Ribuan Hektar Tanah Raja Melayu Diserobot HTI, Warga Turun Tangan

Konflik tumpang tindih kepemilikan lahan antara masyarakat adat dengan perusahaan pemasok kayu untuk industri bubur kertas di Riau terus terjadi. Akhir pekan ini, ratusan masyarakat adat Kedatukan III Koto Sebelimbing, Kampar, Riau akan mengambil alih kembali 4.500 hektar lahan mereka yang berada di kawasan konsesi HTI milik PT Perawang Sukses Perkasa Industri (PSPI).

Upaya merebut kembali lahan yang diklaim milik masyarakat adat Datuk Raja Melayu, Kampung Pertemuan, Desa Siabu itu merupakan langkah terakhir yang diambil warga setelah beberapa pondok mereka dirubuhkan oleh penyuplai independen APP itu dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Perusahaan juga disebut mencabut pohon karet warga.

“Sudah tiga kali mereka menggusur paksa dan puncaknya penggusuran terakhir jelang lebaran (Agustus) lalu. Dan kini seluruh akses masuk ke daerah perladangan dan pertanian milik kami ditutup perusahaan. Ini yang membuat kami marah,” ujar Muhammadun, sekretaris kedatukan III Koto Sebelimbing kepada Mongabay Indonesia hari ini.

Hal ini telah dilaporkan ke Polres Kampar awal Oktober lalu, dan juga disampaikan ke pemerintah daerah hingga Dewan Kehutanan Nasional di Jakarta pada September silam. Kepada masyarakat, DKN sendiri berjanji akan turun ke lapangan dalam bulan ini.

Konflik antara masyarakat adat di lahan ulayat milik Datuk Raja Melayu, Kedatukan III Koto Sebelimbing itu dipicu SK Kemenhut Nomor 249/Kpts-II/1998 yang memberikan hak pengelolaan HTI kepada PT PSPI seluas 50.725 hektar.  Dalam izin tersebut tertulis jika terdapat pemukiman dan perladangan masyarakat dalam jumlah konsesi yang diajukan perusahaan, maka wajib dikeluarkan.

“Anehnya sampai sekarang belum ada sosialisasi, sementara perusahaan sudah beberapa kali memanen akasia. Padahal di sana jelas ada ladang dan perkuburan orang tua kami. Sampai saat ini aksi tanam cabut antara warga dan perusahaan masih terjadi,” tambah Muhammadun.

Konflik tersebut kembali menghangat sejak satu tahun terakhir. Agustus lalu penggusuran yang dilakukan perusahaan nyaris memicu bentrok fisik.

Dana Bhakti, dari divisi legal lembaga Scale Up mengatakan bahwa praktik buruk perusahaan perkebunan di Indonesia selalu mengesampingkan aspek legal yang seharusnya dimiliki sebelum beroperasi. Tahapan yang tidak dilalui PT PSPI adalah tidak adanya peta definitif yang mengharuskan deliniasi mikro dan makro dengan pemetaan partisipatif. “Padahal dalam aturannya perusahaan harus menyertakan tata batas antara konsesi dengan lahan masyarakat yang di Desa Siabu jelas ada pemukiman, perkuburan dan perladangan. Ini harus inclave. Karena itu operasi perusahaan di lapangan yang sudah panen ini harus dihentikan terlebih dahulu sampai perlengkapan dokumen izin dilakukan perusahaan,” jelas Dana kepada Mongabay Indonesia.

Sementara itu, Ketua Komisi Konflik DKN, Jomy Suhendri mengatakan, pihaknya memang sudah menerima informasi dari kedua belah pihak baik masyarakat maupun pemerintah. “Masyarakat memang melaporkan ada tanah ulayat yang masuk ke konsesi. Sementara dari perusahaan mengatakan bahwa mereka sudah mengganti rugi lahan itu. Tapi itu baru penjelasan saja. Kami belum melihat bukti-bukti dokumen yang dimiliki perusahaan termasuk apakah perusahan telah memenuhi semua prosedur izin. Akhir bulan ini kami akan turun ke lapangan bersama seluruh unsur kamar di DKN atau para pihak,” katanya.

Terkait dengan rencana pengambialihan kembali lahan oleh warga, ia meminta semua pihak menahan diri dan menghindari tindakan kekerasan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , , ,