600 Orangutan Akan Dilepasliarkan 2015, Hutan Indonesia Musnah Jutaan Hektar Tiap Tahun

Keterbatasan lahan untuk pelepasliaran orangutan ke habitatnya masih menjadi masalah utama dalam konservasi spesies yang kian langka ini. Sejumlah masalah konversi hutan demi perkebunan sawit dan tambang, pembakaran hutan serta masalah serupa, terus menekan wilayah hidup satwa yang memiliki kesamaan DNA lebih dari 90% dengan manusia ini.

Petrus Kanisius dari Yayasan Palung menerangkan, masih masifnya aktivitas yang mengakibatkan semakin sempitnya habitat bagi orangutan hidup, membuat posisi keterancaman hewan-hewan ini sudah patut untuk mendapatkan perhatian lebih, dalam upaya perlindungannya, terutama orangutan yang berada di alam bebas. “Investasi oleh para pengusaha sedikit banyak akan menimbulkan efek samping terhadap habitat maupun terhadap orangutan secara langsung,” katanya kepada Pontianak Post 5 Agustus 2012 silam.

Semakin besarnya kebutuhan masyarakat akan lahan, baik untuk pertanian, perkebunan, pertambangan, dan pemukiman, dengan sumber daya alam yang terbatas, maka semakin meningkat pula ancaman keberadaan kelangsungan orangutan untuk hidup. Apalagi, kata dia,  dua kabupaten yang bersebelahan ini sedang mengeliat memacu pertumbuhan ekonomi dari berbagai sektor dan menganggap perkebunan sawit sebagai ‘emas hijau’ oleh para investornya.

Sawit, salah satu ancaman bagi habitat orangutan di Indonesia. Foto: Aji Wihardandi

Kasus terakhir terjadi saat Yayasan Borneo Orangutan Survival-BOS hari Jumat 10 Agustus 2012 siang mengevakuasi satu bayi orangutan betina yang diperkirakan berusia 2 tahun dari salah seorang warga Perumahan Bumi Palangka 2, Kota Palangkaraya. Seperti dilansir oleh Kompas.com, bayi orangutan spesies pongo pygmaeus yang merupakan spesies asli penghuni hutan tropis Kalimantan Tengah ini diselamatkan warga pada Jumat dinihari saat berkeliaran di atap salah satu rumah di pemukiman penduduk itu.

Koordinator komunikasi yayasan BOS, Friedman Monterado mengaku pihaknya sejak awal musim kemarau banyak menerima orangutan dari masyarakat. Banyaknya orangutan yang memasuki pemukiman penduduk diduga disebabkan oleh kerusakan habitat mereka akibat kebakaran hutan, lahan dan perkebunan.

“Orangutan yang diserahkan banyak sekali, terutama pada musim kemarau karena kebakaran lahan dan sebagainya. Bulan ini orangutan kelima yang masuk,” ujar Friedman kepada Kompas.com.

Orangutan di pusat rehabilitasi di Kalimantan Tengah. Foto: Rhett A. Butler

Terbatasnya lahan untuk kawasan orangutan ini, juga dilontarkan oleh Chief Executive Officer (CEO) Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Jamartin Sihite di Palangkaraya, Kalteng, Kamis 9 Agustus 2012 silam. Dia mengatakan, para pengusaha yang menggunakan lahan dengan skala besar di Kalimantan dan Sumatera didesak untuk ikut melestarikan orangutan. Mereka diminta mengalokasikan sekitar 30 persen dari areal perusahaannya untuk habitat satwa itu. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dijelaskan, daerah harus memiliki kawasan hijau paling sedikit 30 persen dari luas wilayahnya.

Sebagai upaya mendesak perusahaan menyediakan kawasan untuk orangutan, dibutuhkan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. “Pemerintah daerah seharusnya bisa membuat peraturan agar pihak perusahaan mau menyediakan kawasan untuk habitat orangutan,” kata Jamartin kepada Kompas.com.

Perusahaan diminta tak menyediakan kawasan itu melalui tanggung jawab sosial perusahaan. Akan tetapi, perusahaan harus mewujudkannya dengan corporate biodiversity atau program pelestarian lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab atas orangutan yang tersingkir akibat aktivitas ekonomi.

Tingginya kebutuhan lahan untuk pelepasliaran ini, salah satunya juga memenuhi target pelepasan yang tercantum dalam Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Orangutan 2007-2017, yang dicanangkan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali, 2007 silam. Salah satu targetnya adalah menyelesaikan pelepasliaran semua orangutan yang masih berada di pusat rehabilitasi selambat-lambatnya tahun 2015.

Pembukaan hutan untuk keperluan pertanian. Foto: Rhett A. Butler

“Perjalanan mencapai target pelepasliaran pada tahun 2015 masih sangat panjang, masih ada sekitar 600 orangutan lagi yang menunggu di Pusat Reintroduksi Orangutan Nyaru Menteng untuk dilepasliarkan. Kerjasama berbagai pihak sangat diperlukan demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan bersama,” kata Bungaran Saragih, Ketua Dewan Pembina Yayasan BOS, dalam rilis medianya.

Hari Rabu 8 Agustus 2012 silam, Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, kembali melepasliarkan delapan orangutan ke alam, menyusul 15 orangutan yang sudah dilepasliarkan sebelumnya. Kedelapan orangutan yang dianggap sudah memenuhi persyaratan dan bisa bertahan di alam liar adalah Sempung (22 tahun, jantan), Sumbing (23 tahun, jantan), Jessica (14 tahun, betina), Maradona (26 tahun, jantan), Abam (jantan, 10 tahun), Onceng (betina, 9 tahun), Mama Ebol (21 tahun, betina), dan Ebol (8 tahun jantan).

Data deforestasi Indonesia 1999-2005

Namun, mengingat berbagai kasus maraknya konversi lahan yang terus terjadi, seperti kasus Rawa Tripa yang telah menghancurkan ribuan hektar lahan gambut habitat orangutan Sumatera demi kebun sawit, lalu pembukaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah oleh PT Suryamas Cipta Perkasa sebesar 22.000 hektar tanpa izin dan analisis dampak lingkungan, belum lagi pertambahan luasan kebun sawit yang masif di propinsi Riau, dan tak terlindunginya 34.5 juta hektar lahan di Indonesia di bawah program moratorium, serta penebangan yang terus terjadi di hutan primer kendati program moratorium hutan terus berjalan, bagaimana nasib 600 orangutan berikutnya di alam liar?

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , ,