,

Kasus Tambang G Resources, Warga Batang Toru Lapor ke KLH dan Komnas HAM

 “…Oleh karena air limbah disalurkan ke Sungai Batang Toru, yang pemanfaatannya tidak sebagai air minum. Berdasarkan hal ini, dampak yang ditimbulkan dikategorikan sebagai dampak negatif tidak penting.”

Demikian kutipan dalam dokumen analisis dampak lingkungan (Andal) yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan untuk mengakomodir pembuangan limbah cair,  PT Angincourt Resource (PT AR), anak usaha G Resources Martabe, perusahaan asal Hong Kong.

Dokumen Andal ini menjadi salah satu pemicu protes warga hingga terjadi rusuh pada 30 Oktober 2012 di Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara (Sumut). Tuntutan warga sebenarnya sederhana: jangan buang limbah tambang emas itu ke Sungai Batang Toru.

Warga baru mengetahui akan ada penanaman pipa limbah pada 11 Juni 2012, setelah sosialisasi oleh Kapolres Tapanuli Selatan, AKBP Subandriya. Sebelum itu, sejak Maret 2012, mereka sudah melihat tumpukan puluhan pipa berdiameter sekitar 60 cm di sepanjang jalan kabupaten jurusan Batang Toru Huta Raja di areal PTPN III Kebun Batang Toru. Warga tak tahu untuk apa pipa-pipa itu sampai ada penjelasan Kapolres.

Rapat sosialisasi oleh Kapolres dihadiri Bupati Tapsel, Sahrul Pasaribu, Dandim 0212 dan manajemen perusahaan. Di sana terungkap pipa-pipa itu untuk menyalurkan limbah dari pertambangan ke Sungai Batang Toru. Dijelaskan, dasar hukum penanaman pipa dan penyaluran limbah adalah keputusan Bupati Tapsel No 53/KPTS/2007 diamini lagi lewat persetujuan Analisis Dampak Lingkungan (Andal) dari Komisi Penilai Amdal Daerah (KPAD) Tapsel. Disusul surat bupati pada 29 Juni 2010, yang diikuti persetujuan dari KPAD tentang revisi rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup kepada PT AR.

Warga terkejut karena dokumen yang disampaikan tak pernah diketahui sebelumnya. Warga meminta dokumen Andal untuk dipelajari.

Dari sanalah penolakan warga terhadap penanam pipa dan pembuangan limbah ke sungai muncul.  Entah karena ada share daerah—karena sejak Juli 2012, masing-masing lima persen divestasi saham perusahaan menjadi milik pemerintah kabupaten dan provinsi– hingga menimbulkan kesan Pemkab Tapanuli Selatan, berkeras limbah dibuang ke sungai, yang menjadi tumpuan penghidupan warga di beberapa desa ini.

Buntut penolakan, Kamis(8/11/12), perwakilan warga yang tinggal di sekitar sungai Batang Toru, melaporkan kasus ke Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Sebelum itu, mereka juga datang ke Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk melaporkan aparat pemerintah (TNI/Polri) yang bertindak tak manusiawi dalam pengamanan.

Di KLH, perwakilan warga yang didampingi Walhi Nasional, ditemui Sigit Reliantoro, Asisten Deputi Pengendalian Pencemaran Pertambangan Energi dan Migas KLH.

Warga menceritakan keberatan mereka atas rencana pembuangan limbah tambang ke sungai. Warga di sekitar bantaran sungai merasa tak  mendapatkan penjelasan dari awal bahkan tak dilibatkan dalam memberikan masukan Amdal. Mereka khawatir kalau sampai pipa terpasang dan limbah dibuang ke sungai, sumber air akan tercemar. Warga meminta perusahaan membatalkan pembuangan ke sungai dan mengalihkan ke tempat yang jauh dari sumber air warga, seperti ke laut.

Idris Parinduri, warga Batang Toru, dalam pertemuan itu mengatakan, sudah belasan tahun perusahaan beroperasi,  tak pernah ada gangguan. “Baru saat kolam limbah mau penuh, lalu limbah akan dialirkan ke Sungai Batang Toru, baru masyarakat protes,” katanya di Jakarta, Kamis(8/11/12).

Di lokasi tambang  atas (posisi di dataran tinggi), ada kolam penampungan limbah. Dari penampungan ini masuk proses, baru limbah cair rencana dialirkan ke sungai Batang Toru.

Idris mengatakan, pada 2007, ada wacana membuang limbah ke laut. Informasi yang diterima warga, perusahaan bersedia bahkan mau mencadangkan anggaran membuang limbah ke laut dengan jarak sekitar 30 kilometer dari lokasi tambang. “Tapi ganti bupati, lalu ke Sungai Batang Toru. Dari Andal, informasi pemanfaatan Sungai Batang Toru (disebutkan) tak untuk kehidupan masyarakat,” ujar dia. Pengaburan fakta itu yang menyakitkan warga, sebab sungai itu untuk kebutuhan sehari-hari dari mencuci, sampai air minum. Andal dinilai cacat secara subtantif dan formil.

