,

Tolak Tambang, Lima Warga Donggala Ditembak Polisi

KONFLIK berdarah kembali terjadi. Warga menolak rencana eksploitasi tambang emas, PT Cahaya Manunggal Abadi (PT CMA) di Desa Balaesang Tanjung, Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng). Berujung, dua alat berat perusahaan dibakar.

Rabu(18/7/12), polisi menelusuri desa untuk menangkap pelaku pembakaran. Warga menolak ditangkap. Lagi-lagi polisi mengandalkan peluru timah untuk menghadapi warga. Lima orang tertembak.

Kronologi dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Sulawesi Tengah (Sulteng) menyebutkan, Selasa(17/7/12), sekitar pukul 14.00, warga Desa Manimbaya, Ketong, Kamonji, Rano, Malei dan Desa Walandano berkumpul menuju lokasi perusahaan PT CMA. Peristiwa ini dipicu karena perusahaan akan mensosialisasikan kegiatan eksploitasi mereka.

Ada informasi, seorang anggota DPRD Kabupaten Donggala, Goesetra memberitahukan kepada masyarakat Desa Malei, bahwa dalam rapat koordinasi 17 juli, sekaligus sosialisasi kesiapan PT CMA. Dia diduga berada di balik rencana perusahaan mengolah kebun menjadi pertambangan. Mendengar kabar perusahaan akan sosialisasi, masyarakat yang menolak PT CMA berkumpul.

Di Balaesang Tanjung, ada pertemuan rutin. Biasa menghadirkan masyarakat setempat. Namun, dalam pertemuan itu, camat selaku pemimpin wilayah yang biasa menghadiri kegiatan rapat koordinasi, tidak muncul. Ketidakhadiran camat ini karena masyarakat penolak tambang berkumpul menghadiri rapat koordinasi.

Karena camat tidak muncul di Ibu Kota kecamatan di Desa Malei, masyarakat kecewa. Mereka berkumpul mencapai lebih kurang 500 orang langsung menuju lokasi PT CMA yang berada di Desa Walandano. Mereka menuntut perusahaan tidak beraktivitas di sana.

Kesal dan kecewa, warga membakar dua alat berat milik PT CMA sekitar pukul 14.30 waktu setempat. Kantor camat juga dilempar batu dan disegel warga penolak tambang PT CMA.

Setelah pembakaran, pukul 16.00, warga dari berbagai desa kembali ke Desa Malei. Lalu mereka mebubarkan diri dan kembali ke rumah masing-masing. Keesokan hari, polisi datang dan menangkapi warga.

Rabu (18/7/2012), sekitar pukul 09.00 kepolisian dari Polres Donggala sebanyak dua truk masuk ke Kecamatan Balaesang Tanjung. Mereka berusaha menangkap warga yang diduga terlibat aksi pembakaran alat berat.

Di Desa Walandano, lokasi pembakaran alat berat milik PT CMA, polisi melakukan penyisiran dan tidak menemukan siapapun yang terlibat.

Pada pukul 11.00 polisi dari Polres Donggala berpindah ke Desa Malei. Warga mengajak negoisasi agar polisi tidak menangkap masyarakat setempat. Namun, polisi tetap menangkap siapapun yang terlibat. Polisi menyisir semua rumah di Desa Malei, dan menangkap satu orang, Sukiman (37).

Pada pukul 13.00 penyisiran berpindah ke Desa Kamonji. Terjadi perlawanan karena masyarakat menolak ditangkap. Saat menangkap Lamata(40) terjadilah saling tegang antar polisi dan warga. Polisi menyemprotkan gas air mata kepada warga yang aksi.

Warga tetap bertahan dan membalas dengan lemparan batu. Kondisi ini berbuntut penembakan oleh polisi. Warga korban tembak,Masdudin (50) tertembak di bagian perut, warga Desa Malei, Aksan (45) di bagian punggung belakang, warga Desa Malei. Lalu, Idin (35) tertembak di bagian kaki, warga Malei,
Rusli (38) tertembak di bagian kaki, warga Kamonji dan
Ma’ruf (32) di bagian bokong, warga Malei.

Hingga Rabu malam, penyisiran di semua desa telah dilakukan. Polisi menangkap delapan orang yang diduga membakar.

Andika Manajer Kampanye dan Riset Jatam Sulteng meminta polisi berpikir idealis dan benar-benar berniat mengamankan masalah ini sesuai tugas sebagai penyayom masyarakat.

“Kami berharap Kapolres Donggala menarik kembali personil yang sudah membuat warga cemas karena ada penembakan,” katanya seperti dikutip dari Jawa Pos online.

Andika meminta bupati mencopot izin usaha pertambangan yang dikeluarkan untuk PT CMA. “Ini sudah menjadi pemicu ketegangan di kecamatan ini.”

Komnas HAM Turunkan Tim

Dikutip dari Beritasatu.com, Kapolda Sulteng, Brigjen Dewa Parsana mengaku masih mendalami insiden penembakan lima warga yang diduga dilakukan anggota polisi di Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala.

Dewa Parsana tidak menyebutkan penembakan itu menggunakan peluru tajam atau peluru karet.

Komnas HAM pun bereaksi atas peristiwa penembakan lima warga di Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, Sulteng yang diduga dilakukan aparat kepolisian.

Dikutip dari Republika online, Komnas HAM akan menginvestigasi guna menyelidiki kemungkinan tindak pelanggaran HAM di daerah itu.

Ketua Komnas HAM perwakilan Sulteng, Dedy Askari mengatakan, Komnas HAM akan menurunkan tim penyelidik pada Jumat (20/7) untuk mengetahui lebih dalam terkait fakta-fakta di lapangan.

Dedy mengatakan, tim akan dipimpin Wakil Ketua Komnas HAM, Ridha Saleh didampingi tim dari Komnas HAM Sulteng.

Menurut Dedy, pemerintah dan polri dalam peristiwa ini seharusnya bersikap akomodatif dan kompromi dalam merespons kehendak dan tuntutan masyarakat. “Tidak justru mengabaikan tuntutan dan kehendak masyarakat, akibatnya muncul kekecewaan dan perlawanan masyarakat.”

Pengamanan dalam amuk massa diperparah dengan langkah represif aparat kepolisian. “Komnas HAM mengecam langkah aparat kepolisian yang represif.”

Dedy menilai, pemerintah Kabupaten Donggala tidak punya kepedulian atas tuntutan warga penolak pertambangan di Balaesang Tanjung. Sebab, sebagian lahan di atas perkebunan masyarakat.

“Komnas HAM menduga kepolisian dan Pemda Donggala berada di balik peristiwa amuk massa di Balaesang Tanjung. Komnas HAM juga menilai kuat dugaan terjadi Pelanggaran HAM serius di sana.

Menurut Dedy, amuk massa di Balaesang Tanjung itu reaksi puncak dari penolakan masyarakat terhadap rencana PT CMA mengelola bijih emas. “Aksi itu merupakan wujud nyata keberpihakan negara Cq pemerintah dan aparat kepolisian terhadap pemodal.”

Ditolak Sejak Awal
Dari Situs Jatam Sulteng, Moh. Rifay M Hadi, Manager Pengembangan Jaringan Jatam Sulteng mengatakan, sejak kabar IUP PT CMA dikeluarkan Bupati Donggala, tahun 2010, sudah menimbulkan pro-kontra di masyarakat Kecamatan Balaesang Tanjung.

Padahal, sejak dulu masyarakat Balaesang Tanjung hidup dengan damai, tentram dan, tidak ada konflik kecil maupun besar. Namun, sejak kehadiran PT. CMA di daerah itu, perubahan struktur sosial masyarakat Kecamatan Balaesang berubah drastis. Konflik terjadi dimana-mana, bahkan dalam satu keluarga pun kini telah berselisih.

Pada 27 Juni 2012, beberapa masyarakat Desa Malei di tahan kepolisian. Dia dituduh mencuri emas dilahan PT CMA. Bertepatan dengan itu pula, kepala Desa Malei dijemput oleh puluhan kepolisian. Bahkan penjemputan itu mengepung dan menggeledah rumah Kades Malei.

Penjemputan dengan dalih dimintai keterangan atas pencurian emas di lahan PT CMA itu, tidak berhasil. Masyarakat Kecamatan Balaesang Tanjung mengusir polisi.

Esoknya, masyarakat yang kontra terhadap perusahaan tambang itu, memblokir jalan, merupakan satu-satunya akses keluar Kecamatan Balaesang Tanjung. Pemblokiran ini untuk mencegah masyarakat pro PT CMA, mengikuti seminar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di Kabupaten Donggala oleh PT. CMA.

Begitu selanjutnya, antara masyarakat dusun I dan dusun II Desa Malei Kecamatan Balaesang Tanjung, saling adu fisik, hanya karena pro-kontra atas perusahaan tambang milik asing itu. Ini membuktikan, kehadiran PT. CMA di Kecamatan Balaesang Tanjung, menimbulkan dampak negatif. “Itupun masih dalam tahap eksplorasi, bagaimana dengan tahap eksploitasi?” kata Rifay.

Lahan pertanian mereka, kini dicaplok perusahaan tambang emas, PT CMA. Perusahaan ini diberikan legitimasi oleh Bupati Donggala melalu Izin Usaha Pertambangan (IUP) nomor: 188.45/0288/DESDM/2010, seluas 5.000 hektare.

Kecamatan Balaesang Tanjung memiliki wilayah seluas 118,85 kilometer, dengan mayoritas masyarakat petani cengkeh dan kelapa. Kini, lahan perkebunan terancam menjadi wilayah perusahaan tambang emas PT CMA.

Begitu pun dengan Danau Rano, di Desa Rano Kecamatan Balaesang Tanjung, juga masuk dalam konsesi PT CMA. Danau Rano, yang menjadi kebanggaan masyarakat kecamatan Balaesang Tanjung, sebagai salah satu objek wisata yang menjanjikan, dicaplok.

Lahan pertambangan PT CMA berada di beberapa desa se Kecamatan Balaesang Tanjung. Desa-desa itu sangat bergantung dengan sumberdaya di wilayah pegunungan Sirunat dan, puncak Datar Tutuk Karama terutama sebagai sumber air minum. Di wilayah itu, banyak warga desa di luar Kecamatan Balaesang Tanjung juga menggantungkan hidup dari sana, seperti Desa Lombonga, Labean, Meli, Tambu, Sibualong dan, Sibayu.

“Menurut pengakuan masyarakat Kecamatan Balaesang Tanjung, mereka dilarang perusahaan berkebun di area PT. CMA. Bahkan perusahaan pernah katakan ke beberapa petani di Desa Malei, “siapa tanam jagung diareal saya?”

“Artinya, lahan masyarakat Malei kelola sejak lama itu, bukan milik masyarakat, melainkan milik PT CMA. Sumber-sumber produksi masyarakat, diakui secara sepihak CMA.”

Padahal, warga di Kecamatan Balaesang Tanjung, mengelola kebun dan, mendiami wilayah itu sebelum negara Indonesia ada.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,