,

Donggala Masih Mencekam, Ogan Ilir Kembali Memanas

Walhi dan Jatam menyesalkan aksi kekerasan aparat kepolisian kepada warga. Tindakan ini menunjukkan kegagalan polisi melindungi warga.

KONFLIK antara warga dan perusahaan yang berbuntut kekerasan oleh aparat kepolisian seakan tiada habis. Kondisi  di Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, masih mencekam. Polisi masih berjaga-jaga pasca penembakan dan aksi penolakan warga terhadap perusahaan tambang emas.

Di Kabupaten Ogan Ilir, pasca bentrok petani dan polisi karena konflik warga dengan PTPN VII, kondisi kembali memanas. Ratusan brimob kembali menyerang dan menangkapi warga.

Sampai Kamis(19/7/12) malam, di Balaesang Tanjung, kondisi warga penuh kekhawatiran. Sekitar 200 an warga dilaporkan mengungsi karena takut sebagai dampak penembakan aparat.

Sekitar 300 an aparat kepolisian termasuk brimob masih berjaga-jaga di lokasi. Akses jalan ke lokasi tambang juga diblokir polisi.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai tindak kekerasan berulang oleh jajaran kepolisisian terkait penolakan warga atas pertambangan, perkebunan dan aktivitas destruktif lain makin lama makin tinggi. Kondisi ini menandakan , kepolisian gagal memberikan perlindungan terhadap warga negara.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Kamis(19/7/12) mengatakan, dengan kekerasan terhadap warga menunjukkan kepolisian gagal mendidik personil.

“Jajaran pimpinan kepolisian harus bertanggung jawab atas kejadian-kejadian sebagaimana di Balaesan Tanjung ini,” katanya.

Walhi meminta, Kepolisian Sulteng harus dievaluasi ketat atas insiden ini. “Kapolri harus segera menindak pimpinan kepolisian di daerah Sulteng karena telah membuat suasana tidak kondusif dan mengganggu kenyamanan hidup warga.”

Andika Manajer Kampanye dan Riset Jatam Sulteng, menyayangkan sikap aparat yang tak profesional di lapangan. “Kami turut berduka cita atas meninggalnya warga korban tembakan polisi tadi siang,” ujar dia.

Dia menduga, polisi telah melanggar prosedur penanganan hingga jatuh korban jiwa. “Komnas HAM yang ada di lapangan harus mengusut tuntas ini.”

Penembakan ini menunjukkan situasi anti demokrasi dan pelanggaran HAM. “Dualisme peran kepolisian mesti digugat dalam status pengamanan di lapangan.”

Fakta di lapangan, polisi yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat malah terkesan berada di pihak PT Cahaya Manunggal Abadi (PT CMA).

“Ini jelas inkonstitusional dan menciderai rasa keadilan rakyat. Sebab, PT CMA merupakan usaha privat yang menerabas hak rakyat untuk masa depan mereka.”

Padahal, dalam UU Minerba, ada poin menyebutkan, keterlibatan rakyat dalam menentukan wilayah pertambangan. “UU Lingkungan juga menyatakan perlindungan bagi pembela lingkungan.”

Jatam Sulteng menyayangkan, Bupati Donggala yang tak kunjung bersikap dan mengabaikan tanggung jawab. “Bupati diam menunjukkan ada yang tak beres dengan izin tambang perusahaan ini. Komnas HAM berhak menanyakan status bupati dalam kasus ini,” ucap Andika.

Satu Tewas, 19 Ditangkap

Korban penembakan oleh polisi di Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng), Masdudin alias Sando akhirnya meninggal dunia, Kamis(19/7/12) sekitar pukul 14.00 waktu setempat.

Masdudin meninggal dunia setelah dirawat intensif dari dokter di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sulteng. “Tadi kami dipanggil petugas rumah sakit. Mereka menyampaikan paman saya, sudah meninggal,” kata Umar, keponakan korban seperti dikutip dari Beritasatu.com.

Umar saat ini langsung menghubungi keluarga di Desa Malei, tempat amuk massa berlangsung Rabu (18/7). Namun, Umar belum memberikan kepastian kapan korban dikembalikan ke kampung halaman.

Umar mengatakan, kemungkinan jenazah akan diantar langsung aparat kepolisian didampingi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Ketua Komnas HAM Perwakilan Sulteng, Dedy Askari di RS Bhayangkara membenarkan korban penembakan telah meninggal dunia. “Sekarang sedang diautopsi. Kami belum sempat menjenguk korban. Mungkin setelah diautopsi kami langsung melihat.”

Misbahudin, keluarga dari istri korban mengatakan sedang menunggu keputusan keluarga di Balaesang Tanjung, tentang rencana pemberangkatan jenazah.

Informasi dari Deddy Ratih, Juru Kampanye Hutan Walhi Nasional, sampai Rabu malam, warga yang ditangkap polisi ada 19 orang. Mereka adalah Haidir, Baso, Lamata, Sukirman, Saman, Ayun, Rahim dan Wahid (ditangkap Rabu(18/7/12).

Lalu, warga yang ditangkap lagi, Kamis(19/7/12), 12 orang, yakni Ahyar, Arsyad, Muri, Rais, Budi, Kusman, Muis, Sahabudin, Kasma, Cang, Iwan, dan Muksin Dullah.

Petani Ogan Ilir kala aksi dama di Jakarta. Foto: Sapariah Saturi


Ogan Ilir Kembali Memanas

Sementara itu, konflik petani Ogan Ilir dengan PTPN VII unit Cinta Manis terus berlanjut. Kamis(19/7/12), kondisi di 21 desa di Ogan Ilir, makin memanas.

Tumpak Winmark Hutabarat, Juru Bicara Walhi Nasional melalui pesan singkat mengatakan, Kamis pukul 14.00, ratusan brimob menyerang ke Desa Sri Bandung. “Tanpa diketahui alasannya, brimob menghancurkan posko-posko yang didirikan warga di atas lahan yang sedang berkonflik.”

Di posko, hanya ada 20 petani. Brimob pun langsung menangkap mereka. Delapan orang berhasil menyelamatkan diri. “Sebanyak 12 orang ditangkap dan sampai saat ini tak tahu di mana.”

Konflik warga 21 desa di Ogan Ilir, Sumatera Selatan (Sumsel) dengan PTPN VII unit Cinta Manis, sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Warga menuntut pengembalian lahan mereka yang diambil perusahaan BUMN ini dengan cara-cara tak benar era Soeharto dulu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,