,

Koalisi Masyarakat Minta Lanjutkan Pencabutan Izin Kebun di Rawa Tripa

IZIN PT Kalista Alam, memang sudah dicabut Gubernur Aceh, akhir September lalu. Namun, ancaman ekologi Rawa Tripa, masih terjadi karena perusahaan-perusahaan lain masih beroperasi. Kebakaran hutan gambut pun terus berlangsung.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Rawa Tripa mendesak, pemerintah mencabut izin-izin kebun sawit yang masih beroperasi dan melanggar di Rawa Tripa, seperti land clearing dengan membakar. Dari data pemantauan satelit, titik api tertinggi dalam 2012, berada pada konsesi PT Surya Panen Subur, disusul PT Dua Perkasa Lestari(DPL). Posisi September, tertinggi titik api di PT DPL (lihat grafis).

“Terlihat, di kebun perusahaan-perusahaan ini terjadi pembakaran. Mereka membuka lahan dengan membakar,” kata Ridwan Zen, peneliti dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), di Jakarta, Rabu(3/10/12).

Rizwan memaparkan, pembakaran lahan di Rawa Tripa, yang jelas terlihat lewat citra satelit berada di konsesi-konsesi kebun sawit. Saat PT Kalista Alam, menjadi sorotan, ternyata di kebun lain, seperti PT DPL, lebih banyak titik api. “Bahkan, pada 29 September, saat diambil gambar dari pesawat, kepulan-kepulan asap masih terlihat di beberapa kebun perusahaan itu.”

Mengenai lahan PT Kalista Alam, yang sudah berstatus lahan negara harus segera ada pemulihan hingga tidak makin rusak. Targetnya, Rawa Tripa, sebagai bagian Kawasan Ekosistem Lauser (KEL), total menjadi kawasan lindung.

Kamaruddin, pengacara Walhi Aceh untuk gugatan menyangkut Rawa Tripa, mengatakan, gugatan administrasi Walhi Aceh dikabulkan PPTUN. Izin PT Kalista Alam pun dicabut.  Namun, saat ini seakan terjadi pembajakan hukum pidana bagi pelanggar di Rawa Tripa. “Ada indikasi perusahaan bajak kepolisian, PPNS Kehutanan untuk melemahkan penegakan hukumnya.”

Mengenai reboisasi lahan eks PT Kalista Alam, mesti segera. Sebab, di lapangan sudah ada upaya perusahaan memeta konflik warga, dengan membujuk  lewat kebun plasma.

Ian Singleton, Direktur YEL, mengatakan, perusahaan-perusahaan sawit yang beroperasi di sana terus melakukan pembakaran lahan, tanpa tindakan hukum. “Kebun-kebun di sana sudah melanggar hukum, harap dicabut (izin).”

Kelestarian Rawa Tripa, sebagai kawasan hutan gambut di Sumatera, sangat penting, terutama bagi orangutan. Kini, populasi orangutan Sumatera di dunia sekitar 6.600 individu, masuk kategori critically endanger, di Rawa Tripa, sekitar 200-200.  Pada 1990 an, orangutan mencapai 3.000 individu. “Masa depan orangutan Sumatera tergantung di KEL. Hutan rawa gambut tempat favorit orangutan. Jadi, bisa dikatakan Rawa Tripa, ibukota orangutan di dunia.”

Jika dibiarkan, kondisi gambut di sana tambah parah. Dalam 25 tahun terakhir, gambut di kawasan ini sudah turun sekitar 2,5 meter. “Bisa jadi 25 tahun ke depan, Rawa Tripa ada di bawah laut. Harap segera hentikan (perusakan gambut).”

Dengan melihat kerusakan saat ini, ujar dia, keberadaan orangutan di sana, diperkirakan berakhir pertengahan tahun depan. “Rehabilitasi harus sekarang. Tak bisa tahun depan, sudah terlambat.”

