, , ,

Buntut Kehadiran Grup Wilmar: Dari Banjir, Kekeringan, sampai Polusi Udara (Bagian 3)

SIANG itu, parit Tenaga Baru tampak pasang.  Air anak Sungai Enau selebar tiga meter ini hampir rata dengan permukaan tanah.  Di kawasan ini, banjir kerap kali melanda kala musim hujan, dan kekeringan saat kemarau. “Dulu, belum ada perusahaan Tenaga Baru tak pernah ada banjir,” kata Nawawi, Wakil Ketua Kelompok Masyarakat, Dusun Parit Tenaga Baru, Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya (KKR), Kalimantan Barat (Kalbar), akhir Agustus 2012.

Dia mengatakan, jika musim hujan, jalanan dusun yang sudah ditinggikan itu masih tergenang  air sampai setengah meter. “Kalau rumah-rumah warga, sampai 1,5 meter. Rumah saya ini, banjir sampai satu meter lebih kalau musim hujan.” Dia menunjuk ke rumahnya yang berjarak lebih kurang 20 meter dari parit. Nawawi menduga, banjir yang kerap melanda  dusun mereka karena hutan makin menipis, beralih menjadi kebun sawit.

Dulu, sebelum ada perusahaan, tak pernah banjir dan tak pernah kekurangan air. “Air nyaman, walau tak hujan setengah bulan, air bagus. Sekarang, tak hujan beberapa hari saja sudah susah.”

Hal senada diungkapkan Saderi alias Yusuf, Ketua Kelompok Masyarakat Tenaga Baru. Menurut dia, perbedaan sebelum dan sesudah kebun masuk begitu kentara. “Kalau kemarau tidak ada air, jadi biasa harus tunggu air pasang (kalau kemarau) asin.”  “Iya, kalau kemarau, ayam-ayam bisa main di parit,” kata Ali, warga Dusun Parit Kongsi, menimpali.

Saderi mengatakan, perusahaan berjanji membangun sarana penampungan air bersih untuk warga. Namun, lagi-lagi, seperti sederet janji yang lain, baru sekadar ucapan. “Perusahaan masuk sejak 1996. Sampai 2012 ini tak ada bantuan. Pernah sekali jumbo parit, itupun konsumsi masih ditanggung warga.”

Tak hanya kebun sawit PT Bumi Pratama Khatulistiwa (PT BPK) di Kecamatan Kuala Mandor B yang mendapatkan keluhan warga. Kebun anak usaha Wilmar International, di desa sebelah, Desa Mega Timur, Kecamatan Ambawang juga menuai keluhan. Warga pernah mengeluhkan polusi udara ini kepada Walhi Kalimantan Barat (Kalbar).

Mereka resah terhadap polusi dari debu aktivitas hilir mudik angkutan perusahaan. Debu makin menggila kala kemarau.“Dampak hadirnya perusahaan  antara lain debu. Solusinya apa, jangan sampai terlalu. Tahun 2012, pernah sampaikan persoalan ini ke perusahaan, namun tidak digubris,” kata Qomaruzaman, tokoh pemuda Mega Kencana, kala lapor ke Walhi Kalbar.

Memang, dia tak menampik kehadiran perusahaan membuka akses jalan. “Dulu biasa menempuh perjalanan berjam-jam, saat ini bisa lebih cepat.”

Masalah lain, limbah baik dari operasional pengelolaan kebun maupun melalui pengolahan tandan buah segar di pabrik. Penggunaan zat kimia seperti saat pemupukan tanaman, menyemprot hama dan lalang maupun pengendalian hama dengan pengeboran batang sawit untuk memasukkan zat kimia sangat rawan bagi kesehatan baik pekerja maupun warga sekitar.

Hendrikus Adam,  Koordinator Divisi Riset dan Dokumentasi Walhi Kalbar mengatakan, zat kimia yang larut karena hujan dan banjir berpotensi mendatangkan penyakit bagi kesehatan warga. “Terlebih bila pupuk yang digunakan, misal, sengaja dibuang ke parit oleh pekerja. Begitu juga kontak langsung pekerja dengan zat kimia perlu mendapat tindakan proteksi dini oleh perusahaan.”

Belakangan Walhi mendapatkan informasi, bahwa sejumlah anak sungai tertimbun aktivitas perusahaan dan air tidak dapat digunakan keperluan sehari-hari warga.

Adam mencontohkan, aktivitas pabrik pengolahan TBS di kampung Sungai Tempayan, persis di tepi Sungai Landak berpotensi menimbulkan pencemaran. Berdasarkan laporan Walhi Kalbar 2006, selain pencemaran udara melalui gerbong asap pabrik, perusahaan juga membuang limbah ke sungai.

Gambut Dalam

Tak hanya berbagai bencana dan pencemaran, kebun perusahaan juga diduga berada di gambut dalam.  “Mayoritas tanah di Sungai Enau bergambut. Kedalaman bisa mencapai tujuh sampai 12 meter. Kita bisa lihat dari hasil pembersihan lahan perusahaan itu,” kata Ali. Beberapa pohon sawit pun tampak miring tak beraturan seakan tak bisa berdiri pada pijakan kokoh karena tanah bergambut.

Berdasarkan fakta itu, Haryono Sadikin, Palm Oil Reform Officer WWF-Indonesia, menyebut inisiatif pengurangan emisi karbon belum berdampak pada perilaku perusahaan itu. “Kenapa? Sebab izin konsesi perusahaan itu keluar sebelum Inpres No 10/2011 diterbitkan. Hukum kan tidak berlaku surut.”

Dia menekankan, pada sejumlah observasi yang menyebut moratorium tidak berjalan efektif. “Hasil kajian ilmiah mengatakan begitu. Tapi kita tetap apresiasi ada inisiatif Presiden untuk tidak lagi membuka lahan gambut dalam kurun waktu tertentu,” katanya.

Saat ini, kata Haryono, komitmen itu bisa dilihat apakah dilaksanakan atau tidak di Kalbar. Dia mencontohkan, antara kebun sawit lama dan baru. PT BPK di Kecamatan Kuala Mandor B contoh kebun sawit lama. Namun, sejumlah perusahaan sawit baru di Desa Wajok Hilir, Kecamatan Siantan, Kabupaten Pontianak, bisa bermunculan.

Lahan gambut yang baru diolah untuk menanam sawit baru di konsesi PT BPK. Foto: Sapariah Saturi
Kala hujan, air parit meluap dan menggenangi jalan sekitar setengah meter. Rumah-rumah warga kebanjiran bisa mencapai 1,5 meter. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,