. Sebelum mengambil peran direktur untuk konservasi laut, Halim adalah Program Manager TNC untuk Program Kelautan Indonesia.

Halim memperoleh gelar Master pada Kelautan dari Universitas Rhode Island, Amerika Serikat di bawah beasiswa Fulbright. Pria ini asli kelahiran pulau Kaledupa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara.

Mongabay.co.id: Anda putra asli Pulau Kaledupa, salah satu pulau di kepulauan Wakatobi, dan sekarang bekerja untuk konservasi laut dan salah satunya di pulau kelahiran Anda. Anda pernah mengira hal yang menyenangkan ini terjadi sebelumnya? Bagaimana prosesnya bisa sampai terjadi ‘kebetulan’ ini?

Abdul Halim: Saya awalnya tidak mengira bahwa ‘kebetulan’ ini akan terjadi.  Tetapi jauh sebelumnya saya berkeyakinan bahwa Wakatobi akan menjadi lokasi penting bagi upaya pelestarian sumberdaya laut mengingat bukan hanya keanekaragaman hayati lautnya yang tinggi tetapi juga ketergantungan masyarakatnya terhadap hasil laut juga sangat tinggi. Jauh sebelum saya bekerja di TNC, persisnya September 1995 saya bersama teman-teman yang tergabung dalam klub selam mahasiswa IPB –Fisheries Diving Club- sudah mengadakan expedisi penyelaman ilmiah bawah laut di Wakatobi.  Thesis penelitian S1 saya pun tentang terumbu karang di Wakatobi.  Dari hasil penelitian tersebut saya menyadari betapa pentingnya pengelolaan kawasan ini agar sumberdaya lautnya bisa lestari dan terus menerus memberikan sumber penghidupan paling tidak bagi masyarakat Wakatobi dan sekitarnya.

Mongabay.co.id: Pulau Kaledupa saat ini tentu amat berbeda dengan saat anda masih bocah dulu, terutama setelah dikenal sebagai salah satu tujuan wisata laut di Indonesia dan bahkan dunia. Apa perbedaan yang paling mencolok, baik secara sosial maupun psikologis masyarakatnya setelah beberapa dekade berlalu?

Abdul Halim: Pada musim lebaran tahun 2011, saya bersama keluarga pulang kampung ke Kaledupa.  Secara kasat mata, saya belum melihat adanya perbaikan kehidupan masyarakat di Kaledupa dari pariwisata.  Meskipun Wakatobi sudah terkenal di manca negara dan jumlah turis yang mengunjungi Wakatobi cukup lumayan, keikutsertaan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata masih relatif rendah.  Ini menjadi tantangan utama kita bersama, bagaimana kita bisa memberi sumbangsih pemderdayaan masyarakat agar mereka lebih bisa menikmati geliat kegiatan pariwisata di Wakatobi.  Situasi ini juga memberikan pengaruh psikologis, mengingat pada awalnya, mereka memiliki secercah harapan untuk memperoleh pendapatan dari pariwisata, tetapi pada kenyataanya, hingga saat ini belum terwujud.  Saya berkeyakinan bahwa apabila masyarakat setempat dapat ikut menikmati pendapatan dari kegiatan pariwisata laut, masyarakat akan dengan sendirinya berpartisipasi untuk turut serta menjaga lingkungan lautnya agar tidak rusak.

Bersama masyarakat di Lembongan Community Center, Bali. Foto: Edwin Bimo/TNC

Mongabay.co.id: Bicara soal masa kecil di Kaledupa, apakah trigger/pemicu aktivitas yang anda lakukan saat ini juga muncul dari lingkungan sekitar?

Abdul Halim: Ada benarnya juga.  Saya sewaktu kecil sebenarnya takut akan ‘monster ‘ yang ada di laut.  Tidak banyak aktivitas ‘menyelam’ yang saya lakukan sewaktu kecil, tetapi lebih pada berenang saja di tepi pantai.  Seiring perjalanan waktu, saya memtuskan untuk kuliah di bidang ilmu kelautan.  Sejak saat itu, ketertarikan saya terhadap laut semakin besar sampai membawa saya untuk meniti karir di bidang yang saya tekuni saat ini yakni pelestarian alam khususnya laut.

Mongabay.co.id: Apa hal yang paling tidak bisa anda lupakan dari semua memori anda tentang Kaledupa?

Abdul Halim: Makanan yang berasal dari laut, khususnya bulu babi dan ikan baronang.

Mongabay.co.id: Keluarga besar Anda masih banyak yang tinggal di pulau kelahiran anda?

