Limapuluh Persen Emisi Karbon di Jambi Akibat Konversi Lahan Gambut

Perlindungan terhadap lahan gambut di Indonesia akan memberi pengaruh sangat signifikan dalam menyelamatkan bumi. Berkurangnya lahan gambut akan menyuplai emisi yang melimpah ke mineral tanah. Hal ini diungkapkan oleh peneliti dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanahan, Departemen Pertanian, Fahmuddin Agus.

Menurut Fahmuddin, luasan lahan gambut di Indonesia mencapai 14 juta hektar. Sebagian besar ada di Kalimantan dan Sumatera. Sayangnya akibat konversi lahan gambut ini, mereka menjadi penyumbang emisi terbesar ke udara.

“Lahan gambut ini tidak seharusnya diubah menjadi apa pun, karena kemampuannya menyimpan karbon sepuluh kali lipat dibanding mineral tanah. Itu sebabnya, kerusakan kecil pada lahan gambut akan melepaskan emisi sangat besar. Hal ini akan langsung memberi dampak pada meningkatnya efek gas rumah kaca,” ungkap Fahmuddin kepada The Jakarta Globe.

Fahmuddin memberi contoh tentang lahan gambut di Jambi yang mencapai 700.000 hektar dan 50% lahan ini ada di wilayah kecamatan Tanjung Jabung. “Kami pernah mengundang para petani untuk mempelajari bagaimana mengalkulasi kandungan karbon di dalam lahan gambut. Harapannya, jika mereka memahami hal ini akan melakukan pola pertanian yang baik dan bisa menekan emisi karbon ke udara,” tambah Fahmuddin.

Dia juga menambahkan bahwa target pemerintah untuk mengurangi emisi karbon hingga 26% adalah sebuah masalah kompleks karena hal ini mempengarui perkembangan lahan pertanian di satu sisi. Itu sebabnya pemerintah tetap mencari lahan alternatif untuk pembangunan pangan seiring dengan pertambahan penduduk. Kendati lahan gambut tidak seharusnya dikonversi, namun beberapa hal bisa dipertimbangkan. Antara lain adalah konversi penggunaan lahan di lahan gambut yang sudah rusak.

“Pohon kelapa sawit seperti diatur dalam peraturan Kementerian Pertanian tahun 2009, harus ditanam di kedalaman minimum 60 hingga 80 centimeter. Sementara untuk padi, karet dan akasia tidak ada regulasi standar. Namun biasanya batas maksimum 10cm untuk padi, 40 cm untuk karet dan 50cm untuk akasia hal itu sangat direkomendasikan,” jelasnya.

Sementara itu menurut data yang dimiliki oleh Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia Warsi (KKI Warsi) Jambi, Nelly Akbar, berdasarkan penelitian dari McKinsey&Company menyebutkan bahwa emisi karbon di Jambi diperkirakan sekitar 57 metrik ton dengan luasan lahan gambut sekitar 676.341 hektar.

“Limapuluh persen emisi karbon di Jambi disebabkan oleh konversi lahan gambut. Salah satunya di Tanjung Jabung Timur,” ungkap Nelly. Ia juga menambahkan, dengan hilangnya lahan gambut seluas 300 ribu hektar, maka diperkirakan emisinya akan mencapai 14.2 juta metrik ton.

Sekitar 156.871 dari keseluruhan luas lahan gambut di Jambi akan digunakan untuk Taman Nasional Berbak, cagar alam Taman Hutan Raya dan hutan lindung. Sementara sekitar 50% dari lahan gambut yang tersisa masih dalam status terbuka dan bisa dikonversi kapan saja untuk keperluan perkebunan kayu industri, perkebunan lain, pertanian dan perumahan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,