Terumbu Karang Kabupaten Berau Terancam Peledakan oleh Nelayan

Kendati masuk ke dalam salah satu tujuan wisata bawah laut kelas dunia, Kabupaten Berau masih harus berkutat dengan maraknya penggunaan bom dan racun ikan yang digunakan oleh nelayan setempat.  Di tempat ini dari pantauan Media Indonesia, penggunaan racun dan peledak adalah hal yang jamak dilakukan. Anehnya, dari penyelidikan yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan setempat, mereka sulit menemukan bahan peledak tersebut di kalangan nelayan.

Saat ini, kerusakan terumbu karang yang masuk dalam Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau mencapai 60% dari luas total sebesar 480.000 hektare. Ini salah satunya diakibatkan oleh cara menangkap ikan dengan bahan kimia dan bom, selain karena faktor alam. “Kita perkirakan kerusakannya sudah 60%. Memang tidak semua karena manusia, juga karena pemanasan global,” ujarnya.

Sebanyak 12 pulau yang masuk dalam Kawasan Konservasi Laut (KKL) Berau, Kalimantan Timur dengan luasan 1,2 juta ha, diperkirakan sebanyak 40 persen atau 480.000 ha merupakan kawasan terumbu karang. Terumbu Karang Berau memiliki ribuan jenis terumbu karang dan puluhan ribu keanekaragaman hayati mendiami pulau itu, termasuk penyu hijau.

Salah satu keindahan di bawah permukaan laut di Kabupaten Berau.

Salah satu nelayan di pulau Maratua, Hasli mengakui jika pihaknya masih sering menggunakan potas mengangkap ikan terutama ikan kerapu. Ini dilakukan untuk memudahkan menangkap ikan, karena jika menggunakan bahan tradisional seperti pancing harus membutuhkan waktu yang sangat lama dan hasilnya sangat sedikit.

“Biasanya saya lakukan pada malam hari dengan melakukan penyelaman ke dasar laut dan menyemprotkan potas ke karang. Kalau gunakan pancing sangat lama dan hasil juga sedikit,” tuturnya kepada Media Indonesia.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Berau Fuadi mengatakan masih banyak nelayan yang menangkap ikan dengan menggunakan potasium menangkap ikan khususnya ikan kerapu. Padahal, penggunaan potasium sudah dilarang dalam Undang Undang (UU) nomor 31/2004 tentang Perikanan.

Fuadi mengungkapkan berbagai langka preventif telah dilakukan dengan melakukan sosialisasi di kedua kawasan sentara nelayan dan berpatroli di beberapa kawasan laut yang sering menjadi tempat penangkapan ikan. Tidak hanya itu, memutus mata rantai penjualan potasium dan bahan kimia lainnya di pasaran.

Namun hingga kini selama melakukan sidak, pihaknya tidak menemukan penjualan bahan terlarang itu. Upaya lain, kata dia, adalah dengan meminta nelayan mengajukan proposal bantuan alat tangkap yang ramah lingkungan dan membentuk kelompok pengawas masyarakat yang berasal dari nelayan peduli kelestarian lingkungan.

Terumbu karang di perairan Kabupaten Berau, kini semakin terancam akibat maraknya penggunaan bom ikan oleh nelayan setempat

“Berkali kali kita sudah lakukan sosialisasi kepada mereka (nelayan), tapi kenyataannya masih banyak saja yang menggunakan. Karena menangkap ikan dengan potas sangat gampang dibanding dengan cara alat tradisional. Kita perkirakan bahan ini dibawa sendiri nelayan dari luar Berau, seperti Malaysia,” tuturnya.

“Seperti banyak tempat lain di Asia Tenggara, salah satu ancaman paling serius di perairan Indonesia adalah illegal fishing dan memancing ikan yang merusak, hal itu masih kerap terjadi di dalam maupun di luar kawasan perlindungan laut. Praktek pengambilan ikan yang merusak menggunakan bom dan racun sudah dilarang oleh pemerintah namun hal-hal ini masih terus terjadi, dan menimbulkan kerusakan tak hanya sumber daya ikan dan terumbu karang namun juga membahayakan nelayan sendiri,” ungkap Abdul Halim, Direktur The Nature Conservancy Marine Program kepada Mongabay Indonesia.

Penyu hijau (Chelonia mydas) salah satu penghuni perairan Berau, yang juga ikut terancam dengan penggunaan bom ikan.

Untuk menekan angka kerusakan akibat peboman ikan, TNC juga membentuk kelompok kerja yang membantu melakukan monitoring dan patroli di perairan Berau. Salah satu kelompok ini adalah kelompok JALA nelayan di desa Tanjung Batu yang telah mengambil inisiatif untuk melakukan patroli di perairan laut dekat pantai dari desa mereka. Kelompok ini bekerja sama dengan Angkatan Laut, Polisi dan petugas dari Dinas Perikanan dan Kelautan dalam melakukan patroli bersama. Meskipun menangkap nelayan ilegal dan menghentikan aktivitas merusak di perairan Berau bukan tujuan utama mereka, namun tim patroli tetap akan menghentikan perahu nelayan yang diketahui atau ditemukan menggunakan sianida.

Kabupaten Berau, adalah salah satu wilayah perairan Indonesia yang masuk sebagai bagian dari Coral Triangle Initiative. Program ini adalah program perlindungan kawasan laut di segitiga terumbu karang dunia, yang meliputi enam negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Kepulauan Solomon, Papua Nugini dan Timor Leste. Kawasan segitiga terumbu karang dunia seluas setengah negara Amerika Serikat ini memiliki kekayaan sekitar 3000 jenis ikan dunia, dan tak kurang dari 500 spesies terumbu karang dunia hidup di tempat ini.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,