Asia Pulp & Paper Gandeng Mantan Dubes AS Amankan Langkah Bisnis di Negeri Paman Sam

Merasa terancam dengan keberlangsungan bisnis mereka di benua Amerika, produsen kertas Asia Pulp and Paper kini melakukan jurus baru untuk menyelamatkan salah satu kantong bisnis terbesar mereka tersebut. Pabrikan yang baru saja diputus kerjasamanya oleh produsen mainan raksasa, Walt Disney ini kini menjalin kemitraan dengan sebuah firma hukum terkemuka di Amerika Serikat bernama Covington & Burling LLP. Firma hukum ini salah satunya digawangi oleh mantan Duta Besar AS, Stuart Eizenstat.

Salah satu fokus mantan dubes ini, adalah menyokong perdagangan Asia Pulp and Paper serta memastikan bahwa perusahaan ini berada di dalam koridor hukum negeri Paman Sam tersebut. Menyusul kemitraan ini, dalam waktu dekat Covington & Burling tim akan turun ke lapangan melihat operasi pabrik dan bertemu dengan jajaran petinggi APP, aparat pemerintah dan pakar kehutanan.

Penebangan oleh anak perusahaan APP, PT Tebo Multi Agro di Bukti Tigapuluh, Jambi. Foto: Eyes on the Forest

Mantan duta besar Eizenstat dipilih oleh Asia Pulp and Paper karena pengalamannya selama lebih dari empat dekade di pemerintahan Amerika Serikat, termasuk di dalamnya pemerintahan era Presiden Clinton. Ia juga mantan duta besar di Uni Eropa, serta berbagai posisi di pos perdagangan internasional, ekonomi, bisnis, dan urusan pertanian.

Salah satu kepakaran mantan duta besar ini juga disebut-sebut adalah paraktek manajemen bisnis yang ramah lingkungan, dan pernah memimpi delegasi AS saat menegosiasikan Kyoto Protocol saat membahas pemanasan global.

Salah satu fokus kerjasama antara Asia Pulp and Paper dengan firma hukum Covington ini adalah membawa pengalaman mereka dan rekam jejak yang baik dan transparan, serta melakukan langkah konkrit untuk pembangunan berkelanjutan. Tim ini juga akan diisi oleh mantan Duta Besar Alan Larson, yang kini Penasehat Senior Internasional Tentang kebijakan di Covington, dan saat ini juga Ketua Dewan Penasehat Transparency International Amerika Serikat. Satu orang lagi di tim ini adalah Anne Pence, yang kini menjabat Penasehat Senior Internasional di Covington.

Langkah Asia Pulp and Paper menggandeng mitra hukum di Amerika Serikat nampaknya bisa dipahami sebagai sebuah langkah untuk menyiapkan strategi menghadapi tekanan dari berbagai lembaga lingkungan internasional yang terus mengampanyekan aktivitas Asia Pulp and Paper dalam produksi kertas mereka di Indonesia.

Bulan Oktober 2012, adalah salah satu bulan terburuk dalam bisnis mereka saat ini, setelah dua pembeli mereka memutuskan hubungan, yaitu jaringan pedagang eceran Amerika Serikat bernama Dollar General yang memiliki 100 ribu gerai di AS, dan dilanjutkan dengan pemutusan kerjasama oleh Walt Disney yang memiliki 25.000 pabrik mainan dan alat tulis anak-anak di seluruh dunia.

Disney sendiri akan melakukan upaya ini dengan dua tahap. Pertama, mereka akan melakukan kebijakan ini dalam penggunaan kertas dalam operasi bisnis sehari-hari dan dalam produk serta kemasan dalam produk mereka. Dalam tahap ini, Disney akan fokus terhadap darimana kertas itu berasal dan sumbernya. Dalam tahap kedua, Disney akan memperluas kebijakan ini bagi semua pemegang lisensi mereka dalam produk dan kemasan. Mereka juga akan menerbitkan laporan tahunan agar publik bisa memantau perkembangan kebijakan ini.

Pebisnis raksasa lain yang sudah memutuskan tidak menggunakan kertas yang tidak jelas asal usulnya, dan diduga dari hasil penebangan hutan alami adalah pabrikan makanan Danone, penerbit buku Barnes & Noble, produsen mesin fotokopi Xerox, dan yang baru-baru saja memutuskan hubungann adalah jaringan makanan siap saji Kentucky Fried Chicken di Inggris Raya.

Pabrikan mainan dan alat tulis anak-anak raksasa dari AS, Walt Disney secara resmi memulai kebijakan penggunaan kertas mereka yang baru dan memastikan tidak akan menggunakan kertas dari hutan alami, seperti yang diduga dilakukan oleh Asia Pulp & Paper.

Dari Laporan organisasi Eyes on the Forest, komitmen lingkungan Asia Pulp And Paper yang tertuang dalam Sustainability Roadmap 2020 dinilai tidak memberikan dampak apapun bagi hutan tropis Indonesia, karena hutan alami yang masuk dalam komitmen tersebut memang sudah tidak ada, atau hutan itu memang sudah dilindungi oleh peraturan pemerintah.

Secara umum, analisis Eyes on the Forest atas laporan perkembangan kuartal I moratorium APP ini menyebutkan bahwa tidak ada hal baru yang signifikan untuk menekan penebangan hutan alami.

Bahkan dalam salah satu isi laporan perkembangan ini:

“Dua penyuplai independen kayu di Jambi – Tebo Multi Agro (TMA) dan Rimba Hutani Mas (RHM)- telah setuju untuk bergabung dengan perusahaan bernama Wira Karya Sakti yang dimiliki APP di wilayah tersebut, dengan menunda penebangan hutan alami sesegera mungkin, sementara upaya penilaian HCV (High Conservation Value) sedang dilakukan.”

Sekedar informasi, dari peta APP, TMA memiliki satu blok konsesi penebangan dan RHM memiliki tiga konsesi penebangan. Dan dari informasi yang dimiliki oleh Eyes on the Forest:

a. Konsesi milik Tebo Multi Agro sudah ditebang habis. Jadi, komitmen untuk tidak menebang habis hutan alami yang digaungkan oleh APP, di wilayah konsesi milik Tebo Multi Agro tidak terjadi, karena tak ada lagi hutan alami yang tersisa disini.

b. Salah satu wilayah konsesi milik APP bernama Taman Rajah, memang sudah sejak lama disebutkan oleh APP sebagai wilayah yang tidak akan ditebang. Jadi, tidak ada yang baru dalam komitmen ini.

c. Sementara dua wilayah konsesi milik RHM lainnya, sudah ditebang habis. Mereka tidak lagi memiliki hutan alami, seperti komitmen soal penundaan penebangan yang telah disebutkan.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari laporan kuartal pertama ini adalah: komitmen APP untuk melindungi wilayah hutan alam tidak terjadi. Hutan yang tersisa, sudah dilindungi oleh hukum yang ada, dan bahkan sudah menjadi bagian dari komitmen perusahaan sejak lama bahkan sebelum ‘Sustainability Roadmap 2020‘ ini dirilis bulan Juni 2012 silam.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,