,

Koalisi Masyarakat Desak PP Pelepasan Kawasan Hutan Dicabut

Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pemerintah segera mencabut dan membatalkan dua peraturan pemerintah (PP) yang mengatur pelepasan dan penggunaan kawasan hutan. Pertama, PP No 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah no 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Kedua, PP No 61 2012 mengenai Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.

Koalisi Masyarakat Sipil ini terdiri dari Walhi, Sawit Watch, JKPP, HuMa, Greenpeace dan Silvagama. Koalisi juga meminta, pemerintah mengukuhkan kawasan hutan sesuai aturan perundang-undangan dan menegakkan hukum atas pelanggaran yang terjadi.  Lalu, pemerintah didesak me-review, izin dan kebijakan yang cenderung merugikan negara dan berpotensi memperburuk penyelamatan hutan.

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Walhi Nasional mengatakan, PP ini akan menjadi pemutihan terhadap pelanggaran.  Kondisi ini, justru menciptakan ketidakpastian makin meluas di sektor kehutanan. “Dengan aturan ini praktik dulu, baru hukum menyusul,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu(5/9/12).

Dia mengatakan, kemampuan negara untuk penegakan hukum tidak ada hingga akan menghancurkan hutan Indonesia. Menurut dia, sudah menjadi rahasia umum di lapangan dalam mendapat konsesi, praktik korupsi terjadi. Biaya informal per 1.000 hektare Rp100 miliar. Kalangan pengusaha juga menyebutkan biaya itu sudah naik berkali-kali lipat. “Jadi ada soal serius dalam praktik korupsi,” ujar dia.

Permainan terjadi di tingkat daerah, dan wilayah yang dijarah kawasan kehutanan  yang dikuasakan ke Kementerian Kehutanan.  Melihat kondisi ini, tampak izin dan kebijakan sudah menjadi komoditas. “Ini sudah ada indikasi ke sana. Bagi pemerintah komoditas itu izin. Makin kuat dugaan ke arah sana. Apa yang sebenarnya dipikirkan Presiden ketika meletakkan komitmen?”

Kemunculan dua PP ini pun bak game, artinya kepentingan-kepentingan itu menjadi lebih besar. Untuk itu, koalisi berupaya mendesak pemerintah mencabut PP ini. Bahkan, koalisi tengah melihat peluang judicial review.

Yuyun Indradi, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan, pemerintah mengidentifikasi masalah banyak izin di kawasan hutan baik perkebunan maupun pertambangan. Izin yang dikeluarkan pemerintah daerah ini belum ada kesepakatan antara tata ruang dan tata guna hutan dan jumlah cukup besar.

Jadi, kemunculan PP 60 dan 61 menggantikan PP 10 dan 24, merupakan manuver baru untuk memberikan pengampunan pada pemerintah daerah yang mengeluarkan izin dan pengusaha kebun sawit di kawasan hutan.

“Ketidakjelasan tata batas hutan negara juga jadi sebuah kesalahan yang berujung pada ilegalitas yang didukung pemerintah. “

Pemerintah beranggapan dengan PP ini bisa memotong masalah. “Dalam jangka pendek mungkin iya, selesai. Padahal, itu lebih menumpuk masalah baru. Ini bangun preseden bahwa ternyata tak apa-apa juga (melanggar hukum). Kasus di Kalteng dan Riau, sebagian kecil masalah yang muncul di permukaan, di provinsi lain saya yakin masih banyak,” ucap Yuyun.

Koordinator Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Kasmita Widodo mengatakan, dalam UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyebutkan, izin yang tak sesuai UU bisa dicabut. “Jadi tidak benar jika PP justru membenarkan izin yang tak sesuai itu.”

Grahat Nagara dari Silvagama berpendapat, pemaksaan pemberlakuan dua ketentuan itu seakan ada upaya membebaskan pelaku tindak pidana tata ruang. Andiko, Direktur Eksekutif HuMa menambahkan, pemberlakuan PP ini, berakibat pada hak-hak masyarakat dan lingkungan terabaikan.

Artikel yang diterbitkan oleh
,