Jawa Kering Kerontang, Pemerintah Masih Optimis Pangan Terkendali

Lepas dari pekan pertama September 2012, bencana kekeringan yang melanda Indonesia kian membawa dampak buruk bagi produksi pangan Indonesia. Menururt data Badan Nasional Penanggulangan Bencana sekitar 127.788 hektar lahan sawah mengalami puso, alias gagal panen akibat kering yang berkepanjangan. Kekeringan ini terjadi di hampir seluruh wilayah Jawa, serta berbagai wilayah lainnya di Indonesia.

Di Jawa Barat, Seperti dilaporkan oleh Harian Pikiran Rakyat, hingga tanggal 28 Agustus 2012 silam kekeringan meningkat 7.4%. Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan, Endang Suhendar, menyebutkan, kekeringan di Jabar mencapai 64.670 hektare per 28 Agustus 2012. Data yang disebut oleh Endang tersebut meningkat dari jumlah yang pernah dirilis sebelumnya, yakni sebesar 59.895 hektare.

Dari luas tersebut, yang mengalami puso sekitar 14.731 hektare, dan terancam gagal panen 34.760 hektare. Kabupaten yang mengalami kekeringan terluas adalah Indramayu (kekeringan 16.458 hektare, puso 14.731 hektare), Cirebon (kekeringan 12.767 hektare, puso 2.359 hektare), dan Sukabumi (kekeringan 9.253 hektare, puso 2.359 hektare).

Di Yogyakarta, dua desa di kaki Merapi kini terpaksa membeli air akibat sumur yang ada di wilayah itu tidak lagi mengeluarkan air untuk memenuhi kebutuhan pertanian maupun konsumsi.

Hal serupa juga terjadi di Wonogiri, Jawa Tengah. Seperti dilaporkan oleh Solo Pos, kekeringan yang melanda wilayah Wonogiri tidak hanya terjadi di sumber air untuk konsumsi warga, tetapi juga sumber air untuk irigasi lahan pertanian. Volume air di Waduk Gajah Mungkur (WGM) juga semakin menurun karena tidak ada suplai air dari hulu. Untuk itu, Perum Jasa Tirta Wilayah Sungai Bengawan Solo mengusulkan hujan buatan.

Terkait ketinggian air waduk yang semakin turun, pada Rabu pukul 12.00 WIB berada di ketinggian 130,39 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan pukul 07.00 WIB, pada ketinggian 130,37 mdpl. Beberapa hari lalu, ketinggian air waduk masih 130,54 mdpl. Sedangkan batas bawah permukaan air yang dianjurkan yakni 129-130 mdpl.

Di sisi lain, wilayah Kecamatan Baturetno yang merupakan hulu sungai yang menuju waduk, telah mengering. Camat Baturetno, Teguh Setiyono, mengatakan keringnya sungai-sungai yang merupakan hulu waduk membuat petani berhenti menanam padi sementara waktu. Mereka memilih untuk menanam jagung yang tidak membutuhkan banyak air.

Wonogiri adalah daerah yang cukup subur di kala musim penghujan. Dengan pengairan yang baik wilayah ini menghasilkan padi berlimpah. Namun saat kekeringan, wilayah ini adalah salah satu yang paling menderita. Foto: Aji Wihardandi

Selain waduk Gajah Mungkur, dari data yang dimiliki BNPB, tiga waduk besar di Jawa Barat kondisinya kini tengah waspada, yaitu Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Terdapat selisih 187,66 juta meter kubik dari normalnya. Hal yang sama juga terjadi di Jawa Tengah, seperti waduk Wonogiri, Cacaban, Rawapening, Gembong, Sudirman. Di Jawa Tengah terdapat sembilan waduk normal, 20 waspada, dan delapan kering.

Waduk Sermo di DIY juga dalam kondisi waspada. Demikian pula waduk Lahor, Sutami dan Bening mengalami waspada. Total di Jawa Timur terdapat tujuh normal, 13 waspada, satu kering. 10 waduk yang kering adalah Krisak, Plumbon, kedungguling, Nawangan, Ngancar, Delingan, Gebyar, Botok, Prijelan, Gerogak. Sedangkan di Bali dari lima waduk yang ada empat waspada dan satu kering.

Menyitir harian Surabaya Post, meski pemerintah bilang tak akan ada krisis pangan meski terjadi kekeringan, tapi Badan Pangan dan Pertanian PBB, FAO mengingatkan kemungkinan terulangnya krisis pangan seperti yang terjadi tahun 2008.

Bahkan, Bank Dunia mengatakan kekeringan di sebagian dunia telah mendorong harga pangan global naik tajam.Lembaga pemberi pinjaman internasional itu mengatakan, harga pangan dunia melonjak hingga 10 persen pada Juli. Tanaman jagung dan kedelai menjadi komoditas yang mencapai harga tertinggi.

Secara keseluruhan, Indeks Harga Pangan Bank Dunia, yang melacak perdagangan komoditas pangan secara internasional, naik 6 persen dari bulan Juli dari tahun sebelumnya.

Dari Juni sampai Juli, Bank Dunia mencatat harga jagung dan gandum melonjak 25 persen. Sementara kedelai naik 17 persen. Hanya harga beras yang turun sampai 4 persen.

Peta kejadian bencana kekeringan di Indonesia antara 1979 hingga 2009. Klik untuk memperbesar peta. Peta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Terkait bencana kekeringan yang masih melanda, Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan kepda jaringnews.com, siklus tahunan bagi petani tersebut tentu berpengaruh terhadap target produksi padi atau beras nasional. Meski begitu pihaknya optimis target produksi bulog sebesar 2,2 juta ton tetap terjaga hingga 8 bulan kedepan.

“Kalau itu luasannya sampai luas tertentu pasti secara nasional juga akan berpengaruh terhadap target peningkatan produksi yang terjadi,” ujar Sutarto di Jakarta, Sabtu 8 September silam.

Berdasarkan data yang dikeluarkan Perum Bulog periode Januari hingga 5 September 2012 Bulog mencatat pengadaan beras dalam negeri terbesar dimulai dari Jawa Timur sebesar 890.603 ton, Jawa Tengah 660.883 ton, Jawa Barat 436.141 ton, Sulawesi Selatan 338.237 ton, Nusa Tenggara Barat 131.084 ton, Jakarta 73.482 ton, serta Lampung 67.806 ton.

Rencana penanggulangan sementara bencana kekeringan yang makin meluas ini, disiapkan mulai dari tingkat lokal hingga pemerintah pusat saat ini.

Warga Boyolali di Jawa Tengah yang kesulitan air, kini mendapat pasokan air bersih dari Bank Jateng dan PMI Jawa Tengah. Rencana lain, adalah penambahan waduk yang ada di Indonesia. Selain untuk memgatasi kekeringan, waduk juga ditujukan untuk menambah layanan irigasi nasional. Pasalnya, hingga saat ini baru 11% atau 797.971 ha daerah irigasi yang dilayani waduk, sementara 89% atau 6,42 juta hektar lainnya masik menggunakan air yang bersumber dari non waduk.

Namun pemerintah belum merasa perlu untuk melakukan bantuan hujan buatan bagi wilayah yang kekeringan. Kepada Suara Karya, Kepala Bidang Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pembuatan Hujan BPPT Tri Handoko Seto mengungkapkan, hingga saat ini belum ada inisiatif pemerintah daerah untuk meminta hujan buatan dalam ragnka mengatasi kekeringan. Saat ini baru Jawa Timur yang tengah melakukan penjajakan, selebihnya belum ada permintaan untuk membuat hujan buatan. Padahal jika permintaan mendesak, awan yang ada di langit Jawa juga belum tentu cukup untuk mengguyur wilayah yang kekeringan.

Sementara, di tengah bencana kekeringan yang berdampak buruk bagi pertanian nasional, Menteri  Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Agung Laksono justru menegaskan bahwa dampak kekeringan di Indonesia masih terkendali. “Cadangan beras sudah ada, belum digunakan. Di setiap kabupaten kita distribusikan sebesar 50 hingga 100 ton beras. Sedangkan di provinsi kita siapkan hingga 200 ton beras,” ujar Agung Laksono kepada Detik.com.

Menyimpan jutaan ton beras, maupun mengganti beras yang puso, mungkin baik untuk langkah penyelamat sesaat. Namun petani nampaknya akan jauh lebih bahagia ketika sawahnya bisa berproduksi sepanjang tahun, tanpa harus waspada setiap kali kemarau melanda. Langkah jangka panjang nampaknya lebih krusial saat ini dibanding menyumpal    masalah yang akan berulang di depan mata.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,