,

Pembangunan Jalan Aceh Putus Koridor Satwa

PEMBANGUNAN jalan tembus antarkabupaten dalam 10 tahun terakhir di Aceh, telah memutuskan sedikitnya enam koridor satwa di kawasan hutan ekosistem Leuser dan ekosistem Ulu Masen. Ini merupakan dua kawasan hutan penting di Sumatera, seluas 3,3 juta hektare. Ia juga menjadi satu-satunya tempat masih ditemukan empat spesies satwa Sumatera yang terancam punah: gajah Sumatera, harimau Sumatera, badak Sumatera dan orangutan Sumatera. Kawasan ini juga menyimpan 4.500 spesies flora dan fauna Indo Malaya, sebagian sangat langka.

Sejumlah lembaga non pemerintah dan pemerhati lingkungan seperti Walhi Aceh,  Transparency International Indonesia Program Aceh, WWF Indonesia Program Aceh, Yayasan Leuser Internasional, Uno Itam, PeNA, Forum LSM Aceh dan Koalisi NGO HAM Aceh, Jumat (27/7) menyampaikan protes atas rencana pemerintah Aceh melanjutkan pembangunan jalan tembus antarkabupaten hingga 2017.

Direktur Pelaksana Yayasan Leuser Internasional (YLI), Agus Halim, mengatakan, pembangunan jalan yang menghubungkan daerah-daerah di pesisir barat-selatan – bagian tengah – pesisir utara dan timur Aceh, menyebabkan Leuser dan Ulu Masen terpecah. Koridor satwa pun menjadi terputus di banyak tempat hingga daerah jelajah makin menyempit.

“Kami mencatat koridor satwa terputus di banyak tempat hampir mencakup seluruh kawasan hutan di Aceh yang selama ini menjadi kantong habitat satwa langka seperti gajah, harimau, badak dan orangutan,” katanya, di Aceh, Jumat(27/7/12).

YLI mencatat, ruas jalan yang memutuskan koridor satwa ini antara lain Jalan Babahrot – Trangon, melintasi Kabupaten Aceh Barat Daya dan Gayo Lues. Jalan ini memutuskan koridor Leuser dan Ulu Masen di bagian barat daya. Jalan Blangkejeren – Pinding – Lokop, memutuskan koridor Leuser di bagian tengah di Kabupaten Gayo Lues, Jalan Muara Situlen – Gelombang, melintasi Kabupaten Aceh Tenggara dan Kota Subulussalam, memutuskan koridor Taman Nasional Gunung Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil.

Lalu, Jalan Pondok Baru – Samarkilang di Kabupaten Bener Meriah memutuskan koridor di bagian tengah dan utara Leuser, dan Jalan Jeuram Beutong Ateuh yang melintasi Aceh Tengah dan Nagan Raya, memutus koridor Leuser dan Ulu Masen di bagian tengah. Kemudian, Jalan Lamno – Jantho – Keumala – Pameu, melintasi Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Pidie dan Pidie Jaya memutuskan koridor Ulu Masen dan Leuser di bagian utara.

“Kami yakin di banyak kawasan koridor lain yang menghubungkan kantong-kantong habitat penting satwa di Leuser dan Ulu Masen juga banyak putus. Sebab, masih banyak jalan dalam skala lebih kecil dari itu saat ini juga telah dibuka,” ujar dia.

Menurut Agus, salah satu dampak dari putusnya koridor satwa ini terlihat dari peningkatan frekuensi konflik manusia dengan satwa terutama gajah dan harimau. Satwa-satwa yang mempunyai  jelajah luas ini makin terdesak karena habitat terpecah belah. “Tentu saja ini diperparah dengan konversi hutan menjadi lahan budidaya dan perkebunan sekala besar, pertambangan dan pemukiman yang meningkat.”

Dari catatan YLI, area sebaran gajah di Aceh terpotong di 13 lokasi. Beberapa kantong habitat gajah tak layak huni karena area sudah terpecah menjadi kawasan hutan yang sangat sempit. Agus mencontohkan, di Pinding-Lesten, Pinding Lokop, Jeuram – Beutong Ateuh, wilayah Manggamat dan Gelombang.

Jalan-jalan yang dibangun melintasi kawasan hutan ini telah memotong daerah-daerah dengan sebaran keragaman hayati yang tinggi. Kondisi ini juga memberikan dampak lain, yakni, membuka akses orang  mencuri kayu dan memburu satwa.

Penelitian Greenomics menyebutkan, pembangunan jalan di dalam kawasan hutan akan menghasilkan angka kerusakan hutan berkisar antara 400 sampai 2.400 hektare per kilo meter jalan. Hutan Leuser diperkirakan terfragmentasi menjadi 12 kawasan hutan. Bahkan, Taman Buru Lingga Isaq di Aceh Tengah terpecah menjadi tiga bagian.

Hutan Aceh merupakan terbaik di seluruh Sumatera. Bahkan untuk Asia Tenggara, ini satu-satunya kawasan hutan terdiri dari dua blok yang tak terputus yakni antara blok hutan Leuser dan blok hutan Ulu Masen. Sayangnya, koridor dua blok hutan unik ini terancam putus dengan rencana pembangunan jalan.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM. Zulfikar, meminta, Pemerintah Aceh mengkaji kembali rencana melanjutkan pembangunan ruas jalan itu. “Lebih baik fokus meningkatkan perekonomian masyarakat melalui sektor lain yang lebih berwawasan lingkungan,” kata Zulfikar.

Mereka mengingatkan, Pemerintah Aceh yang baru, bahwa, pembangunan ruas –ruas jalan ini berpotensi melanggar beberapa aturan perundangan antara lain, UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Juga UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Mereka protes rencana pembangunan jalan ini karena dampak ekologis sangat luas. “Ini akan membuka akses penghancuran hutan Aceh, memutuskan koridor satwa yang dapat meningkatkan konflik satwa dengan manusia, menghancurkan daerah tangkapan air Aceh. Bencana ini akan merugikan rakyat dan pemerintah.”

Proyek jalan ini sebagian besar melanjutkan  pembangunan Jalan Ladia Galaska, membelah hutan Leuser yakni Jalan Babahrot – Blangkejeren – Pinding – Pasir Putih, Jalan Terangon – Tongra, Jalan Pinding  – Lokop – Peunaron, Jalan Muara Situlen – Gelombang, Jalan Simpang Tritit – Pondok Baru – Samarkilang.  Jalan Trumon – Bulohseuma – Kuala Baru, Jalan Kuala Tuha – Lamie, Jalan Krueng Geukeuh – batas Bener Meriah dan Jalan Simpang Kebayakan – Batas Aceh Utara serta Jalan di Ulu Masen yakni  Jantho – Lamno – Keumala – Pameu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,