Riau Agroplasma Panen Sawit, Petani Diminta Tanggung Utang

PETANI plasma PT Riau Agroplasma Plantation (PT RAP) meminta kejelasan status lahan kebun seluas 5.155 hektare di Desa Miau Merah, Kecamatan Silat Hilir, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar). Sudah 12 tahun berjalan, lahan belum diserahkan kepada petani.

Saat panen pun, 75 persen diambil PT RAP dengan alasan untuk membayar kredit dan pengeloaan. Kenyataan, kredit ke bank tak dibayar. Malah petani yang diminta menanggung utang pembangunan kebun dan kerugian kelola mencapai lebih Rp200 miliar.

Hendrik, Ketua Koperasi Asmoja menceritakan, kebun plasma milik anggota KUD Asmoja ditanami tahun 2000 dan 2001 oleh PT RAP. Kebun ini mulai panen 2004. Semestinya, paling lambat pada 2006, kebun sudah diserahkan ke petani dan ada berita acara dari Dinas Perkebunan. “Sekarang, mau dibebankan ke petani, tetapi kebun belum jelas,” katanya kepada Mongabay, Senin(16/7/12).

Tentu saja, mereka menolak menanggung beban utang, sedang kepemilikan kebun petani belum jelas. Seharusnya, saat ini, sudah ada klasifikasi kavling. Misalnya A,B dan C. Angka-angka ini menunjukkan level klasifikasi kavling kebun. Bahkan, dari delapan desa yang masuk wilayah kerja KUD Asmoja, baru empat desa yang selesai pra-kavling. Setelah, pra kavling, barulah ada penilaian teknis. “Seharusnya pengkavlingan dan penilaian sudah selesai. Namun, sampai hari ini tak ada.”

Untuk itu, mereka meminta kejelasan dari perusahaan dan pemerintah daerah masalah kebun plasma ini. “Jangan sampai hak petani diambil perusahaan, kewajiban perusahaan petani yang pikul.”

Sampai saat ini kebun belum dialihkan kepada petani. PT RAP tidak mau mengalihkan kebun plasma kepada petani dengan alasan berdasarkan perjanjian kerja sama, kredit harus lunas dulu baru kebun bisa dialihkan kepada petani. Tandan buah segar (TBS) kebun plasma dipanen PT RAP.

Namun, kata Hendrik, harga yang dibagikan kepada petani hanya 30 persen dari harga TBS setelah dipotong upah panen dan biaya angkutan.

Menurut PT RAP harga TBS 70 persen berkisar Rp3 – Rp4 miliar setiap bulan harus dikelola perusahaan. “Katanya untuk perawatan kebun plasma dan pembayaran angsuran kredit yang untuk pembangunan kebun plasma,” ucap Hendrik.

Kenyataan, kebun plasma yang sudah produksi sejak tahun 2004 ditelantarkan perusahaan. “Kredit untuk pembangunan kebun plasma tidak dibayar.”

Menurut dia, kebun yang dibangun dengan dana kredit kepada bank sampai saat ini belum jelas dan utang pembangunan kebun Rp108 miliar tidak dibayar. Tak hanya itu, perusahaan yang memanen TBS, tetapi kebun ditelantarkan.

“Sawit yang ditebas, dipupuk dan dibersihkan hanya yang berada enam sampai 10 pohon dari jalan.” Selebihnya, kebun dipenuhi semak–semak, bahkan lebih tinggi gulma dibandingkan pohon sawit.

Infrastruktur jalan dan jembatan juga tak terbangun. “Ketika musim hujan ribuan janjang tandan buah segar tidak terangkut dan membusuk,” kata Hendrik.

Namun, petani dipaksa bertanggjungjawab terhadap kerugian PT RAP dalam mengelola kebun plasma Rp109 miliar.

Begitu juga sertifikat hak milik. Seharusnya, sudah selesai pada 2004. Namun, sampai saat ini belum satupun selesai diurus oleh PT RAP. Dia menduga, kepemilikan petani terhadap kebun plasma sengaja dibuat tak jelas.

“Ini TBS kebun plasma dipanen PT RAP, 70 persen harga dikelola perusahaan kok utang pembangunan kebun plasma Rp108 miliar tidak dibayar. Defisit pengelolaan kebun plasma Rp129 miliar dibebankan kepada petani.”

“Padahal PT RAP yang mengelola kebun plasma bukan petani. Orang gila saja tidak mau diperlakukan seperti itu apalagi petani yang berpikiran waras.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,