Hutan Jambi Akan Kembali Menyusut 25 Ribu Hektar

Hutan Jambi tampaknya akan kembali menyusut dalam waktu dekat, setelah Pemerintah Propinsi Jambi kembali memberikan izin Area Pengunaan Lain seluas 25 ribu hektar bagi bisnis pertambangan, perkebunan hingga eksplorasi minyak serta gas bumi. Rencana ini sudah tertuang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dibuat Pemerintah Provinsi Jambi, yakni 128 ribu hektare.

Luasan tersebut merupakan bocoran yang diterima dari tim independen yang melakukan verifikasi data di lapangan. Pihak Bappeda Provinsi Jambi sendiri, belum mendapatkan surat keputusan dari pihak kementerian.

“Bocorannya, yang diakomodir 25 ribu hektare dari 120 ribu seluruhnya. Kami sendiri belum dapat keputusannya. Itu hasil penelitian tim terpadu Kemenhut,” ujar Kepala Bappeda Provinsi Jambi Fauzi Ansori kepada Tribunnews.com.

Sebelumnya, Fauzi pernah menyampaikan hal serupa, bulan April silam. “Memang dari 128 ribu hektare hanya 25 ribu hektare lahan dan hutan yang disahkan untuk dapat dialihfungsikan dengan pertimbangan untuk menjaga efisiensi hutan di Jambi. Karena sampai saat ini, hutan Jambi masih 30 persen lebih dari luas wilayah Jambi,” kata Fauzi kepada Tempo.co saat itu.

Dalam rancangan peraturan daerah RTRW Jambi tergambar pola pembangunan 20 tahun ke depan, dibagi beberapa wilayah. Misalnya Kabupaten Sarolangun, Bungo, Tebo, Muarojambi dan Tanjungjabung Barat akan menjadi kawasan pertambangan batubara. Kawasan pembangunan sektor perkebunan dikembangkan di wilayah Batanghari, Merangin dan Muarojambi. Sedangkan Tanjungjabung Timur menjadi wilayah pengembangan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.

Dikatakan Fauzi, luasan tersebut telah diverifikasi lapangan oleh tim terpadu dari Kemenhut. Telah ada penelitian di lapangan, dan atas dasar penelitian, olah data dan penelusuran di lapangan, serta fakta historisnya.

“Dua puluh lima ribu itu banyak digunakan untuk budidaya, dan perkebunan. Misalnya di Ranah Kemumu yang di-enklave-kan (budibaya). Sisanya belum layak untuk di-APL-kan. Karena belum didukung data historis, padahal ada juga yang menjadi kebun rakyat,” katanya.

Angka 120 ribu hektare sendiri berasal dari usulan kabupaten kota. Dari jumlah itu kemudian lolos 25.000 hektare, artinya sekitar 95.000 hektare kawasan batal dialihfungsikan menjadi area penggunaan lain.

Lantas kapan penetapan luasan 25.000 hektare tersebut jadi APL? Fauzi belum memberikan kepastiaan waktunya. Namun dikatakannya penetapan harus dilakukan tahun ini. Artinya, antara pusat dan daerah akan mensinkronkan tata ruang yang ada.

Pemerintah daerah (pemda) di seluruh Indonesia sampai tahun ini mengusulkan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain (APL) sampai seluas 19,9 juta hektare dan perubahan fungsi sampai 11,5 juta hektare.

Saat ini, katanya luas kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 133,8 juta hektare yang terdiri atas 130,6 juta hektare berupa daratan dan sisanya berupa konservasi perairan.

Sebelumnya, rancangan RTRW Propinsi Jambi ini sempat dikritik sejumlah pihak. Yayasan CAPPA, misalnya, menilai rancangan peraturan daerah tentang RTRW itu akan menimbulkan konflik baru antara masyarakat dengan pihak perusahaan perkebunan dan pertambangan serta pemerintah itu sendiri. “Karena dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang hanya menguntungkan pihak investor, tapi mengabaikan hak masyarakat adat dan masyarakat lokal,” kata Pariyanto, Program Coordinator of Tenurial Land, Local Livelihoods and Conflict Resolution, Yayasan CAPPA Keadilan Ekologi.

Sementara, Direktur Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi, Rudi Syaf menyatakan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir luas hutan di Provinsi Jambi menyusut hingga satu juta hektar. “Berdasarkan data di Dinas Kehutanan (Dishut) Provinsi Jambi tercatat luas hutan di Jambi mencapai 2,1 juta hektar. Hanya saja luasan tersebut termasuk kawasan hutan yang sudah dikonversi. Artinya fungsi hutan sebenarnya sudah hilang karena sudah ada izin pengolahannya,” ujarnya.

Menurut dia, berdasarkan hasil penelitian para pemerhati lingkungan tingkat dunia, degradasi lahan khususnya hutan menjadi penyumbang utama pemanasan global dan meningkatnya emisi energi negara negara di dunia. Disamping masalah degradasi hutan, beberapa penyebab lain pemanasan global adalah meningkatnya sistem transportasi dan penggunaan pembangkit listrik masing masing menyumbang antara 14-24 persen tingkat pemanasan global.

Lebih lanjut ia mengatakan, dampak dari pemanasan global sudah sangat terasa. Khusus di Provinsi Jambi, selama kurun waktu lima tahun terakhir sepanjang kawasan di daerah aliran sungai (DAS) Batanghari selalu menjadi langganan banjir tahunan. “Bahkan kondisi itu beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan tingkat keparahannya,” katanya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,