,

Kala Korban Lumpur Lapindo Jalan Kaki Cari Keadilan ke Jakarta

Kesedihan dan kekesalan Hari muncul kala diwawancarai TVOne. Dia terisak. Aburizal Bakrie pemegang saham di stasiun televisi ini.

SRI Bati tampak sibuk. Satu persatu spanduk dukungan kepada sang suami, Hari Suwandi, dilipat. Senin(9/7/12) siang, Hadi bertemu media massa di kantor Walhi Nasional di Jalan Tegal Parang Utara.

Dia baru saja memperlihatkan spanduk sekitar 15 an dukungan dari berbagai kalangan di berbagai daerah yang disinggahi. Dukungan antara lain dari GP Ansor, Banser NU, Dayak Segandu Losarang Indramayu, GMNI Cirebon, HMI, CBP Kota Pekalongan, dan lain-lain.

Hari tiba di Jakarta, Minggu(8/7/12), pagi. Dia berjalan kaki dari Porong, Jawa Timur, ke Jakarta, sejak 14 Juni lalu. Dia menghabiskan 25 hari perjalanan untuk sampai ke Ibu Kota berharap bisa menuntut keadilan akan haknya.

Sang istri menyusul. “Saya itu nangis, waktu bapak berangkat jalan kaki ke Jakarta. Saya gak tega, khawatir. Waktu berangkat, saya ngantar sampai Surabaya,” kata Sri. Namun, dia tak dapat menahan keinginan sang suami. Sebab, Hari ingin memperjuangkan hak mereka yang hilang karena terkena luapan lumpur Lapindo.

Kala ingin berkomunikasi dengan sang suami, Sri pun pergi ke rumah tetangga untuk meminjam telepon. “Saya gak punya HP. Jadi, kalo mau ngomong sama bapak, saya pinjam handphone. Atau, kalau bapak nelpon ke tetangga, saya datang.”

Hari, tujuh tahun lalu adalah seorang perajin tas, dompet dan sabuk dari Tanggulangin. Bisnisnya cukup berkembang. Usaha ini dirintis dari kecil, hingga cukup menghidupi keluarga beranak tiga ini. “Kena lumpur, semua habis. Mau mulai usaha tak ada uang. Semua ludes,” kata Hari. Dia sedih saat mengenang usaha kerajinan ini.

Kesedihan bercampur marah tumpah kala Hari diwawancarai reporter TVONe. Awalnya, dia menjawab tenang pertanyaan-pertanyaan sang reporter. Kala, bertanya tentang usaha kerajinan, Hari sedih dan emosi. “Tujuh tahun saya tak bisa produksi. Percuma tanya. Yang jelas saya korban yang tak punya aset. Saya tak bisa beli barang,” kata Hari. Air mata tampak tergenang di mata lelaki paruh baya ini.

Reporter terus bertanya. “Apalagi TVOne, ANTV, Surabaya Pos. Saya sudah tahu, kalo berita gimana, muncul lain. Saya kasihan sama mbak,” ucap Hari. “Maka ANTV, TV One, saya benci sekali. Karena mereka yang menghancurkan hidup saya.” Aburizal Bakrie, pemegang saham kedua stasiun televisi ini.

“Apakah pernah melaporkan masalah ini?” tanya reporter. “Melapor ke mana? Semua sudah tahu. Mengapa lapor-lapor? Intinya, saya datang bukan ngemis sama Bakrie. Saya datang hanya untuk tagih utang Bakrie sama korban Lapindo,” kata Hari.

Tas yang menemani Hari Suwandi selama 25 hari perjalanan, Porong-Jakarta. Foto: Sapariah Saturi

Kesedihan Hari beralasan. Semua harta benda habis. Tak hanya usaha kerajinan beserta peralatan yang hilang, rumah mereka di Desa Kedung Bendo pun tertelan lumpur. “Saya baru bangun rumah itu satu setengah tahun. Belum selesai senang kami tinggal di rumah itu, sudah tenggelam,” kenang Sri. Bibir perempuan ini bergetar. Dia berusaha menahan air mata.

Menurut Hari, pembayaran ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya dengan cara-cara menyakitkan. Berlarut-larut dan dicicil. Ini membuat kondisi korban makin sulit. Uang cicilan perusahaan milik keluarga Bakrie ini diangsur dalam waktu lama menyebabkan warga tak bisa membeli rumah atau tanah lagi.

Dia mencontohkan, rumah milik sang istri, dinilai Rp180 juta. “Minarak bayar cicil, 2010 empat kali, 2011 tiga kali. Tahun ini baru satu kali cicil. Kami pun tak bisa beli rumah lagi. Sekarang ini bangun rumah sederhana di atas tanah yang dipinjamkan orang.”

Minarak Lapindo hanya mau membayar per aset. Itupun yang sudah terdata. Sedang, usaha yang ada di atas aset itu tak diperhitungkan sama sekali. Untuk memperjuangkan hak ini juga, Hari rela meninggalkan keluarga berjalan kaki ke Jakarta.

“Saya ingin meminta SBY memperhatikan nasib kami. Jika SBY tak mau menemui, saya akan tetap di istana. Apapun yang terjadi.” Sri pun akan menemani suaminya. “ Satu tahun juga tak apa. Tetap saya sama bapak. Biar tidur di jalan gak apa.”

Penyelesaian ganti rugi pada korban lumpur Lapindo berlarut. Sudah enam tahun berlalu sejak semburan pertama, 28 Mei 2006, sekitar pukul 22.00. Ini terjadi karena terjadi kebocoran gas hidrogen sulfida (H2S) di ladang eksplorasi gas perusahaan PT. Lapindo Brantas (Lapindo) di Desa Ronokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Muncul asap putih dari tanah yang pecah. Bersamaan dengan itu, muncul semburan lumpur. Lumpur meluber, mengenai perumahan warga, yang akhirnya merendam desa-desa sekitar tempat itu.

Semburan tak terhenti. Sampai Mei 2009, PT Lapindo telah mengeluarkan uang untuk mengganti rugi warga, maupun membuat tanggul sekitar Rp6 triliun. Namun, kerusakan dampak luapan lumpur lebih besar dari itu. Pemerintah baik daerah dan pusat juga mengeluarkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur yang rusak, seperti jalan, tol, rel kereta dan lain-lain.

Berdasarkan PP Nomor 14 tahun 2007, PT Minarak Lapindo Jaya bertanggungjawab atas warga yang masuk peta terdampak. Namun, perusahaan ini mengeluarkan surat yang ditandatangani Andi Darussalam Tabussala, berisi pernyataan bahwa perusahaan tak mampu membayar ganti rugi kepada korban Lapindo.

Sinung Karto dari Kontras mengatakan, persoalan ganti rugi tak hanya cukup dengan membayar seharga fisik bangunan. “Tapi bagaimana memenuhi tanggung jawab hak ekonomi, sosial dan budaya dan lingkungan yang telah hancur akibat lumpur Lapindo.”

Surat Minarak menjadi ironis di tengah keinginan Aburizal Bakrie yang akan mencalonkan diri sebagai Presiden RI pada pemilu 2014. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, mengatakan, agar Aburizal Bakrie berhenti berbicara soal pencalonan sebelum bersih dari kejahatan lingkungan dan kemanusiaan. “Serta bertanggungjawab penuh terhadap nasib warga korban Lapindo.”

Hari Suwandi dengan spanduknya. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,