Abdul Halim: Masih ada sebagian.  Masyarakat Kaledupa juga terkenal sebagai perantau dan mereka menetap di mana saja mereka merasa nyaman

Mongabay.co.id: Anda sukses secara akademis dan secara karier. Sebagai putra daerah (yang namanya amat jarang terdengar), apa mimpi anda yang masih tertunda untuk tanah kelahiran Anda?

Abdul Halim: Ukuran ‘sukses’ adalah sangat relatif.  Saya masih terus termotivasi untuk bisa bekerja lebih keras lagi guna berkontribusi dalam mencapai tujuan kehidupan masyarakat yang lebih baik yang selaras dengan alam dan lingkungan sekitarnya.

Abdul Halim (paling kiri) meraih Equator Prize Award 2010 bersama komunitas binaan di Pulau Tomia, Kepulauan Wakatobi. Foto: TNC

Mongabay.co.id: Apa sih yang anda lakukan bersama masyarakat di Wakatobi untuk melestarikan kondisi kelautan sekitar?

Abdul Halim: Saya sedikit berkontribusi dalam pelestarian sumberdaya laut di Wakatobi melalui organisasi tempat saya bekerja saat ini – The Nature Conservancy.  Kolega kerja saya khususnya yang ditempatkan di Wakatobi terus menerus bahu membahu dengan kelompok-kelompok masyarakat lokal berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian sumberdaya alam laut guna menopang kesinambungan kehidupan sebagian besar masyarakat di Wakatobi dan sekitarnya.  Saat ini, sudah terlihat jelas hasil dari upaya tanpakenal lelah tersebut.  Beberapa kelompok masyarakat yang selama ini bekerja bersama-sama kami, telah menjadi pelopor dan ujung tombak dalam mengajak masyarakat berpartisipasi aktif dalam pelestarian sumberdaya paling tidak di sekitar desa-desa mereka tinggal.  Bahkan, KOMUNTO -salah satu kelompok masyarakat nelayan di Tomia- telah memperoleh penghargaan ‘Equator Prize’ dari Lembaga Pembangunan -PBB  (UNDP) tahun 2010 atas keberhasilan mereka dalam mengajak masyarakat setempat turut aktif melestarikan lingkungan hidup dan meningkatkan kesejahteraan warga di sekitarnya.

Mongabay.co.id: Konservasi, selama ini masih dilihat sebagian warga lokal sebagai pembatasan-pembatasan. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Bagaimana anda merangkul masyarakat setempat dan meyakinkan mereka bahwa konservasi adalah sebuah proses yang membawa benefit kepada mereka?

Abdul Halim: Istilah konservasi beberapa tahun lalu merupakan istilah yang sangat tidak popular di masyarakat, karena lebih dipahami sebagai ‘pembatasan’ (persis seperti yang anda sebutkan).  Tetapi melalui kerja bersama teman-teman LSM lingkungan yang tidak kenal lelah, saat ini telah terlihat adanya perubahan pemahaman dan sikap masyarakat, paling tidak di tempat kami bekerja, mengenai istilah konservasi tersebut.  Pemahaman yang baru ini tidak terjadi secara instan, tetapi melalui proses panjang di mana masyarakat melihat sendiri program-program yang teman-teman LSM kerjakan di lapangan.  Ini adalah salah satu kunci suksesnya, yakni kita tidak hanya berbicara, tetapi bekerja secara langsung di lapangan dengan melibatkan masyarakat sehingga mereka melihat dan –mengalami manfaatnya sendiri.

Mongabay.co.id: Apa halangan tersulit, menurut anda, dalam aktivitas kerja konservasi laut yang anda lakukan sepanjang karier Anda dan mengubah cara pandang anda terhadap etos kerja Anda?

Abdul Halim: Saya melihat tidak ada hal yang sangat sulit yang dapat menjadi halangan.  Tinggal rasa tanggung jawab dari masing-masing pihak untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya masing-masing sebaik-baiknya. Pemerintah yang diberi mandat untuk mengatur masyarakat dan pembangunan , melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan kita masyarakat patuh akan aturan-aturan yang sudah kita sepakati bersama.

Mongabay.co.id: Selain kerja, apa sih hobi Anda?

Abdul Halim: Saya suka menyelam dan bermain futsal jika memungkinkan bersama teman-teman sekantor.

Mongabay.co.id: Jika ada pesan inspiratif yang bisa Anda bagi dengan para generasi muda di berbagai kepulauan kecil di seluruh Indonesia, apa yang akan Anda sampaikan?

Abdul Halim: Jadilah manusia yang berguna bagi diri sendiri, keluarga dan lingkungan paling tidak di mana anda berada.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,