,

Sederet Kasus, Masyarakat Sungai Enau Bisa Laporkan Wilmar ke RSPO (Bagian 4)

SEDERET janji-janji manis PT Bumi Pratama Khatulistiwa (PT BPK) kepada warga sekitar masih belum terealisasi. Dari janji perbaikan jalan, sarana air bersih, sarana kesehatan sampai mempekerjakan masyarakat lokal maupun kesejahteraan pekerja di perkebunan. Anak usaha Wilmar International Limited ini seakan menutup mata. Padahal, perusahaan ini salah satu anggota terkemuka Rountable on Sustainable Palm Oil (RSPO)

Sekretaris Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalimantan Barta (Kalbar), Agus Sutomo mengatakan, warga Desa Sungai Enau, Kecamatan Kuala Mandor B, Kabupaten Kubu Raya (KKR) sebaiknya mengambil langkah-langkah strategis, misal melaporkan kasus ini ke Komnas HAM. Upaya lain, dengan mengumpulkan data kasus dan melaporkan ke RSPO.

“Saya kira langkah ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi PT BPK. Dampaknya akan berpengaruh langsung pada proses pendistribusian CPO perusahaan itu,” katanya di Pontianak, Jumat(30/11/2012).

Konflik warga dengan perusahaan yang berkepanjangan harus segera diselesaikan. Perusahaan juga didorong memerhatikan aspek-aspek yang bernilai konservasi tinggi.

“Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah inisiatif guna mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Jangan biarkan kasus ini berlarut-larut karena bisa memicu konflik horisontal.

Menurut Sutomo, tidak hanya soal lahan yang jadi perkara di areal konsesi PT BPK. Daya dukung hidrologi lingkungan di Sungai Enau juga sudah mulai menurun. Tidak mengherankan jika warga dalam satu masa begitu kesulitan air, tapi di masa lain akan menuai bencana banjir. “Itu fakta yang menunjukkan degradasi lingkungan sudah terjadi di Sungai Enau.”

Karena itu, Sutomo minta peran aktif semua pihak dalam membantu penyelesaian sengketa lahan dan mendorong perusahaan tetap memerhatikan aspek-aspek pembangunan berkelanjutan.

Abdurrani Muin, Dekan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, mengatakan, salah satu sektor paling banyak menimbulkan masalah di Kalbar adalah kehutanan. “Ini terjadi karena penilaian orang terhadap hutan sangat sempit. Hutan hanya dilihat dari satu aspek saja, yakni kayu,” katanya.

Padahal, nilai kayu itu hanya beberapa persen. Masih ada fungsi lain jauh lebih penting dari sekadar kayu. Dia adalah fungsi konservasi dan sebagai ekosistem. Sayangnya, kedua fungsi ini sudah ditinggalkan.

Dia mencontohkan, ada kawasan hutan dilepas menjadi areal pengunaan lain (APL). Padahal, di kawasan itu ada satwa yang hidup dan lindungi seperti bekantan dan orangutan. “Kalau hutan dialihfungsikan, bukan cuma kayu yang habis, juga satwa. Saya kira saat ini sudah terjadi di Kalbar seiring kian susutnya kawasan hutan.”

Dia mengajak membandingkan nilai ekonomi sawit dengan nilai lingkungan yang rusak. Dari situ, bisa dihitung berapa ongkos yang harus dibayar jika bencana tiba-tiba datang lantaran daya dukung lingkungan yang kian menurun.

“Sebaiknya kita bisa berkaca pada Malaysia. Saat ini, mereka tidak lagi memperluas kebun sawit. Justru pemerintah mendorong dunia usaha agar ekspansi ke luar, termasuk ke Kalbar. Langkah itu ditempuh bukan karena mereka tak punya lahan lagi. Ini menunjukkan Pemerintah Malaysia sadar hutan harus dipertahankan.” (habis)

Jalan desa yang janji diperbaiki tapi tak ada realisasi. Foto: Sapariah Saturi
Air parit yang digunakan warga untuk keperluan sehari-sehari. Mereka menanti janji perusahaan yang katanya akan memberikan sarana air bersih. Foto: Sapariah Saturi
Ali, warga Dusun Parit Kongsi, memperlihatkan lahan miliknya yang pernah diklaim perusahaan. Dia protes dan menebang pohon-pohon sawit yang ditanam di lahan sekitar lima hektar itu. Foto: Sapariah Saturi
Artikel yang diterbitkan oleh
, ,