,

Kasepuhan Ciptagelar dan Gonjang-Ganjing di Taman Firdaus (Bagian-2/akhir)

“Aduh tangan abah kesundut”, demikian lelaki usia muda terpekik, sembari secara reflek mengibas-ngibaskan tangannya.  Mimik mukanya bercampur antara reaksi kepanasan dengan reaksi keterkejutan.  Malam itu, Abah Ugi, demikian, ia biasa disapa, sedang bersemangat untuk menerangkan tentang konsep desa mandiri energi. Disaat bersamaan sambil berbicara, -sebagai bagian dari hobinya-, ia sedang merangkai chip elektronik untuk antena mikro pemancar radio.  Itulah mengapa solder terletak di dekat sudut jari tangannya.

Lelaki itu, bukan lelaki biasa. Ugi Sugriana Rakasiwi adalah pemimpin masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yang berjumlah lebih dari 30.000 yang tersebar di 568 kampung di seluruh penjuru pegunungan Halimun.  Abah Ugi memang masih berusia muda, berada di paruh usia duapuluhan.  Ia menjadi pemimpin sejak menggantikan ayahnya Abah Encup Sucipta (Abah Anom) yang meninggal pada tahun 2007.  Pemimpin bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar diturunkan secara garis keturunan.  Berdasarkan silsilah, Ugi adalah pemimpin kesebelas masyarakat Kasepuhan (Kaolotan) Ciptagelar.

Bagi masyarakat Ciptagelar, pemimpin adalah simbol relasi, yang terkait erat dengan pelaksanaan tradisi yang ada.  Pemimpinlah yang menentukan waktu untuk melaksanakan ritual-ritual adat setelah memperoleh restu dari para leluhur, termasuk penentuan masa tanam padi hingga selesainya keseluruhan siklus. Pemimpin dipercaya mampu berhubungan secara alam transendetal, termasuk berhubungan dengan leluhur, ia menjalankan segala sesuatunya berasal dari restu semesta.

Seluruh perintah pemimpin adalah absolut, untuk diikuti dan dijalankan. Sekali seseorang diangkat menjadi pemimpin adat, maka seluruh atribut sosial melekat kepadanya.  Oleh karena itu, meski masih berusia muda, Ugi sudah disebut sebagai Abah (=Bapak).

Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar percaya bahwa seorang pemimpin pula yang akan mendapatkan ‘wangsit’ atau mendapatkan petunjuk dari leluhur jika sudah waktunya bagi mereka berpindah lokasi.  Ciptagelar sendiri, merupakan kampung terakhir yang dibuka atas petunjuk leluhur pada tahun 2001, setelah sebelumnya mereka menghuni Ciptarasa, 14 km dari kampung saat ini.  Itu pulalah yang membuat warga kasepuhan tidak boleh membuat rumah dari bahan permanen.

Ciptagelar merupakan satu dari beberapa Kasepuhan di pegunungan Halimun.  Kasepuhan lain adalah Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek, serta Kasepuhan Cibedug. Ciptagelar sendiri melingkup dua Kasepuhan yang lain, yakni Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sirnaresmi.

Seluruh rumah di masyarakat adat ini merupakan rumah panggung, terbuat dari kayu, dilapisi bilik bambu dan beratapkan pelepah aren yang dikeringkan.  Dalam pengelolaan ekosistem, masyarakat adat mengenal tiga jenis kawasan yaitu leuweung titipan, leuweng tutupan (keduanya hutan yang tidak boleh diganggu/ dibuka termasuk penghuninya) dan leuweng bukaan/lahan garapan (dapat digunakan untuk budidaya pertanian).

Ugi sendiri bukanlah jenis pemimpin masyarakat adat bergaya konvensional dan kolot.  Ia pernah berkuliah di Bandung (meski tidak selesai karena keburu dipanggil untuk menggantikan ayahandanya), demikian pula Ugi juga berpikiran maju.  Ia saat ini sedang mentransformasikan agar rumah-rumah masyarakat adat di Ciptagelar mendapatkan listrik melalui pemanfaatan sumber daya air yang tersedia atau mikro hidro.

