,

Kala Warga Sukadamai Terteror Kehadiran Tambang

“Yang pasti saya akan tetap bertahan. Kami sudah  tenteram dengan berkebun karet dan sawit. Kalau tambang masuk lingkungan rusak. Belum dampak lain.” Begitu ungkapan Alifanul. Dia bersama Muliarto, Ketua Forum Solidaritas Masyarakat B5, dan beberapa warga, ke Jakarta mengadu ke Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Mereka adalah warga Desa Sukadamai Baru, Sungai Lilin, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan (Sumsel). Tanah desa dan kebun mereka terancam dengan kehadiran PT. Tigadaya Minergi (TDM). Mereka diintimidasi.  Terteror dengan mobilisasi kepolisian dan TNI yang dilakukan perusahaan dan kaki tangan guna melancarkan realisasi tambang itu.

“Saya  ada kebun  karet satu hektare. Per bulan hasil karet sekitar tiga kuintal, harga sekarang satu kg Rp9.500. Saya tak mau kebun karet jadi tambang,” katanya Jumat(7/9/12).

Alifanul beberapa kali didatangi pihak perusahaan dan dibujuk agar menjual lahan. Dia tak mau. Mereka menakut-nakuti. “Mereka bilang kalau lahan tidak dilepaskan, bapak tidak dapat apa-apa setelah PT TDM masuk. Jadi lebih baik bapak saya ganti uang sebagai tanam tumbuh Rp60 sampai Rp80 juta,” katanya menirukan ucapan orang yang datang meminta pelepasan lahan.

Alifanul tetap  bertahan. Dia tak ingin tambang masuk ke daerah mereka. Dia khawatir kehidupan warga terganggu dan lingkungan rusak.  “Yang pasti sekarang saja sudah ada masalah debu dari mobil-mobil mereka. “Mereka bawa mobil tidak memperhatikan kondisi jalan desa. Debu banyak. Jalan ada ada beraspal dan tidak. Yang dekat tambang sekitar 1,5 km belum diaspal.”

Perusahaan  tambang ini dipimpin pasangan suami istri Musjwirah Yusuf Kalla – putri mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla – dan Langlang Wilangkoro, yang mendapatkan izin menambang seluas 10.010 hektare. Wilayah tambang ini terletak di ujung Desa Sri Gunung, dan berbatasan langsung dengan pemukiman warga Desa Suka Damai Baru.

Desa Sukadamai Baru, dulu dikenal dengan B5, hasil program transmigrasi pemerintah pada 1981. Sebagian besar warga menanam sawit dan karet. Penghasilan rata-rata tiap bulan untuk petani sawit plasma sekitar Rp4-Rp5 juta. Petani karet rata-rata Rp3-Rp4 juta per bulan. “Jadi, kebutuhan warga sudah terpenuhi dan tentram dengan keadaan saat ini.”

Muliarto, Ketua Forum Solidaritas Masyarakat B5 mengatakan, masalah muncul ketika ada perusahaan batubara. “Sosialisasi kepada masyarakat tidak ada. Masyarakat tahu setelah ada pematokan lahan,” katanya.

Dia menceritakan, kabar mau ada masuk perusahaan yang akan menambang batu bara sekitar tahun 2004. Tahun 2006,  hingga 2010 mereka mulai survei lahan dengan pengeboran guna melihat kandungan batu bara. “Masalahnya lahan yang disurvei itu milik warga. Ada yang plasma,  ada yang milik lahan pribadi. Karena tak ada sosialisasi warga marah. Kemarahan makin mencuat saat ini,” ujar dia.

Sampai kini, pembebasan lahan masih jadi masalah.  “Warga tak mau menjual didatangi terus menerus.” Warga ditakut-takuti bahwa lahan akan hilang jika tak mau melepas kepada perusahaan. “Misal, mereka bilang batu bara itu milik negara, ketika negara itu membutuhkan warga tidak mendapatkan apa-apa.”  Dia mengindikasi,  ada kerja sama dengan pemerintah Desa Sri Gunung.

Rencana lokasi penambangan PT. TDM, sekitar 100 meter dari pemukiman warga. Keadaan ini sangat mengancam dengan potensi tanah longsor dan sumber air air terkuras untuk tambang.

“Di sana mayoritas petani karet dan sawit, tanaman ini perlu debit air besar. Kalau pertambangan digali, air akan mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Pasokan air warga bisa hilang.”

Masalah lain, ketika perusahaan melakukan penebangan pohon karet atau sawit, selalu dikawal aparat kepolisian sekitar 30 orang. “Pakai mobil mondar mandir. Itu juga bikin takut warga.”

Lebih aneh lagi, warga dianggap berdomisili di lahan sengketa. Padahal, 500  keluarga yang sejak semula tinggal di sana dalam program transmigrasi. Mereka telah memiliki sertifikat lahan atau surat keterangan tanah )SKT) yang sah.

“Membiarkan PT. TDM beroperasi, berarti pemerintah buta dan tuli, akan perampasan lahan dan hak yang mengancam keselamatan warga. Ini menegaskan negara lebih menghargai perusahaan ketimbang pilihan rakyat,” kata Andrie S Wijaya, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Menurut dia, warga tidak begitu saja menerima kehadiran PT. TDM. Namun, penolakan warga disikapi upaya-upaya intimidasi oleh pihak-pihak yang mencari untung juga aparat keamanan. Bahkan, beberapa warga diperiksa kepolisian karena dituduh provokasi dan melanggar hukum.

Justru, keberadaan PT. TDM-lah, kata Andrie, yang seharusnya melanggar hukum. Izin perusahaan ini diberikan Bupati Muba pada Agustus 2009, padahal UU No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan Desember 2009. Persetujuan kelayakan analisis dampak lingkungan (amdal) diberikan Bupati Muba melalui keputusan No. 0678 tahun 2010, 11 Juni 2010.

“Ini cacat hukum, persetujuan itu harusnya dikeluarkan Gubernur karena masih menggunakan PP 27 tahun 1999 tentang Amdal, bukan PP 27 tahun 2012 yang memberikan kewenangan bagi bupati.”

“Jika peraturan-peraturan di negara ini saja dengan mudah diterabas oleh PT. TDM, maka tidak heran hak masyarakat pun akan diabaikan,” ucap Andrie.

Mualimin, Ketua Lembaga Pembelaan Keadilan Kesejahteraan Masyarakat (Lentera), pendamping sekaligus kuasa hukum warga menyatakan, saat ini, Sumsel mudah dan banyak sekali terjadi tindak kekerasan dan pertikaian yang mengakibatkan korban jiwa dalam konflik antara perusahaan dan masyarakat.

“Disayangkan jika pemerintah daerah memaksakan PT. TDM beroperasi dengan meminggirkan hak-hak masyarakat. Kami meminta aparat keamanan menghentikan keberpihakan kepada perusahaan. Ini jelas menimbulkan trauma tersendiri  bagi masyarakat sekaligus berpotensi memiskinkan mereka.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,