,

Rusak Lingkungan, Dua Tambang Batubara Dihentikan Sementara dan 58 Diawasi

Pemerintah Kota Samarinda, Kalimantan Timur kembali merilis laporan evaluasi kondisi pertambangan batubara untuk periode Juni hingga Juli 2012. Dalam laporan tersebut, pemerintah kota memutuskan untuk menghentikan kegiatan operasional dan usaha dua perusahaan tambang, yaitu PT Graha Benua Etam yang beroperasi di jalan Padat Karya, Sempaja dan PT Rinda Kaltim Anugerah di Kelurahan Lempake. Keduanya ada di wilayah Samarinda Utara.

Dalam laporan tersebut, Pemerintah kota juga mengumumkan masih mengawasi 58 perusahaan tambang yang ada di ibukota Kalimantan Timur tersebut. Jumlah ini meningkat sekitar 40% dari jumlah perusahaan yang diawasi berdasar laporan pemerintah kota tanggal 25 Januari 2012, yang berjumlah 31 perusahaan.

Namun, jumlah perusahaan yang dihentikan sementara justru menurun dari 8 perusahaan dalam laporan Januari 2012 menjadi hanya dua perusahaan. Dalam laporan bulan Januari 2012, delapan perusahaan yang dihentikan sementara adalah,  PT Buana Rizki Armia, PT Graha Benua Etam, PT Panca Bara Sejahtera, CV Bismillahi Res Kaltim, CV Prima Coal Mining, CV Tunggal Firdaus, CV Utia Ilma Jaya, serta KOPTAM Bara Sumber Makmur.

Sementara dalam laporan terbaru yang dirilis tanggal 26 Juli 2012, hanya dua perusahaan yaitu, PT Graha Benua Etam dan PT Rinda Kaltim Anugerah.

Selain PT Graha Benua Etam, semua perusahaan tersebut berhasil lepas dari hukuman penghentian sementara, setelah dinilai melakukan perbaikan dalam praktek bisnis mereka, terutama terkait masalah penanganan limbah dan lingkungan. Dengan masuknya nama GBE kembali dalam rilis ini, maka dua kali berturut-turut perusahaan ini masuk dalam kategori penghentian sementara

Perusahaan yang dihentikan sementara wajib melaksanakan perbaikan lingkungan akibat aktivitas pertambangan selama 30 hari mendatang. Jika tidak, IUP dicabut. Sementara, perusahaan yang menerima peringatan, jika dalam sebulan tidak melakukan perbaikan lingkungan, aktivitas mereka juga akan dibekukan sementara.

Wakil walikota Samarinda, Nusyirwan menyebut banyak pelanggaran yang dilakukan sehingga keduanya diberi sanksi. GBE sebelumnya sudah diperingatkan sebanyak tiga kali. Setelah itu, tim gabungan juga sempat kembali mendatangi ke lokasi untuk mengecek perkembangan. Ternyata kolam pengolahan (settling pond) yang mereka miliki terlalu kecil dan jauh dari standar sehingga berpotensi menimbulkan banjir. Berikut aliran sungai kecil yang ikut terganggu akibat aktivitas penambangan di sana.

“Karena kita anggap melanggar dari sisi kelestarian lingkungan, sehingga kita hentikan sementara kegiatan operasionalnya. Harapan kita supaya mereka bisa konsentrasi dalam pembenahan lingkungan,” terang Nusyirwan kepada Samarinda Pos, tangga 26 Juli 2012.

Sedangkan untuk RKA, seperti disampaikan Kepala Badan Lingkungan Hidup Samarinda, Endang Liansyah, sanksi yang dijatuhkan tidak melalui peringatan sebelumnya. Berdasarkan hasil inspeksi BLH, ternyata kondisinya sangat parah. Mulai dari tanah longsor, hingga kerusakan-kerusakan fisik lainnya. Disinggung soal tindakan BLH yang kemungkinan berpotensi melanggar aturan karena tidak melalui peringatan, Endang mengaku tidak masalah.

“Dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 32 tahun 2009 pasal 80 ayat 2, mengisyaratkan pemerintah boleh melakukan penghentian kalau memang dianggap perlu. Jadi tidak ada yang salah. Malah ke depan, potensinya sangat besar untuk dicabut izin operasionalnya,” tegas Endang pada Koran Kaltim.

“Evaluasi yang kita lakukan ini sudah dilakukan secara menyeluruh. Termasuk mengakomodir keluhan warga sekitar yang kita masukkan sebagai bagian dari aspek penilaian,” pungkasnya.

Sementara itu, organisasi Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur menanggapi sanksi yang diberikan pemerintah kota terhadap perusahaan tambang yang nakal masih belum cukup kuat.

Menurut Dinamisator Wilayah Jatam Kaltim Kahar Al Bahri, pemkot sekadar bermain-main dengan penetapan status antara menaikkan dan menurunkan. Sementara evaluasi sesungguhnya yang diharapkan masyarakat selama ini belum juga dilakukan secara serius.

“Jadi saya pastikan, evaluasi ini benar-benar tidak fair. Karena dari dulu kami terus dorong supaya perspektifnya diubah menjadi perpektif masyarakat. Bukan dengan penilaian administratif. Tapi sampai sekarang ‘kan tetap pakai acuan secara administratif sehingga tidak akan bisa mengatasi permasalahan,” kata Kahar kepada Samarinda Pos.

Seharusnya pemkot lebih memperhatikan aspirasi warga sekitar. Khususnya tambang yang banyak dikeluhkan warga. Termasuk tambang yang pernah menelan korban jiwa akibat tidak menutup lubang bekas galian batu bara.

“Tapi ‘kan sudah hampir setahun ini juga belum ada tindak lanjutnya. Padahal ini sudah menyangkut nyawa. Kenapa tidak berani menutup tambang yang jelas-jelas menimbulkan masalah ini? Kalau berani, seharusnya pemkot bisa mengambil sikap tegas,” ujarnya dengan nada kesal.

Meski demikian, Al Bahri mengakui PT GBE pantas diberi sanksi akibat berbagai pelanggaran soal limbah dan kerusakan lingkungan yang disebabkannya.

Hal ini seperti yang terjadi pada 10 Maret 2012 silam seperti diberitakan oleh Koran Kaltim, saat 14 pemukiman warga di Jalan Padat Karya, Kelurahan Sempaja, yang berdampingan dengan lokasi tambang PT Graha Benua Etam diterjang banjir lumpur. Selain merendam 14 permukiman warga  di Jalan Padat Karya Kelurahan Sempaja Utara, banjir juga merendam satu buah kolam ikan dengan jumlah bibit ikan sebanyak empat ribu ekor serta areal perkebunan sayur.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,