Melalui pengetahuannya tentang elektronika arus lemah, Ia pula yang menginisiasi pendirian radio dan televisi Ciptagelar atau yang disebut CIGA TV, sebuah televisi komunitas yang saat ini dapat dinikmati di frekuensi VHF 162 MHz oleh masyarakat Ciptagelar.  Yoyo Yogasmana, pengelola televisi tersebut, menjelaskan bahwa televisi merupakan sarana untuk melestarikan budaya lokal yang ada. Dengan satu unit kamera saku dan didampingi oleh dua kru lokal, Yoyo pun rajin untuk mengunggah acara-acara lokal di televisi kesayangannya tersebut.

Atas inisiatifnya Abah pula, di daerah yang “terpencil” ini telepon seluler dapat digunakan, setelah Abah Ugi memperkenankan satu provider seluler untuk mendirikan pemancar di tempat ini.

Ditengah-tengah masyarakat yang hidup berabad-abad di kawasan pegunungan Halimun ini, jauh didasar hati mereka, sebenarnya terdapat kerisauan untuk masa depan lahan-lahan yang mereka kelola saat ini.

Hamparan sawah setelah dipanen. Siklus tanam padi hanya sekali dalam setahun di masyarakat tradisi Ciptagelar. Foto: Ridzki R. Sigit

Pengelolaan Kawasan Pegunungan Halimun

Membentang sebagai barisan pegunungan yang membatasi daerah yang sekarang dikenal sebagai propinsi Banten dan Jawa Barat, lebih dari 110.000 hektar wilayah hutan tropis pegunungan Halimun merupakan daerah hutan hujan terluas dalam sebuah bentangan yang masih tersisa di pulau Jawa ini.

Meskipun demikian, tidak banyak informasi tentang kawasan pegunungan Halimun ini yang terekspos oleh data ilmiah setidak-tidaknya hingga dekade kedua abad ke-20.  Informasi tertulis menyebutkan daerah ini ditetapkan oleh Belanda sebagai kawasan Cagar Alam, dan bahwa eksploitasi emas pertama mulai dilakukan di wilayah Cikotok yang berada di wilayah barat daya pegunungan Halimun sebagai lanjutan kerja eksplorasi geologis W.F Oppenoorth, seorang Belanda telah melakukan pekerjaan eksplorasi dan pemetaan dari tahun 1924.  Eksploitasi di Cikotok dilakukan oleh sebuah perusahaan Belanda N.V. Mijnbauw Maatschapij Zuid Bantam (MMZB) sejak tahun 1936.

Halimun (bahasa Sunda: berarti kabut), merupakan kawasan geografis dimana lintasan sejarahnya merupakan perpaduan antara habitus masyarakat tradisi, upaya konservasi, pengembangan kawasan budidaya perkebunan teh dan usaha eksploitasi pertambangan emas.

Pusat kekayaan Ragam hayati

Jika masih terdapat Taman Firdaus di bumi, mungkin kawasan pegunungan Halimun merupakan salah satu sisa Firdaus yang tertinggal dimana satwa berdampingan habitat hidup dengan vegetasi asli.

Dengan penunjukan kawasan ini menjadi TN Gunung Halimun Salak, maka wilayah ini adalah kawasan yang difungsikan sebagai kawasan konservasi.  Konservasi sendiri dibedakan sesuai jenisnya menjadi konservasi sumberdaya genetik, konservasi spesies dan konservasi kawasan.

Keanekaragaman hayati di kawasan pegunungan Halimun dan Salak merupakan kawasan representasi terlengkap yang menggambarkan hutan hujan pegunungan yang ada di Jawa.  Terdata (diyakini dapat bertambah, karena belum seluruh kawasan selesai diinventarisasi) kawasan ini merupakan habitat dari lebih 500 spesies tumbuhan,  156 anggrek, 244 spesies burung (27 diantaranya endemik Jawa dengan sebaran terbatas),  16 spesies kodok, 12 spesies kadal, 9 spesies ular dan 61 jenis mamalia khas.

