,

Tuding Aktivis Lingkungan Provokator, GAPKI Diminta Banyak Belajar

Produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO) Indonesia, kembali mendapatkan sorotan berbagai kalangan aktivis lingkungan baik lokal maupun internasional. Sebab, masih banyak ditemukan bukti operasi perusahaan sawit yang bermasalah, baik terhadap lingkungan maupun berkonflik dengan masyarakat sekitar. Aksi para aktivis ini dianggap sebagai kampanye negatif oleh para pengusaha sawit.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Joefly Bahroeny usai menutup “The 8th Indonesia Palm Oil Conference and 2013 Price Outlook”  di Nusa Dua Bali, Jumat(30/11/12) menyebut keberadaan NGO sebagai provokator untuk merusak citra perkebunan sawit Indonesia, yang pada gilirannya diharapkan menjatuhkan daya saing sawit Indonesia di pasar internasional. Joefly menuding bahwa kalangan provokator menyebabkan suasana tidak kondusif dan terkait dengan persaingan bisnis.

Kalangan aktivis lingkungan pun menanggapi tudingan ini dengan mengungkapkan fakta-fakta. Komentar GAPKI dinilai sebagai upaya tutup mata terhadap beragam fakta di lapangan yang menyatakan operasi kebun sawit masih belum berkelanjutan.

Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia yakin, ungkapan aktivis lingkungan provokator karena GAPKI belum pernah mempelajari begitu banyak laporan-laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Laporan itu,  mengungkapkan berbagai kerugian negara dan kerugian lingkungan diakibatkan operasi perkebunan sawit di Indonesia.

“Pertanyaan yang harus dijawab oleh Ketua umum GAPKI adalah apakah laporan-laporan audit BPK yang mengungkapkan kebobrokan operasi perkebunan sawit di Indonesia itu, juga dianggap sebagai suatu bentuk provokasi? Apakah BPK itu lembaga provokator?” katanya di Jakarta, Senin(3/11/12) kepada Mongabay.co.id.

Elfian pun menyarankan, GAPKI mempelajari temuan-temuan BPK dan rekomendasi-rekomendasi dari lembaga audit negara itu. “Daripada menuduh LSM nasional dan internasional sebagai provokator, sebaiknya Ketua Umum GAPKI sisihkan waktu mempelajari laporan-laporan audit BPK. Gunakan laporan-laporan itu sebagai referensi utama untuk pembenahan pada operasi dan manajemen perkebunan sawit bagi perusahaan-perusahaan di bawah keanggotaan GAPKI,” ucap Elfian.

Laporan audit BPK terbaru menurut Elfian banyak mengungkapkan fakta tentang perusahaan-perusahaan sawit dari grup bisnis skala besar yang dinyatakan melakukan tindak pidana kehutanan. Laporan audit BPK  ini juga menunjukkan begitu banyak perusahaan sawit bermasalah soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Tentunya, berdampak pada operasi perkebunan sawit yang buruk dari sisi lingkungan.

Tanggapan juga datang dari Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Eksekutif Nasional Walhi. Ia memandang sikap GAPKI memandang suara lembaga non pemerintah (non government organization/NGO) dan warga sebagai kampanye negatif (black campaign) justru mempertegas mereka melakukan dan menghalalkan serangkaian kejahatan manusia dan lingkungan.

Zenzi pun meminta agar GAPKI dapat mendalami definisi terkait tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan ekologis, “Kalau NGO mereka bilang provokator. Maka, penembakan warga, perampasan tanah rakyat dan wilayah ulayat, intimidasi serta kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan sawit terhadap ratusan warga yang mempertahankan hak, itu apa namanya?‎ ujarnya.

Menurut Zenzi, bila sampai pembeli dan konsumen mulai memperhitungan bagaimana praktik produksi CPO, seharusnya menjadi catatan penting bagi GAPKI untuk memperbaiki diri. Pengusaha perkebunan sawit, lanjutnya sudah terlalu dimanjakan pemerintah dengan pengampunan massal pelanggaran UU 41 tentang Kehutanan, dengan keluarnya PP 60 dan 61 tahun 2012.

