,

Diplomat Indonesia Keberatan Atas UU Pencegahan Ilegal Logging Australia

Rencana pemerintah Australia untuk memberlakukan Illegal Logging Prohibition Bill atau Undang-Undang Pelarangan Penebangan Ilegal yang melarang Australia membeli kayu dari beberapa negara yang dicurigai banyak terlibat dalam penebangan liar bagi kayu ekspor mereka, kembali menuai protes dari pihak Indonesia sebagai salah satu eksportir utama kayu ke Australia. Indonesia adalah salah satu negara yang kemungkinan akan terdampak rencana ini akibat sering munculnya berbagai kasus penebangan liar dan konflik pertanahan terkait berbagai bisnis kayu di Indonesia.

Sekretaris Pertama Bidang Ekonomi di Kedutaan Besar RI di Australia, Denny Lesmana menyesalkan penolakan Australia untuk menunda pemberlakuan Undang-Undang ini seperti dikutip oleh www.hardwoodfloorsmag.com, dan ia juga menyatakan bahwa pemerintah pusat Ri di Jakarta berharap hal ini bisa diselesaikan dalam waktu dekat. Indonesia mengkhawatirkan hal ini akan berdampak pada ekspor kayu ke Australia yang mencapai 5 Miliar Dollar per tahun. Denny menyatakan bahwa pihak Indonesia tidak diajak berkonsultasi lebih lanjut seputar Rencana Undang-Undang ini, dan peraturan baru ini tidak mengindahkan adanya sistem SVLK (Sistem Verifikasi Legalisasi Kayu) yang dimiliki Indonesia untuk memenuhi syarat ekspor ke Eropa. Dalam peraturan baru ini, setiap importir kayu di Australia memang diwajibkan untuk mengikuti syarat yang ditentukan pemerintah, termasuk deskripsi yang jelas tentang asal muasal kayu, serta memberlakukan hukuman yang berat serta denda bagi setiap perusahaan yang melanggar.

Penggundulan hutan Sumatera. Foto: Rhett A. Butler

Kritik lain yang disampaikan adalah sulitnya membedakan kayu legal dan ilegal karena berbagai dokumen yang ada bisa dengan mudah dipalsukan, dan hal ini akan menjadi beban bagi para importir karena harus mengeluarkan dana ekstra untuk melakukan verifikasi kayu impor mereka. Menurut pemerintah Indonesia, Undang-Undang yang akan diberlakukan ini seharusnya mengacu pada petunjuk yang sudah dikeluarkan oleh WTO (World Trade Organization).

Majelis Rendah Australia sudah meluluskan Rencana Undang-Undang ini sejak tanggal 20 Agustus 2012 silam, untuk digodok lebih lanjut oleh Senat Australia sejak tanggal 16 Agustus 2012 silam, dengan dukungan kuat dari Partai Hijau Australia seperti diberitakan www.radioaustralia.net.au. Partai ini mengampanyekan bahwa Australia akan ikut serta dalam penggundulan hutan tropis dunia jika tidak memberlakukan Undang-Undang serta regulasi yang lebih kuat untuk memverifikasi kayu impor yang masuk dari berbagai negara Asia, terutama Asia Tenggara.

Aturan ini, juga mendapat tentangan dari beberapa perwakilan negara bagian di Tasmania, terutama yang menyandarkan dari ekspor kayu. Seorang wakil dari Tasmania Tengah dari Partai Buruh Australia, DIck Adams mengatakan bahwa Partai Hijau sangat egois, karena tidak memikirkan berbagai aspek, terutama karena hal ini juga akan merugikan Tasmania yang diwakilinya. Tasmania adalah salah satu negara bagian yang memiliki industri kayu terbesar di wilayah Australia.

Tabel: Perbandingan Tutupan Hutan Sumatera Antara Tahun 1985 dan Tahun 2010. Tabel: WWF

Australia mengeluarkan peraturan ini terkait dengan maraknya penebangan liar atau sumber kayu yang dicurigai melanggar hukum di tempat asalnya. Pada bulan Maret 2012, Greenpeace telah mengkritisi pebisnis alat-alat tulis Australia bernama Collins Debden, karena membeli materi kayu dari Asia Pulp and Paper yang banyak terlibat kejahatan lingkungan di Indonesia.

Dari riset yang dilakukan oleh Environmental Research Letters, pertumbuhan hutan yang berusia tua di Sumatera menyusut sekitar 40% dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, sementara secara keseluruhan hutan di Indonesia sudah musnah sekitar 36%. Kajian ini, dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Belinda Arunarwati Margono dari South Dakota State University dan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, menemukan fakta yang mengerikan dari hutan Sumatera yang dulu sangat lebat. Secara umum, Sumatera telah kehilangan 7,5 juta hektar hutan antara tahun 1990 hingga 2010, dan sekitar 2.6 juta hektar diantaranya adalah hutan primer. Sebagian besar hutan yang hilang adalah hutan sekunder yang habis akibat penebangan liar. Hanya 8% hutan perawan yang tersisa di Sumatera.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,