Cacat subtantif, kata Idris, karena dalam Andal disebutkan air sungai tidak untuk sumber air minum, dan formil dengan tak melibatkan masyarakat di bantaran sungai yang akan terkena dampak langsung jika pembuangan limbah terjadi. “Perusahaan malah pilih perwakilan tanpa ada rapat desa.”

Sebenarnya, sekitar tujuh bulan lalu, Bupati Tapanuli Selatan, sudah meminta provinsi menyelesaikan masalah ini. Di provinsi dibentuk tim advance. “Janji provinsi mau turun ke lapangan, tapi karena Plt Gubernur naik haji, tunggu pulang. Sebelum pulang, bupati sudah memaksakan, sudah ada pipa tertanam, lalu ada gelar kekuatan (TNI/Polri).” “Provinsi gagal datang.”

Irfan Hasibuan, pendamping warga dari LMRI mengatakan, warga hanya ingin perusahaan tak membuang limbah ke sungai, apapun alasannya, baik berbahaya maupun tidak.

Irfan khawatir dengan kondisi saat ini, bisa terjadi tragedi sosial. Sebab, aparat kepolisian lewat brimob juga TNI terlibat dalam ‘pengamanan’ itu.

Idris menambahkan, kekhawatiran menghantui warga di sekitar sungai karena polisi masuk ke desa dan melakukan sweeping laki-laki, tak peduli yang ikut aksi atau tidak. “Mereka ada yang bersembunyi di hutan, ada yang loncat ke sungai.” Sampai kini, laki-laki di desa masih takut kembali ke rumah.  Dia khawatir, mereka capek bersembunyi di hutan, keluar dan nekad. Sekitar 1.000 warga laki-laki ada di hutan.

“Kami sampai sekarang takut pulang. Kami tahu warga anarkis itu tidak boleh, tapi polisi dalam menangani jangan membabi buta, yang tak ikut aksi pun dipukul,” ucap Idris.

Karena sikap aparat keamanan ini, merekapun lapor ke Komnas HAM. “Polisi memperlakukan warga, dihalau seperti bukan manusia,” kata Irfan. Warga dihadapkan dengan pengamanan berlebihan,  ribuan polisi dan TNI.

Aksi protes warga berasal dari tiga kecamatan yakni Batang Toru, Muara Batang Toru dan Angkola Sangkanur, dan Kabupaten Tapanuli Selatan. Serta Desa Batumundan, Kecamatan Singkuang, Kabupaten Mandailing Natal. Daerah ini dilalui Sungai Batang Toru.

KLH Kirim Tim

Menyikapi kasus ini, Sigit mengatakan, akan mengawasi izin pembuangan limbah cair sudah sesuai prosedur atau tidak. Dia juga mempertanyakan, mengapa bupati sampai memberikan keputusan membuang limbah ke sungai. KLH juga akan mengirimkan tim ke daerah untuk mencari informasi lebih banyak seputar masalah ini.

Menurut dia, yang bisa diupayakan mendorong perusahaan tak membuang limbah ke Sungai Batang Toru. “Kami akan kontak juga ke Dirjen Pertambangan untuk menanyakan posisi mereka bagaimana terhadap kasus ini.

Opsi lain, atas pemberian izin bupati untuk pembuangan limbah ke sungai, bisa ditempuh lewat gugatan ke PTUN.

Deddy Ratih, Manajer Kampanye Tata Ruang Eksekutif Nasional Walhi yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan, akan mengawal pengawasan yang oleh KLH terhadap izin lingkungan dan pembuangan limbah cair. “(Izin-izin) ini yang harus dilihat kesesuaian gimana. Kita akan pantau terus.”

Dari data perusahaan, tambang emas Martabe telah investasi sekitar US$900 juta dengan luas areal 162.900 hektar, memiliki cadangan emas 7,86 juta ons dan 73,48 juta ons perak.

Dikutip dari Harian Analisa, Medan, disebutkan, G Resources Martabe terpaksa akan merumahkan 50 persen dari sekitar 2.000 karyawan akibat proses produksi terganggu karena sampai saat ini masyarakat di sekitar tambang menolak pemasangan pipa pembuangan sisa proses ke Sunggai Batang Toru.

Komisaris G.Resources Martabe Anwar Nasution mengatakan, sejauh ini terus melakukan pendekatan dan dialog dengan masyarakat. Dia menekankan, air sisa proses produksi ke Sungai Batang Toru, sudah memenuhi standar baku mutu yang diisyaratkan dalam Kepmen Lingkungan Hidup No.202 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi usaha pertambangan di Indonesia.

Manajemen G.Resouerces Martabe,  secara bertahap memberikan pemahaman kepada masyarakat setempat,  guna mencapai titik temu.”Saya rasa peran pemerintah daerah dan tokoh-tokoh masyarakat setempat bisa menyelesaikan persoalan ini,” kata Anwar.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,