Jenis-jenis satwa yang menjadi simbol karena kelangkaan dan endemisitas diantaranya adalah macan tutul jawa (Panthera pardus melas), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis aygula), lutung budeng (Trachypithecus auratus), anjing hutan ajag (Cuon alpinus), burung raptor elang jawa (Spizaetus bartelsi), luntur jawa (Apalharpactes reinwardtii), hingga celepuk jawa (Otus angelinae) yang langka.  Untuk vegetasi, maka beberapa spesies asli pulau Jawa yang masih dapat ditemukan diantaranya jenis meranti endemik Jawa palahlar (Dipterocarpus hasselthi), saninten (Castanopsis javanica) dan pasang (Quercus oldocarpa).

Selain fungsi keanekaragaman hayatinya, wilayah ini merupakan sumber dari 115 sungai dan anak sungai yang berhulu di kawasan pegunungan Halimun dan menjadi sumber air utama untuk wilayah Banten dan Jawa Barat bagian utara serta ada pula yang dialirkan ke DKI Jakarta.

Lintasan Peristiwa di Pegunungan Halimun (sumber: kompilasi data)

Pelepasan Kawasan TN, Kasepuhan diantara Tarik-Menarik Kepentingan

Gonjang-ganjing kawasan Halimun saat ini mungkin berada di titik kulminasi.  Banyaknya kepentingan di kawasan ini tampaknya perlu dicari jalan keluar terbaik, kepentingan ekonomi-politik dari sisi otonomi daerah, konservasi, pertambangan, perkebunan PAD, preservasi sumber air, dan ragam potensi terkandung dalam kawasan semuanya bercampur aduk.

Nasib kawasan Halimun mungkin ditentukan dengan keputusan yang diambil saat ini. Layaknya seorang hakim, Menhutlah yang akan menjadi pemegang kuncinya.  Apapun keputusan yang diambil akan berpengaruh baik untuk lingkungan maupun masyarakat hingga puluhan tahun kedepan.

Melalui Keputusan Menteri Kehutanan SK Menhut no. 175/2003, Taman Nasional  Gunung Halimun-Salak (TNGHS) mengalami perluasan menjadi 113.357 ha yang merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks  hutan lindung Perum Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya.  Secara administratif berada di kabupaten Bogor dan Sukabumi (propinsi Jawa Barat) dan kabupaten Lebak (propinsi Banten).

Namun SK Menhut tersebut tidak diterima dengan baik.  Sejak tahun 2008 Pemda Kabupaten Lebak dan Kabupaten Sukabumi telah bersurat kepada Menhut untuk melepaskan atau merevisi SK Menhut no. 175/2003, tentang perluasan kawasan TNGHS dalam rangka kepentingan akses ke wilayah tertinggal dan untuk rencana pengembangan kawasan.

Untuk kabupaten Lebak sendiri, berdasarkan SK Menhut no 175/2003, luas lahan TNGHS yang semula 16 ribu hektar, akan menjadi 42 ribu hektar. Perluasan lahan tersebut diminta dibatalkan karena akan bertabrakan dengan ribuan warga yang berada di sepuluh kecamatan.

Merespon dari permintaan pelepasan kawasan/ revisi TNGHS, Menhut (lewat SK 183/2012) kemudian membentuk Tim Terpadu Pengkajian Lapangan untuk melihat berbagai segi kajian terhadap perubahan kawasan ini. Tim mulai bekerja sejak April 2012 untuk kemudian merepresentasikan hasil temuannya kepada Menhut.

Jika permintaan ini disetujui maka sekitar 36.713 ha hutan kawasan TNGHS akan dikeluarkan, dengan rincian dikeluarkan menjadi hutan lindung (HL) seluas 20.180 ha, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 12.128 ha, dan hutan produksi tetap (HP) seluas 4.405 ha.  Adapun kedepannya luas TNGHS adalah menjadi 68.590 ha atau hanya sekitar 60% dari luasannya sekarang.

Para pengkritik dari kalangan akademisi mencemaskan rencana ini, dan menganggapnya sebagai preseden buruk bagi dunia konservasi. Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib seperti dikutip Jurnas (13/8) menyebutkan  “Jika usulan itu disetujui, pencitraan Kementerian Kehutanan tentu saja akan menjadi jelek karena pada saat ini yang seharusnya Taman Nasional menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati tetapi justru diubah,”

Kawasan pegunungan Halimun yang berbukit-bukit. Foto: Ridzki R. Sigit

Di sisi lain, beberapa kalangan environmentalis beranggapan bahwa perubahan fungsi tersebut akan membawa dampak ikutan bagi semakin masifnya laju perusakan kawasan Halimun. Akses yang terbuka akan berakibat kepada makin mudahnya jumlah penambang liar yang akan masuk di kawasan ini dan juga membuka jalur-jalur illegal logging.

Sudah rahasia umum, bahwa di antara lipatan punggungan Halimun banyak menyimpan deposit logam mulia khususnya emas. Penegakan hukum yang lemah, pengelolaan pertambangan yang tidak terkontrol seperti saat inipun menyebabkan tercemarnya sungai-sungai akibat buangan sisa merkuri oleh para penambang liar. Pelepasan kawasan non kawasan konservasi untuk kawasan non kehutanan juga dipandang lebih mudah dilakukan jika dibandingkan apabila kawasan tersebut masih dalam status kawasan konservasi.

Salah satunya usulan perubahan fungsi kawasan dari TN menjadi hutan lindung adalah untuk mengakomodir kepentingan eksploitasi PT ANTAM di Pongkor agar tidak terjadi tumpang tindih dalam regulasi.  Hal serupa diyakini untuk mempermudah lelang dan pengembangan investasi Geothermal oleh PT Chevron Geothermal Indonesia dan Pertamina di Gunung Endut, kecamatan Sobang.

Akhir Cerita

Malam bulan purnama di Ciptagelar, seperti biasa diisi oleh Abah Ugi bersama baris kolot (para sesepuh) memanjatkan puji syukur kepada sang Pencipta atas segala perlindungan selama ini kepada komunitas Kasepuhan.

“Abah sedang menyampaikan doa, agar seluruh keseimbangan alam dapat dipulihkan.  Abah juga tidak segan-segan turun sendiri jika menemukan ada yang mencuri kayu maupun membuat galian lubang tanpa ijin” demikian seorang kokolot kampung menyampaikan.

Di tengah gonjang-ganjing yang ada, sebagai komunitas yang menghuni  pegunungan Halimun bergenerasi, tidaklah layak mereka ditempatkan sebagai obyek penerima saja, -menerima yang telah dirumuskan oleh pihak lain-.  Apalagi hanya untuk kepentingan permainan jangka pendek proyek semata.

Sebagai sebuah komunitas yang telah menghuni secara turun-temurun selama ratusan tahun di pegunungan Halimun, Kasepuhan Ciptagelar telah berhasil beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya.  Mereka telah membudidayakan padi dan mengenal lebih dari 140 jenis varietas padi.  Sebuah buah upaya konservasi genetik yang diturunkan lewat kearifan tradisional. Mungkin kedepannya, dari salah satu varietas galur murni inilah, yang akan membantu masyarakat dunia untuk menemukan persilangan padi yang dicari-cari oleh para peneliti saat ini, yang tahan terhadap dampak perubahan iklim seperti dewasa ini.

Komunitas tradisional ini harus ditempatkan sebagai subyek pelaku yang perlu didengar oleh para pihak.  Mengabaikan mereka adalah sebuah kesalahan sejarah. Memadukan antara zonasi tradisional (leuweng tutupan, titipan, garapan) dengan zonasi modern baik itu konsep TN maupun kawasan hutan lainnya mungkin menjadi salah satu pintu masuk untuk mendudukkan peta masalah dan menciptakan resolusi bersama terbaik bagi kawasan pegunungan Halimun.  Seperti yang selalu diucapkan oleh orang bijak, kita hidup di bumi titipan anak cucu, bukan di bumi warisan orang tua.

Dengan segala hormat, kita menunggu akhir cerita dan kabar baik dari Taman Firdaus tersisa di Jawa ini.

Lihat tulisan sebelumnya:

Seren Taun: Tradisi Syukur Panen Padi Ciptagelar yang Eksis Sejak 644 tahun yang lalu (bagian-1)

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,