,

Satu Kelompok Gajah di Bengkulu Diindikasikan Punah Akibat Berkonflik dengan Manusia

Konflik gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) dengan manusia sepanjang tahun 2012 di propinsi Bengkulu semakin meningkat.  Berdasarkan hasil temuan Tim Patroli TNKS dan BKSDA Bengkulu sepanjang tahun 2012, maka terdapat 19 titik sebaran konflik gajah dan manusia yang berada di Kabupaten Mukomuko dan Kabupaten Bengkulu Utara.

Erni Suyanti Musabine, koordinator Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat kepada Mongabay.co.id menyebutkan, konflik antara gajah dan manusia disebabkan oleh menyempitnya daya jelajah gajah dan alih konversi habitat gajah menjadi perkebunaan, pemukiman dan pertambangan batubara.

“Selama tahun 2012 ini, kami sudah tidak mendengar laporan lagi konflik gajah dan manusia di Air Ikan, Kecamatan Mukomuko Selatan, ini bukan berarti berita baik, ada kemungkinan jika tidak terjadi konflik lagi disana bukan karena faktor perbaikan habitat yang mendukung, namun dikarenakan kelompok gajah di sana sudah habis,” demikian Suyanti.

Berdasarkan hasil identifikasi Tim Patroli, sebelumnya terdapat 5 kelompok gajah yang tersebar di Mukomuko dan Bengkulu Utara, satu kelompok besar gajah dapat terdiri hingga mencapai 40 ekor.

Berdasarkan data ProFauna, dari tahun 2004 hingga 2010 di propinsi Bengkulu , khususnya di sekitar kawasan Air-Seblat telah tercatat 10 ekor gajah mati tanpa pengusutan lebih jauh tentang para pelakunya.

Untuk tahun 2011, BKSDA Bengkulu melaporkan terdapat enam ekor gajah betina dan satu ekor gajah jantan ditemukan mati di empat titik pada perkebunan sawit dan pertambangan batubara yang berada di sekitar PLG Seblat. Kematian gajah-gajah ini disebabkan gajah mengkonsumsi racun kimia yang diduga disebarkan di daerah pelintasan gajah dan di lokasi gajah mencari air.

Penyempitan Habitat Gajah

Sebagai hewan mamalia besar, gajah memerlukan daya jelajah yang luas. Gajah merupakan hewan pembuka jalur (cruiser).  Jalur jelajah gajah merupakan jalur pelintasan yang diikuti oleh satwa liar lain seperti harimau, yang mengikuti jalur jelajah gajah guna mencari mangsa. Sehingga dapat dikatakan bahwa menyelamatkan habitat hidup gajah, berarti menyelamatkan spesies satwa liar yang lain.

Satu ekor gajah dewasa membutuhkan 400-600 pon makanan tiap hari dengan areal jelajah hingga 400 hektar untuk seumur hidupnya.  Konversi habitat gajah dari hutan menjadi perkebunan sawit dan areal pertambangan batubara menyebabkan kelompok-kelompok gajah terkurung di kantong-kantong wilayah hutan yang tersisa yang dibatasi oleh perkebunan, pemukiman dan areal pertambangan batubara.

Habitat gajah yang menyempit tidak terlepas dari kebijakan pembangunan perkebunan yang memotong (fragmentasi) habitat gajah dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang tidak mengakomodasikan perancangan ekologis ke dalam perencanaan pengelolaan wilayah.

Kawasan Pusat Latihan Gajah (PLG) Seblat saat ini berbatasan langsung dengan perkebunan sawit skala besar yaitu PT ALNO, PT Agricinal dan PT Mitra Puding Mas.  Koridor hutan yang menghubungkan antara PLG dengan TN Kerinci Seblat telah putus dirambah masyarakat dan digantikan menjadi perkebunan sawit.  Konversi lahan menjadi sawit dan pemukiman menyebabkan satwa tidak dapat terhubung ke hutan lain untuk mencari satwa.

International Union for Conservation of Nature (IUCN) menaikkan status gajah sumatera dalam status kritis (critically endangered).  Tanpa adanya upaya konservasi  yang serius maka keberadaan gajah sumatera di alam hanya akan tinggal cerita.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , ,