,

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Minta Moratorium Penebangan Hutan Tidak Diperpanjang

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) rupanya sudah mengambil ancang-ancang jelang berakhirnya masa penerapan moratorium (penundaan) pemberian izin baru bagi perkebunan kelapa sawit pada Mei 2013 mendatang. Dalam acara “8th Indonesian Palm Oil Conference and 2013 Price Outlook” di Nusa Dua Bali, Kamis (29/11/12), GAPKI secara tegas meminta pemerintah agar penerapan moratorium itu tidak diperpanjang sehingga ekspansi lahan perkebunan kelapa sawit dapat kembali dilaksanakan.

“Kami harap kebijakan moratorium itu tidak diperpanjang masa berlakunya, karena menghambat ekspansi perluasan kebun kelapa sawit. Hal ini juga telah menghilangkan kesempatan ekonomi untuk menggarap permintaan pasar yang semakin meningkat,” jelas Ketua GAPKI Joefly Bahroeny dalam konferensi yang diikuti lebih dari 1.300 peserta dari 35 negara itu.

Hutan yang diubah menjadi lahan kelapa sawit. Foto: Rhett A. Butler

Kebijakan moratorium pemberian izin baru bagi perkebunan kelapa sawit baru dituangkan dalam Instruksi Presiden (Inpres) No 10 Tahun 2011. Dalam inpres yang berlaku efektif mulai 20 Mei 2011 itu disebutkan, penerapan moratorium terhadap pemberian izin kawasan hutan alam dan gambut untuk perkebunan sawit berlaku efektif selama dua tahun ke depan.

“Kalau kebijakan moratorium itu diperpanjang, perkembangan kelapa sawit di Indonesia akan mengalami kemandegan. Moratorium akan menghambat ekspansi kepala sawit Indonesia. Padahal permintaan atas produk ini terus meningkat, seiring meningkatnya populasi penduduk dunia,” ujar Joefly.

Di pihak lain, GAPKI juga meminta agar pemerintah segera membuat mekanisme  pemanfaatan hutan terintegrasi untuk dimanfaatkan secara ekonomis. “Namun kami berkomitmen untuk pelestarian hutan,” Joefly menegaskan.

GAPKI justru meminta pemerintah membantu pegusaha untuk melakukan counter terhadap kampanye negatif yang dilakukan berbagai NGO terhadap usaha kelapa sawit. “Kampanye positif di luar negeri perlu untuk meng-counter kampanye negatif oleh NGO (non government organization) di luar negeri. Perlu kerjasama antara NGO dan pemerintah untuk menangkal kampanye negatif yang skalanya makin meningkat. Kami perlu komitmen pemerintah untuk ini,” tegasnya.

Aan, orangutan yang ditembaki 104 peluru senapan angin akibat masuk ke perkebunan sawit masyarakat. Foto: BKSDA Pangkalan Bun

Dalam kesempatan yang sama, GAPKI juga menuntut beberapa hal kepada pemerintah, diantaranya adanya kepastian hukum melalui kebijakan tata ruang daerah yang jelas serta infrastruktur pendukung, dalam rangka meningkatkan produksi dan daya saing kelapa sawit Indonesia.

“Kepastian hukum tentang tata ruang sangat diperlukan agar rencana usaha bisa dilakukan dengan baik dan berkelanjutan. Pemerintah agar segera selesaikan perbedaan pandangan antara pengusaha, pemerintah daerah, dan pihak terkait sehubungan tata ruang ini,” ujar Joefly.

Terkait infratruktur, pihaknya berharap pemerintah segera mengimplementasikan perencanaan infrastruktur yang telah dibuat melalui strategi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) guna mempermudah pengusaha dalam proses ekspor.

Menanggapi permintaan GAPKI, Menteri Pertanian Suswono yang hadir untuk membuka konferensi dua hari itu menegaskan bahwa kebijakan moratorium bukan wilayah kewenangannya. Namun pihaknya berjanji akan menyampaikan aspirasi tersebut kepada Menko Perekonomian.

Di sisi lain, Suswono menyampaikan kekhawatirannya atas ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit yang cenderung mengalihfungsikan lahan pertanian produktif. “Saya harap kepada pelaku usaha kepala sawit, perlu dipikir masak-masak tentang upaya ekspansi perkebunan kelapa sawit. Saya khawatir banyak lahan pertanian produktif beralih jadi kebun kelapa sawit. Apalagi ketika harganya (kelapa sawit) menarik. Pendapatan jauh lebih untung dari tanam padi. Tapi hendaknya pesoalan pokok ini mari kita pikirkan bersama,” ujarnya.

Gajah mati diracun akibat memasuki perkebunan kelapa sawit di Riau. Foto: WWF Riau

Suswono justru meminta para pelaku usaha kelapa sawit berkomitmen untuk mengamankan lahan pertanian produktif untuk produksi pangan utama, guna mengantisipasi krisis pangan. “Bahkan seharusnya di setiap perkebunan kepala sawit ada sejenis belt untuk lahan penanaman pangan utama. Ini penting untuk mengantisipasi krisis pangan,” tegasnya.

Daripada memperluas lahan perkebunan, kata Suswono, pengusaha sawit sebaiknya berupaya meningkatkan produktifitasnya. Saat ini, rata-rata produksi perkebunan sawit di Indonesia hanya 3 ton CPO per hektar. Padahal, bila digarap optimal, potensinya bisa mencapai 7 ton per hektar.”Ini yang jadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, bagaimana supaya perkebunan kelapa sawit rakyat ini bisa mendekati pelaku swasta yang sudah bisa meningkatkan produktivitasnya. Karena lahan yang ada masih bisa ditingkatkan produktivitasnya,” ujar dia.

Saat ini, sudah ada izin pengelolaan perkebunan kelapa sawit seluas 9,8 juta hektar. Namun lahan yang sudah dimanfaatkan baru 8,9 juta hektar. “Jadi masih ada potensi sekitar 1 juta hektar yang belum digarap,” ia mengingatkan.

Pembukaan hutan di Riau untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Foto: Aji Wihardandi

Dalam kesempatan yang sama, Suswono juga sempat menanggapi maraknya kampanye aktivis dunia yang menentang bisnis kelapa sawit ini. Ia menuding aksi aksi tersebut hanyalah kampanye negatif yang murni didasari oleh kepentingan bisnis. “Black campaign itu murni untuk kepentingan bisnis. Sampai saat ini belum ada satu pun hasil penelitian yang menyebutkan bahwa kelapa sawit tidak baik untuk kesehatan,” ujarnya.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , ,