, ,

Kepak Sayap Enggang: Masyarakat Adat, Menjaga Alam dengan Kearifan Lokal

Hujan, panas terik, silih berganti mengiringi perjalanan tim Kepak Sayap Enggang-Mata Harimau. Pada Selasa(18/9/12), mereka menyusuri Pegunungan Meratus, salah satu rumah enggang yang masih tersisa.

Perjalanan diawali dengan jalan berbatu penuh debu melewati jalur sepanjang 55 kilometer (km)  yang dikenal dengan jalur Kodeco. Kodeco adalah nama hak pengusahaan hutan (HPH) yang pernah menumbangkan kayu-kayu dari hutan asri Kalimantan di sekitar Pegunungan Meratus ini. Kini, jalur itu dipakai hilir-mudik pengangkutan batubara.

Di Pegunungan Meratus, ada 316 jenis burung berasal dari 47 suku. Ia dari 358 jenis burung yang ada di Kalimantan atau sekitar 88,27 persen dari seluruh jenis di Pulau Borneo ini.

Pegunungan ini juga rumah dan sumber hidup masyarakat Dayak yang masih memegang kuat aturan adat. Tim bergerak ke Desa Lahung, Lhoksado, Kalimantan Selatan (Kalsel) disambut  masyarakat adat Dayak Meratus.

Di Lhoksado, masyarakat dengan kearifan lokal dan adat budaya yang masih dipegang teguh. Mereka mengelola hutan secara adat. Masyarakat ramah, sumber energi dari alam. Ini bukti pembangunan berkelanjutan yang sebenarnya.

Tim juga melewati Desa Haratai, Lhoksado. Di desa ini, air tak hanya menghidupi juga sumber penerangan. Masyarakat menggunakan sistem pembangkit listrik skala kecil dikenal dengan mikrohidro.  Pembangkit tenaga air itu menjadi sumber penerangan 41 rumah di desa ini.  Cara ini, menjauhkan mereka dari sumber kotor energi seperti batubara.

Keindahan Pegunungan Meratus. Foto: Greenpeace

Air merupakan sumber yang tak akan habis. Untuk itu, harus dipastikan hutan di sekitar terjaga baik.  Ayal, Demang Masyarakat Dayak Meratus mengatakan, hutan-hutan dikelola kuat secara adat. “Hutan ini rumah leluhur kami. Makin hari makin menipis akibat banyak operasi industri hutan, kebutuhan masyarakat makin kurang terpenuhi. Padahal kami perlu hutan untuk hidup, katanya, Selasa(18/9/12), dari rilis kepada media.

Saat ini, sudah ada 8.000 hektare hutan berhasil dilindungi berpegang pada kearifan tradisional. Sayangnya, hutan alam seluas itu belum mendapatkan pengakuan status hukum apapun dari pemerintah.

Kepakan enggang dan auman harimau terus bergerak menuju perbatasan Kalsel dan Kalimantan Tengah (Kalteng). Desa Warukin, satu-satunya wilayah masyarakat adat Dayak Kalsel yang induknya ada di Kalteng. Ini desa multietnis berada dalam kepungan dan ancaman tambang batubara.

Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan, Hegar Wahyu Hidayat berdiskusi dengan masyarakat Dayak Meratus di Pulau Salak Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Foto: Greenpeace

Hegar Wahyu Hidayat, Direktur Eksekutif Walhi Kalsel mengatakan, setelah kayu-kayu komersil Kalimantan habis oleh perusahaan penebangan hutan, kini perut bumi Kalsel dikeruk untuk tambang batubara. “Ini penghacuran hutan sistematis yang harus dihentikan kalau kita tidak ingin penerus kita meratapi kehancuran alam Borneo,” ujar dia.

Zulfahmi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengatakan, kebijakan moratorium harus mampu menyelamatkan Pegunungan Meratus yang saat ini terancam. “Kebijakan moratorium harus dilanjutkan dengan capaian jelas, tata kelola hutan berpihak pada penyelamatan ekosistem. Perlindungan hak-hak rakyat harus menjadi acuan utama.”

Tim melanjutkan perjalanan. Tiba di Pasar Panas, Tamiang Layang, Kalteng. Mereka disambut berbagai tarian adat khas masyarakat Dayak yang terinpirasi hutan tanah leluhur. Ada tarian mencari ikan, dan tarian bulat.

Mardiana, Ketua Sanggar Rirung Munge  mengungkapkan, hutan, rawa, sungai, dan danau telah dijaga leluhur dari dulu, kini makin menipis. “Kami sulit mencari sumber pangan untuk kehidupan,” ujar dia.

Tim Kepak Sayap Enggang-Mata Harimau terus melaju. Foto: Greenpeace

“Pembangunan berbasis pengerukan sumberdaya alam menyebabkan keterpinggiran dan keresahan rakyat. Yang ada hanya kesejahteraan semu dan rawan konflik sosial,” kata Hegar.

Walhi mengecam pola eksplotasi seperti ini dan menuntut negara peka terhadap perlindungan masyarakat dan keseimbangan ekologis. “Pemulihan hak-hak rakyat dan ekologis Indonesia sudah tidak bisa ditawar lagi .” Zulfahmi pun meminta,  kaji ulang proses pembangunan termasuk perizinan eksploitasi hutan.

Degradasi hutan di Kalimantan terus terjadi. Dalam 25 tahun terakhir, hutan Kalimantan berkurang 14,5 juta hektare, termasuk lahan gambut. Pada 1985, hutan di Kalimantan 39,9 juta hektare, 2010, tinggal 25,5 juta hektare.

Tim yang terdiri dari Greenpeace, Walhi Kalsel, Pena Hijau, SOB, Foker SHK, dan AMAN Kalteng ini, terus maju. Mereka akan melintasi perjalanan di tiga provinsi di Kalimantan. Bermula dari Kalsel, Kalteng dan berakhir di Kalbar.

Pegunungan Meratus. Foto: Greenpeace
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,