,

Industri Emas Hitam Menggerus Habitat Bekantan Samboja

Meskipun warna airnya tidak hitam, namun masyarakat di kawasan Kuala Samboja Kutai Kertanegara, tetap menyebutnya Sungai Hitam atau Sei Hitam. Wilayah ini merupakan muara sungai atau kuala yang mempunyai hubungan bebas dengan laut terbuka dan sangat dipengaruhi oleh pasang surut. Secara administratif terletak di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, searah jalan raya Handil‑Balikpapan.

Pesona Sungai Hitam telah dikenal dunia, kawasan ini merupakan salah satu lokasi spesies endemik Kalimantan yang langka dan dilindungi yaitu Bekantan atau Proboscis Monkey (Nasalis larvatus). Bekantan telah menjadikan Sungai Hitam sebagai habitat untuk mencari makan, tinggal dan bermain. Diperkirakan habitat bekantan di sana mencapai ratusan ekor.

Seperti primata lainnya, hampir seluruh bagian tubuhnya ditutupi oleh rambut (bulu), kepala, leher, punggung dan bahunya berwarna coklat kekuning‑kuningan sampai coklat kemerah‑merahan, kadang‑kadang coklat tua. Dada, perut dan ekor berwarna putih abu‑abu dan putih kekuning‑kuningan.

Selain bekantan kita bisa mendapati beberapa bintang lainnya terutama dari  keluarga aves atau unggas. Seperti Burung Raja Udang atau biasa disebut tengkek udang. Burung ini memiliki ciri paruh agak besar berwarna  merah, badan coklat, dan sayap berwarna biru, serta bagian kepala berwarna kuning. selain itu terdapat pula burung kuntul, Tupai, Biawak.

Warga Samboja yang masih memanfaatkan Sungai Hitam untuk kehidupan sehari-hari. Wilayah ini kini mengalami penurunan fungsi ekologis seiring dengan meningkatnya pencemaran akibat pertambangan batubara yang sangat marak di Samboja. Foto: Hendar

Kuasa Pertambangan Ancam Ekosistem Sungai Hitam

Namun sayang, seiring berjalannya waktu kawasan ini terus mengalami berbagai perubahan ekologis akibat dampak berbagai industri yang semakin marak. Dahulu penduduk yang mencari ikan dan udang bisa memperoleh udang hingga dua kilogram per hari, namun saat ini mereka bahkan harus menunggu sehari penuh untuk mendapatkan beberapa ekor saja.

Hal ini dikatakan salah satu motoris warga RT 14 kawasan Sungai Hitam Mudakir. “Biasanya kami mendapatkan udang perhari mencapai satu hingga dua kilogram, tapi saat ini sangat susah. Kadang tidak apat sama sekali kadang cuma dapat beberapa ekor saja,” kata Mudakir, kepada Mongabay Indonesia.

Selain sebagai area pemancingan alami, sebagian masyarakat memanfaatkan nipah yang ada ditepi sungai untuk dibuat atap rumah dan kerajinan. Masyarakat juga memanfaatkan sungai ini sebagai sumber air untuk mandi, mencuci dan sarana transportasi mengangkut hasil pertanian.

Dikatakan Mudakir, awalnya dikatakan sungai Hitam, sungai ini airnya berwarna hitam karena lebih banyak lahan gambut. “Dahulu sungai hitam ini warnanya hitam, namun saat ini, warnanya mulai menjadi coklat. Selain udang, Ikan juga banyak, ada gurami, patin dan ikan lainnya,” kata Mudakir.

Sungai Hitam seringkali menerima tamu dari berbagai belahan dunia yang ingin menikmati dan melihat bekantan langsung di alamnya. Baik penduduk lokal, maupun mancanegara.

“Kami sangat senang memiliki kawasan dengan habitat bekantan yang banyak, selain kami dapat mengetahui khidupannya, kami dapat merekan dengan mudah karena letaknya tidak begitu jauh dari kota dan masyarakat,” ungkap Sugeng, salah satu pengemar fotografi dari Balikpapan.

“Kalau kita menelusuri kawasan ini, banyak yang kita jumpai. Banyak wisatawan asing yang datang ke Sungai Hitam untuk menyaksikan keanekaragaman fauna dan keindahan sungai Hitam, Ada menteri dari Singapura, Belanda, Australia, Canada, Jepang dan beberapa media dari luar negeri,” tambah Mudakir.

Namun saat ini Sungai Hitam semakin terancam dengan banyaknya pengupasan lahan untuk pertambangan batubara di kawasan hulu, seperti di kawasan Margo, Sungai Seluang, Lampe, Samboja. Diperkirakan akibat banyaknya kawasan yang dijadikan pertambangan tersebut, Sungai hitam mulai tercemar. “Sungai Hitam, sekarang banyak kotoran dari batang-batang pohon, dan lumpur, sehingga warna airnya menjadi coklat. dan warga jarang menadapatkan ikan dan udang di sungai ini. Hal ini disebabkan Sungai Hitam merupakan muara dari beberapa sungai di bawahnya seperti, Sungai Seluang dan Sungai Merdeka,” papar Mundakir.

Bukan hanya itu, hujan yang lebat di kawasan Samboja dahulunya hanya mengenangi anak sungai di kawasan tersebut, saat ini telah merendam rumah warga kawasan Sungai Hitam hingga mencapai satu meter. “Sekarang kalau hujan lebat banjirnya bisa sampai satu meter,” papar Mundakir.

Ilustrasi pertambangan batubara. Foto: Aji Wihardandi

Sementara itu, Dinamisator Jatam Kaltim Kahar Al Bahri, mengungkapkan, di Kecamatan Samboja yang terdiri dari 17 Kelurahan dan empat desa tersebut  terdapat 90 Kuasa Pertambangan (KP) dan setiap kelurahan sekitar terdapat empat KP. “Menurut data yang kami punya di Samboja terdapat 90 KP di 21 kelurahan dan desa. Setiap Kelurahan terdapat empat KP,” ungkap Kahar kepada Mongabay

Ditambahkan Kahar, untuk kawasan daratan diperkirakan sudah habis, sekarang tinggal dampak di Pesisir. “Kawasan Sungai Hitam merupakan salah satu kawasan yang termasuk dalam dampak pertambangan di Samboja. Sudah dipastikan kerusakan ekosistem dikawasan Sungai Hitam pasti terjadi karena petambangan tersebut,” Ungkap Kahar.

Saat ini dampak dari pertambangan di kawasan pesisir dapat terlihat kurang dari lima tahun belakangan. “Bila pertambangan batu bara dilakukan sama seperti yang terjadi di kawasan Samarinda dan Kukar lainnya, sudah di pastikan dampak kerusakan di kawasan pesisir, dapat dilihat kurang dari lima tahun, Hal ini sangat berpengaruh bagi kelangsungan mahluk hidup di kawasan yang seharusnya dilestarikan,” papar Kahar.

Berdasarkan Keputusan Presiden no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan Kawasan lindung disebutkan bahwa daerah sempadan sungai dengan jarak 50 m dari dari tepi sungai merupakan kawasan dilindungi yang tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan pemukiman dan produksi. Namun seperti biasa, peraturan tinggallah peraturan belaka.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,