, ,

Kala MIFEE Hancurkan Hutan Merauke dan Singkirkan Suku Malind

Kala penghancuran atas nama pembangunan datang, lagi-lagi alam dan masyarakat yang harus menjadi penderita. Potret ini terlihat dalam film dokumenter yang diproduksi Yayasan Pusaka, SKP KAME dan Gekko Studio berjudul ‘Mama Malind Su Hilang.’

Film ini menceritakan dan menyuarakan keberadaan Suku Malind di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke yang kehilangan hak dan akses memanfaatkan kekayaan alam serta hasil hutan seluas 169.000 hektar. “Dari dulu kita hidup dari sagu, daging, kelapa. Bisa. Dari nenek moyang, sayang kita sekarang ini masih,” kata Amanduz Gepse, Masyarakat Kampung Zanegi, dalam film itu.

Namun, kehidupan mereka kini terancam. Semua berubah. Perusahaan hutan tanaman industri (HTI) PT. Selaras Inti Semesta, milik Medco Grup, membabat hutan mereka.

Saat ini,  masyarakat Malind memiliki kawasan hutan seluas sekitar 1,2 juta hektar terancam. Mereka tertekan kebijakan pembangunan nasional bernama MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Mega proyek kerjasama pemerintah dengan pengusaha ini akan merusak dan menghilangkan kawasan hutan dengan ekosistem penting di selatan Papua serta menyingkirkan orang Malind dari sumber kehidupannya.

Masyarakat Malind di Kampung Zanegi merasa tertipu oleh janji perusahaan yang akan meningkatkan kesejahteraan mereka. Keberadaan Medco Grup justru memperparah kehidupan warga Zanegi. MIFEE, strategi dikampanyekan sebagai solusi menangani krisis pangan di Indonesia dan dunia. Fakta, memunculkan krisis pangan bagi masyarakat lokal sekitar hutan.

Hak-hak masyarakat atas tanah dan hutan diambil dan dialihkan paksa oleh pemerintah dan perusahaan, dengan cara terstruktur menggunakan kebijakan hukum dan program MIFEE. Perusahaan menggunakan cara manipulasi, intimidasi, permainan uang untuk mengambil lahan milik masyarakat. Kawasan Dusun Sagu dan tempat penting bersejarah ikut dirusak dan dirobohkan. Sulitnya mencari hewan buruan, tempat menangkap ikan dan sumber air bersih berdampak pada meningkatnya angka gizi buruk. Kompensasi yang diberikan sangat rendah dan tak sebanding dengan kerugian dan kehilangan sumber kehidupan masyarakat.

Penyesalan warga Zanegi yang terpedaya oleh rayuan pengusaha membuat mereka justru kehilangan sosok ‘Ibu’ yang memelihara, memberi makan dan melindungi mereka yakni hutan. Bukan hanya masyarakat Zanegi yang akan merasakan dampak eksploitasi. Sebab, berdasarkan laporan PBB tentang hak atas tanah, konversi satu sampai dua juta hektar hutan hujan tropis dan pertanian skala kecil menjadi perkebunan berorientasi ekspor dan bahan bakar agro di wilayah Merauke Indonesia akan berdampak buruk pada keamanan pangan  50.000 jiwa.

Direktur Eksekutif Pusaka, Y.L Franky dalam rilis kepada media, Jumat(19/10/12), menyatakan, pembukaan hutan di Kampung Zanegi tidak transparan, penuh manipulasi sangat berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat Suku Malind Anim. “Program MIFEE jauh dari harapan pemerintah bahwa proyek ini menjadi solusi krisis pangan dan energi yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Merauke,” katanya.

Uskup Agung Merauke Mgr. Nicolaus Adi Saputra mengatakan, yang diperlukan investor ke Merauke adalah lahan, bukan masyarakat. “Masyarakat menjadi korban dan tersingkir dari tanah mereka, bahkan masyarakat dianggap pengganggu hingga ada kesan harus disingkirkan. Ini adalah sebuah kemalangan.” Perusahaan datang buka membawa berkat bagi masyarakat Zanegi, tetapi kesengsaraan besar bagi masyarakat yang selama ini memiliki tanah itu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,