,

Ratusan Hektar Lahan Petani Dicaplok jadi Kebun Sawit di Banggai

Saya bangga melihat kawan-kawan tidak menyerah, menghadapi kekuasaan perkebunan kelapa sawit PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) milik Murad Husain bersama isterinya, Ny. Silvia  Maindo, anak mereka, Rahmawati Husain, dan seorang perempuan, Jamalia Ningsih. Soalnya, perusahaan ini melakukan ekspansi secara ilegal, tanpa izin Dirjen Perkebunan, sebagaimana diharuskan oleh UU No. 18 Tahun 2004. Luas izin HGU yang diberikan kepada PT KLS sudah cukup luas, yakni 6010 hektar. Namun melalui perusahaan kongsinya dengan Perhutani I, PT Berkat Hutan Pusaka (BHP), PT KLS menguasai  HTI seluas 13 ribu hektar,  lebih dari dua kali lipat izin HGU mereka semula…”  Demikian kutipan surat George Junus Aditjondro, sosiolog terkemuka, sebagai dukungan bagi petani di Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 2011 yang ditangkap karena mempertahankan hak mereka dikutip dari evabande.wordpress.com.

PENCAPLOKAN ratusan hektar tanah petani oleh perkebunan sawit, PT Kurnia Luwuk Sejati (PT KLS) masih berlangsung. Perusahaan sawit milik pengusaha lokal, Murad Husain ini sepanjang 2010 – 2011 menggusur persawahan milik masyarakat sekitar 450 hektar di Desa Moilong- Desa Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah (Sulteng).  Aneh, lahan warga yang sudah bersertifikat BPN pun masih bisa dikuasai perusahaan.

Ahmad Pelor, Direktur Eksekutif Walhi Sulteng mengatakan, PT. KLS juga melaporkan sekitar 13 masyarakat Desa Toili termasuk kepala desa Toili, ke Polsek Toili dengan tuduhan penyerobotan lahan HGU dan merusak sawit milik PT. KLS. Pada pertengahan 2011, perusahaan ini juga membakar satu rumah kebun warga lengkap dengan peralatan dapur dan pertanian.

Walhi yang tergabung dalam Front Rakyat Advokasi Sawit Sulteng  mendesak, BPN provinsi mencabut izin hak guna usaha (HGU) yang diterbitkan BPN di atas lahan warga yang bersertifikat. “Ini jelas tindakan melawan hukum,” katanya di Palu dalam pernyataan kepada media Kamis(1//11/12).

Polisi juga didesak memeriksa PT KLS yang telah memanipulasi syarat administrasi HGU dan melakukan tindakan melawan hukum dengan merampas dan mengkonversi lahan pertanian masyarakat menjadi kebun sawit. Polisi juga diminta menghentikan kriminalisasi petani sebagai pemilik hak yang dilindungi undang-undang.

Front juga mendesak pemerintah Sulteng dan Kabupaten Banggai menjamin, melindungi dan mengembalikan hak keperdataan warga atas areal pertanian sebagai amanat UU Pokok Agraria tahun 1960 dan aturan hukum lain.

Perkebunan sawit yang dikelola tak benar, tak hanya merusak hutan dan lingkungan juga kerap merampas hak-hak masyarakat. Foto: Rhett Butler

Menurut Ahmad Pelor, perampasan dan penyerobotan lahan pertanian warga yang sah dengan legitimasi negara cacat hukum dan manipulatif. Kanwil Badan Pertanahan Nasional Sulteng mengeluarkan dua Surat Keputusan pemberian HGU masing-masing bernomor 107–5040.1–19 –2005 tanggal 27 Desember 2005 seluas 1.133.900 meter persegi di Desa Toili. Lalu, HGU bernomor 108– 5040.1–19 –2005 tanggal 27 Desember 2005, seluas 1.359.900 meter persegi di Desa Toili.

“Padahal petani memiliki lahan itu secara tradisional hingga formal alias bersertifikat  BPN jauh sebelum PT KLS muncul dan membuka kebun sawit disana.”

Sejak 1970-an masyarakat Desa Toili dan Desa Moilong telah bertani sawah dan ladang  mencapai 300 hektar. Tahun 1982 pemerintah memprogramkan percetakan sawah baru melalui CV. Arinda, sebagai dengan target 700 hektar, termasuk perbaikan persawahan yang ada. CV. Arinda hanya  mampu mencetak persawahan baru dan memperbaiki lahan sekitar 400 hektar. Jadi, persawahan baru dicetak PT. Arinda hanya sekitar 100 hektar.

Pada 15 Agustus 2002, BPN Kabupaten Banggai mengukur seluas sekitar 285 hektar lahan yang telah dimanfaatkan sebagai tambak ikan dan udang, serta lahan tanah kering perkebunan kelapa, jambu mente, maupun komoditas lain. BPN juga mengukur areal persawahan seluas ± 185 ha.

Lalu, pada 2003, BPN Banggai menerbitkan lebih dari 200 sertifikat tanah seluas 285 hektar. “Jadi, status tanah yang semula dimiliki dengan tradisional beralih resmi berdasarkan pengakuan negara.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,