Puluhan ribu lahan sawah warga di Sumatera Utara menjadi kebun sawit. Perusahaan mulai membuka kanal-kanal yang menyedot air hingga sawah petani sekitar terancam. Foto: Walhi

Forest Related Crimes

Dalam kesempatan berbeda, Ketua Satuan Tugas REDD+ (Satgas REDD+) Kuntoro Mangkusubroto, Senin (22/10/12) menyebutkan bahwa Satgas cukup banyak menerima laporan masyarakat terkait pelanggaran hukum di sektor perkebunan dan pertambangan. Ia mengatakan bahwa Satgas akan memprioritaskan penanganan 12 kasus kejahatan kehutanan (forest related crimes), yang didominasi perkebunan sawit dan tambang yang beraksi melalui berbagai modus.

“Mulai pelanggaran administratif sampai pelanggaran hukum yang cukup serius.  Kami menindaklanjuti dengan koordinasi ke berbagai instansi penegak hukum secara terus menerus,” katanya di Jakarta. Satgas REDD+, katanya, terus berkoordinasi dalam penegakan hukum dengan Kepolisian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kejaksaan.

Lebih lanjut, Kuntoro menyebutkan bahwa 12 kasus ini sebagian masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan sebagian lain sudah dilimpahkan ke Kejaksaan.  Dari kesembilan kasus di sektor perkebunan, diidentifikasi ada tiga modus utama kejahatan. Pertama, kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dan tanpa dilengkapi izin usaha perkebunan (IUP). Kedua, melakukan penanaman tanpa mengantongi IUP di atas wilayah moratorium (PIPIB). Ketiga, persiapan lahan dengan cara membakar.

Foto: Yayasan Ekosistem Lestari

Lanjutkan Moratorium

Berbeda dengan GAPKI yang meminta agar jeda balak (moratorium) tidak dilanjutkan paska Mei 2013, maka Menteri Kehutanan Indonesia, Zulkifli Hasan, berkomitmen memperpanjang moratorium setelah selesainya masa dua tahun pertama.

Dukungan kepada perpanjangan moratorium pun datang dari berbagai kalangan aktivis lingkungan. Salah satunya lewat aksi yang dilakukan oleh para aktivis Greenpeace (27/11/2012). Greenpeace hari itu menyampaikan dukungan kepada delegasi tingkat tinggi dari Norwegia untuk melanjutkan dan meningkatkan bantuan penting mereka dalam melindungi hutan Indonesia.  Delegasi dipimpin Putra Mahkota Kerajaan Norwegia Pangeran Haakon Magnus dan Putri Mahkota Mette-Marit, termasuk Menteri Lingkungan Hidup Bård Vegar Solhjell berserta beberapa menteri lain dan pelaku usaha.

“Kami sekarang menyerukan agar Presiden Yudhoyono memastikan berupaya memaksimalkan dukungan Norwegia dengan memperkuat dan mengimplementasikan moratorium itu,” kata Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara-Indonesia.

Greenpeace juga menyerahkan rapor tentang kemajuan perjanjian Indonesia-Norwegia dalam perlindungan hutan kepada Menteri Solhjell. Dalam rapor itu menyatakan, kemajuan dinilai lambat, dan masih ada pertanyaan apakah perjanjian dapat dicapai sesuai jadwal sebelum pencairan dana untuk pengurangan emisi tahun 2014. Memang, sudah ada beberapa kemajuan dalam menyokong gerakan anti-korupsi, meningkatkan kesadaran, pembuatan satu peta sebagai rujukan, prinsip-prinsip kepemilikan nasional, rancangan dan rencana kelembagaan.

Namun, ada hal terpenting belum terpenuhi, yakni penghentian sementara selama dua tahun atas semua konsesi baru untuk konversi gambut dan hutan alam dan data yang dapat dipercaya mengenai lahan rusak. Rekomendasi Greenpeace memperkuat moratorium dengan meninjau semua izin penebangan hutan, dan memperluas moratorium untuk melindungi semua lahan gambut dan hutan sekunder.

Norwegia dan Indonesia terikat melalui sebuah Surat Pernyataan Kehendak (Letter of Intent), yang ditandatangani di Oslo pada 26 Mei 2010,  kedua negara bersepakat untuk bekerjasama melindungi hutan tersisa yang ada di Indonesia. Perjanjian ini berinti untuk mengikat kedua belah pihak dalam kerangka kerjasama yang bertujuan untuk menurunkan emisi yang terjadi di Indonesia melalui mekanisme REDD+.

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,