Mangrove Tahura Ngurah Rai Bali, Nasibmu Kini…

Cuaca panas di sore hari, akhir pekan lalu, membuat Kadek Sarmi dan teman-temannya memilih “bersembunyi” ke kawasan wisata Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai di pinggiran Denpasar, berbatasan langsung dengan Kabupaten Badung. Kawasan hutan mangrove terluas di Bali ini berlokasi hanya beberapa ratus meter dari Simpang Dewa Ruci, Kuta, pusat kemacetan terparah di Bali saat ini.

Dengan hanya Rp 5000, panasnya cuaca sore itu pudar ketika memasuki kawasan hutan mangrove. Menyusuri jalan setapak kayu di antara lebat tanaman mangrove, memberi nuansa kesegaran tersendiri. “Denpasar sudah semakin krodit sekarang. Paling enak jalan jalan yang di hutan mangrove, daripada ke mal. Di sini khan udaranya segar,” kata Sarmi.

Sayangnya, para pengunjung harus puas dengan berbagai keterbatasan fasilitas di area hutan mangrove. Jalan setapak yang terbuat dari kayu ulin, sudah rapuh di banyak sisinya. Hal ini memaksa pengunjung berhati-hati, bila tak ingin terperosok. “Berbahaya sekali jalan di sini. Kayunya sudah rapuh. Takut juga kalau jatuh. Kenapa nggak diperbaiki ya?” Nur Aini, salah seorang pengunjung mempertanyakan.

Tidak adanya fasilitas tempat sampah di sepanjang areal, membuat beberapa pengunjung dengan seenaknya membuang sampah sembarangan. Aksi corat coret oleh pengunjung yang tidak bertanggung jawab, juga tampak mewarnai beberapa bagian jalan dan fasilitas di kawasan ini.

Papan jalan setapak yang berlubang dimana-mana, membahayakan pengunjung yang menikmati hutan mangrove ini. Foto: Ni Komang Erviani

Pemerintah Provinsi Bali selaku pengelola hutan mangrove seluas total 1.373,5 hektar itu pun mengakui kondisi ini. “Kami cukup kewalahan mengatasi masalah sampah plastik yang cukup banyak. Setiap harinya, kami mengangkut tidak kurang dari 4 truk sampah. Tetapi masalahnya tidak juga bisa teratasi karena keterbatasan personil dan anggaran,” kata Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Pemerintah Provinsi Bali hanya mengalokasikan dana Rp 400 juta setahun untuk pengelolaan hutan di Bali.

Banyaknya sampah di kawasan Tahura Ngurah Rai, sebenarnya tidak banyak disumbang oleh aksi tidak bertanggung jawab pengunjung. Posisi Tahura Ngurah Rai yang menjadi hilir sedikitnya 8 sungai, membuat kawasan ini menjadi “tempat sampah” kiriman dari berbagai wilayah di Bali. Posisinya pun tak jauh dari tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Suwung yang berbatasan langsung dengan laut.

Dengan alasan penyelamatan kawasan Tahura Ngurah Rai, Gubernur Bali memutuskan menyerahkan pengelolaan kawasan hutan mangrove ini kepada pihak swasta. Adalah PT. Tirta Rahmat Bahari, perusahaan swasta yang berhasil mendapat izin pengelolaan hutan mangrove seluas 102,2 hektar di kawasan Tahura Ngurah Rai. Melalui izin yang sudah diterbitkan pada Juni tahun ini, PT. Tirta Rahmat Bahari mendapat hak pengelolaan hutan selama 55 tahun. Syaratnya, perusahaan ini diwajibkan mengelola hutan dengan system kolaborasi bersama pihak Pemerintah Provinsi Bali.

Dalam masterplan yang terlampir dalam izin yang dikantongi PT. Tirta Rahmat Bahari, disebutkan bahwa perusahaan akan membangun sedikitnya 75 unit penginapan, 5 kios, 8 rumah makan, 2 spa, 1 restaurant, 1 gedung serba guna, tempat meditasi, toilet, dan sarana penunjang pariwisata lainnya. “Izin ini saya berikan untuk menyelamatkan hutan mangrove kita. Karena kalau dikelola pegawai negeri sipil, saya yakin sulit sekali. Perlu ada orang-orang professional yang mengelola itu, sehingga hasilnya pun lebih maksimal,” tegas Pastika.

Namun pemberian izin pengelolaan Tahura Ngurah Rai kepada swasta mengundang reaksi dari aktivis lingkungan hidup di Bali. Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup (KEKAL) Bali terus mendesak Gubernur Bali untuk mencabut izin yang telah dikeluarkan melalui beberapa kali unjuk rasa.

Sampah bertebaran dimana-mana. Foto: Ni Komang Erviani

Menurut salah satu aktivis KEKAL Bali yang juga Ketua Dewan Daerah Walhi Bali, Wayan “Gendo” Suardana, pemberian izin kepada investor tidak menjawab persoalan menumpuknya sampah plastik di Tahura Ngurah Rai. “Kalau kita analisa izin yang diberikan, investor hanya bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian mangrove pada area 102,22 hektar saja. Lalu sisanya bagaimana?” Gendo mempertanyakan.

Dalam surat keputusan gubernur tentang izin pengelolaan Tahura Ngurah Rai juga terdapat poin bahwa investor dilarang memindahtangankan hak pengelolaan Tahura, kecuali ada izin tertulis dari gubernur. “Ini merupakan celah bagi investor untuk memindahtangankan haknya karena hanya membutuhkan persetujuan gubernur” terang Gendo.

Atas desakan agar izin kepada PT. Tirta Rahmat Bahari segera dicabut, Gubernur Pastika sempat menyatakan pihaknya tengah mengkaji ulang perizinan tersebut. “Mari kita bersama sama kaji itu, membentuk tim kecil, untuk membahasnya. Saya terbuka, termasuk kepada LSM. Saya yakin sebenarnya kita berangkat dari pemahaman yang sama, yakni menciptakan kesejahteraan di Bali dengan tetap menjaga lingkungan,” jelas Pastika.

Namun KEKAL Bali menyayangkan pengkajian ulang yang dilakukan tanpa mencabut terlebih dahulu izin yang telah dikantongi. “Seharusnya yang dilakukan Gubernur Bali ialah mencabut izin PT. TRB, baru melakukan kaji ulang pengelolaan kawasan tahura Ngurah Rai. Tidak seperti sekarang ini, yang hanya melakukan kaji ulang tanpa ada kejelasan kapan pencabutan ijin dilakukan,” keluh Gendo.

Dikonfirmasi terpisah, Direktur PT. Tirta Rahmat Bahari, Nyoman Swianta, mengaku masih menunggu hasil kajian ulang terhadap izin yang telah mereka kantongi. Swianta mengaku siap menerima apapun hasil pengkajian ulang itu. “Apapun hasilnya, kami akan terima. Pada dasarnya, kami hanya ingin menyelamatkan hutan mangrove yang kondisinya memprihatinkan. Tetapi kecurigaan bahwa kami akan merusak hutan mangrove, tentu tidak masuk akal. Kami akan menjadikan hutan itu asset utama kami, jadi tidak mungkin kami merusaknya. Tidak akan ada satu pun pohon yang kami tebang. Kalau kami merusaknya, sama saja kami bunuh diri,” Swianta beralasan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,