,

Kala Siswa Siswi Belajar Alam dan Lingkungan di Rumah Walhi

“Kalau ini burung enggang. Siapa yang sudah tahu burung enggang? Ini burung Kalimantan, yang hampir punah.” Tumpak Winmark Hutabarat, Staf Media dan Publikasi Eksekutif Nasional Walhi bertanya kepada puluhan siswa di dekatnya.

Anak-anak itu menggelengkan kepala tanda tak tahu. Tampak foto enggang sedang terbang di atas pepohonan hutan berada di salah satu deretan foto yang dipamerkan. “Ini burung di Kalimantan, yang hampir punah. Kami juga hanya melihat sekali.”

Tumpak menjelaskan, betapa hutan tempat habitat burung enggang gading sudah menyusut. Keberadaan burung-burung khas Kalimantan inipun terancam habis.   Para siswa ini mengangguk-angguk.

“Burung ini tak ada di Jakarta. Mungkin karena hutan Jakarta sudah tidak ada,” katanya, berseloroh. Tumpak bersemangat menjelaskan makna foto-foto yang dia ambil saat mengikuti Tur Kepak Sayap Enggang –Mata Harimau, seri Kalimantan, pertengahan September 2012.

Para siswa sibuk mencari huruf W di mural yang ada di galeri Walhi. Foto: Sapariah Saturi

Ada foto hutan yang  sudah dibabat untuk tambang, dan kebun sawit. Ada juga foto lubang tambang sudah menjadi kolam-kolam baru dan menelan korban jiwa.  Foto hutan dan lahan gambut terbakar juga ada.

Setelah melihat pameran foto, siswa-siswa dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (Mts) Al Khairiyah ini masuk ke ruang depan kantor Walhi, untuk melihat galeri. Di galeri ini banyak beragam potret-potret masalah lingkungan.

Galeri ini buah kerja sama Walhi dan komunitas seniman SERRUM. Di sini, ingin mengajak publik lebih akrab membahasakan persoalan sumber daya alam Indonesia termasuk kebijakan melalui memamerkan karya-karya seperti mural, instalasi, video musik, foto dan project street art.

Ada miniatur yang menggambarkan proses operasi tambang, sampai potret ruang hijau Jakarta yang tersunat proyek jalur monorel gagal di beberapa ruang jalan. Para siswa ini juga terlihat sibuk mencari huruf W, di antara lukisan dinding (mural) yang memperlihatkan beragam potret perusakan lingkungan.

Mereka tampak antusias. “Senang bisa diajak ke Walhi dan lihat semua ini. Tambah pengetahuan baru tentang hutan,” kata Fadillah, siswa kelas IX MTS Al Khairiyah, Jakarta Selatan.

Menurut dia, baru kali ini diajak dalam kegiatan seperti ini dan begitu bermanfaat. Namun, dia sedih setelah mendapat penjelasan dari foto dan potret-potret di galeri, mengenai kondisi alam di Indonesia. “Sedih, berharap hutan tidak dirusak lagi,” kata Fanny, teman Fadillah.

Fadillah, berharap, tak ada lagi perusakan alam. “Mudah-mudahan hutan bisa dijaga.”

Mereka pun bertekad, akan ikut andil menjaga lingkungan, dengan hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. “Ya, misal, jangan buang sampah sembarang, tidak merusak tanaman, dan hemat pakai lampu.”  Suatu respon dan niat aksi dari generasi yang harus dijaga.

Potret ruang hijau Jakarta yang tergantikan beton sia-sia berkat proyek monorel yang gagal. Foto: Sapariah Saturi

Hari itu,  suasana di sekretariat Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Nasional di Jalan Tegal Parang Utara, Jakarta, berbeda dari biasa. Pada Senin(15/10/12) ini Walhi berusia 32 tahun. Perayaan dibuka dengan pemukulan gendang oleh Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Abetnego Tarigan, bersama dua siswa-siswi.

Agenda dari pagi hingga malam, dari pameran foto Kepak Sayap Enggang, pembukaan galeri, diskusi tentang UU Ormas yang menjegal kebebasan masyarakat sipil, dialog lintas generasi, sampai pemutaran film sampai musikustik bersama Ring of Fire, Marjinal & Demoncrazy (Sobat Padi). Kegiatan maraton ini berpusat di Sekretariat Walhi.

Abetnego mengatakan, sebagai bagian dari gerakan lingkungan, sosial dan demokrasi di Indonesia, Walhi dituntut terus berkembang dan berubah sesuai kondisi kekinian. “Sekaligus berusaha mengarusutamakan nilai-nilai keadilan ekologis dalam kehidupan masyarakat maupun kebijakan negara,” katanya di HUT Walhi ini.

Kebijakan negara, saat ini sangat dipengaruhi para pembuatnya, yang sebagian besar masih eksploitatif dan merusak. Ditambah lagi, sistem politik sangat liberal, kepentingan politik dan kepentingan ekonomi dengan pola pengerukan alam tak dapat dipisahkan.

“Bagi Walhi, sangatlah penting membersihkan lembaga-lembaga negara dari para perusak lingkungan. Hingga ke depan kebijakan para pejabat negara setidaknya tidak mengakibatkan terus praktik eksploitasi dan ketidakadilan,” ucap Abetnego.

Walhi menyadari, katanya, tak cukup hanya organisasi masyarakat sipil yang harus bergerak mendorong perubahan. “Perempuan, laki-laki, pemuda, mahasiswa dan semua lapisan masyarakat hendaknya ikut terlibat aktif hingga bisa terjadi percepatan gerakan mendorong perubahan sejati ke arah lebih adil dan lestari.” Selamat ulang tahun Walhi!

Deddy Ratih, Jurukampanye EN Walhi dengan latar belakang perjalanan Walhi tahun ke tahun sejak 1980. Foto: Sapariah Saturi
Suasana diskusi Menyoal UU Ormas, salah satu rangkaian kegiatan HUT Walhi. Foto: Walhi
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,