, ,

Peneliti: Urgen Bentuk Lembaga Khusus Tangani Konflik Agraria

ANJING menggonggong kafilah berlalu. Mungkin pepatah ini tepat mengungkapkan situasi antara perintah Presiden dan implementasi di lapangan oleh polisi dalam menangani konflik agraria. Mengapa? Pada Rabu(25/7/12), Presiden Susilo Yudhoyono, dalam sidang kabinet mengintruksikan segera dibentuk Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Agraria, yang terdiri dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kepolisian dan instansi terkait lain.

“Instruksi saya, carikan solusi, bentuk tim terpadu. Tidak cukup kadang-kadang dengan pendekatan hukum, tapi juga dengan penyelesaian sosial dan budaya.” Jika upaya itu bisa dilakukan, kata Presiden, tentu bisa mencegah bentrokan ataupun tindakan-tindakan yang tidak perlu terjadi.

Presiden menyebut yang menjadi prioritas penyelesaian konflik di di PTPN II Sumatera Utara, Mesuji di Lampung dan konflik di PTPN VII Cinta Manis Ogan Ilir Sumatera Selatan.

Baru dua hari berselang, Jumat(27/7/12), instruksi Presiden dijawab kepolisian dengan sweeping ke kampung-kampung warga di Desa Betung, Desa Sri Tanjung, dan Desa Limbang Jaya,  Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel.  Polisi (Brimob) datang dengan senjata lengkap.

Polisi menyisir perkampungan warga dengan alasan mencari pencuri pupuk PTPN VII unit Cinta Manis, Jumat sore. Di Desa Limbang Jaya, bentrok berdarah polisi versus warga pun pecah. Dalam insiden ini menyebabkan satu anak tewas tertembak, lima warga luka-luka.

Martua Sirait peneliti dari  International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) sangat menyayangkan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian.  Melihat berbagai kekerasan ini, urgen dibentuk lembaga  atau badan khusus penanganan konflik. “Segera dibuat, jika tidak, sektoral akan menyelesaikan konflik secara sektoral,” katanya.

Dia mengatakan, tak cukup penanganan konflik hanya dilakukan pada level instansi pemerintah. Namun, harus ada di atas itu. “Lembaga tangani konflik di bawah Presiden. Harus satu komite khusus, satu badan khusus penanganan konflik agraria. Di bawah Presiden langsung,” katanya.

Lembaga inilah nanti, yang membawahi koordinasi pada penanganan konflik agraria. “Harus dikoordinir oleh kantor Presiden dengan melibatkan masyarakat,  yang berisi ahli dan masyarakat sipil yang selama ini ikut mengangnai konflik agraria,” ucap Martua.

Tak hanya pada level pemerintah pusat. Agenda-agenda ini harus direspon pemerintah daerah dengan membentuk tim khusus juga. “Yang jelas, konflik ini tak bisa selesai dengan hanya lewat penanganan adhoc yang kasus per kasus. Harus selesai melalui kebijakan.”

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, kekerasan dan pembunuhan ini memperkuat kembali bukti bahwa pendekatan keamanan menggunakan aparat negara menjadi pendekatan utama dalam konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia.

“Presiden menginstruksikan dalam rapat di Kejaksaan Agung untuk pembentukan Tim Terpadu Konflik Agraria ternyata tak memberikan harapan apapun,” katanya, di Jakarta, Jumat(27/7/12)

Menurut Abet, dengan kekerasan yang terjadi lagi di Ogan Ilir, memperkuat bukti tak ada harapan penyelesaian konflik agraria di Indonesia. “Presiden harus mengevaluasi atas kepemimpinan dan kinerja Polri dalam menangani konflik.” “Juga memeriksa menyeluruh terhadap PTPN VII. Bom waktu yang dikhawatirkan Presiden sedang diledakkan satu persatu oleh pemerintah sendiri…”

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,