Luas hutan di Tripa, diperkirakan tersisa 11.000 hektare, dari luas 61.000 hektare. Saat ini, 36.185 hektare menjadi konsesi bagi perkebunan sawit. Dari jumlah itu, sekitar 20.200 telah dibuka. Sisanya, hutan primer dan sekunder yang segera mengering dampak pembukaan kanal-kanal oleh perusahaan untuk mengeringkan rawa.

Asap masih terlihat di konsesi kebun sawit pada 29 September 2012. Foto: YEL

Dengan pencabutan izin PT Kalista Alam, katanya, tak berarti gambut sekitar aman. “ Rehabilitasi lahan gambut itu bisa dilakukan per dome, sungai bertemu sungai. Tidak bisa separuh-separuh. Andaikan kolam, jika sebagian dibuka, maka air akan tersedot ke satu sisi. Jadi, akan tetap rusak.”

Tokoh Masyarakat Pantai Barat Selatan Aceh, Adnan NS meminta,  menghentikan semua kegiatan operasi perkebunan di Rawa Tripa. Sebab, hingga hari ini, asap masih saja mengepul.  Bahkan, setelah izin PT Kalista Alam dicabut, seharusnya kanal-kanal segera ditutup. “Kalau kanal ditutup kan, penyedotan air gambut terhenti. Kebun sawit jadi tergenang. Pohon pun mati.”

Hutan rawa gambut yang tersisa di pesisir barat Aceh (hijau tua). Foto: YEL

Untuk rehabilitasi kawasan, masyarakat sudah menyiapkan tanaman polikultur, yang pembibitan akan dimulai 15 Oktober ini. “Masyarakat yang coba di peta konflik dengan tawaran kebun plasma, sudah menolak. Bahkan, warga yang punya lahan siap menyerahkan. Jangan sampai, warga menjadi perisai bagi perusahaan,” ucap Adnan.

Deddy Ratih, jurukampanye Eksekutif Nasional Walhi mengatakan, aparat hukum harus melanjutkan penindakan berbagai pelanggaran di Rawa Tripa. Antara lain, menindaklanjuti pengaduan masyarakat atas PT Kalista Alam, pada November 2011.

Di Rawa Tripa ini, masalah tata ruang dan perizinan carut marut.  Aturan dibuat, tetapi sayang tidak diterapkan. Pemerintah hanya sebagai pembuat dan penegak regulasi. “Itu saja tidak dilakukan. Harusnya, pemerintah bisa jalankan regulasi yang dibuat.”

Distribusi orangutan di Sumatera (arsir kuning).Foto: YEL

Petisi Save Tripa II

Guna menggalang dukungan, Koalisi Masyarakat untuk Penyelamatan Rawa Tripa, yang terdiri dari Eknas Walhi, Walhi Aceh, YEL, Greenpeace dan Change.org, kembali membuat petisi kedua di www.change.org/savetripa2.

Pada petisi I sudah terpenuhi 10 ribu penandatangan petisi. Pada kali kedua ini, petisi penekankan pada investigasi dan tindak tegas pelanggar hukum di Rawa Tripa.

Usman Hamid, Direktur Change.org mengatakan, petisi Save Rawa Tripa ini, sebagai upaya dari masyarakat yang menyusul belakangan, setelah upaya hukum dilakukan. “Dari petisi ini memperlihatkan betapa peran dan perhatian masyarakat itu besar.” Petisi ini,  ucap Usman, diatur untuk langsung sampai ke pihak-pihak terkait, seperti Polri. “Pada petisi pertama itu dukungan yang masuk terkirim ke email Gubernur dan jajaran di Aceh, Kementerian Lingkungan Hidup sampai Satgas REDD.”

Melani Subono, artis yang ikut kampanye Save Rawa Tripa ini meminta dukungan masyarakat. “Jangan protes atau geram kalau tidak melakukan sesuatu. Bertindaklah, walau hanya tanda tangan petisi, tidak memerlukan waktu lama.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,