,

Habitat Orangutan Ketapang dan Kayong Utara Kian Terjepit

LAJU investasi perkebunan sawit, pertambangan, dan permukiman tak hanya memicu konflik horisontal antarkelompok masyarakat. Pembukaan skala besar itu, telah merampas habitat satwa liar dilindungi seperti orangutan.

Di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalimantan Barat, Yayasan Palung mencatat 17 kasus orangutan berhasil dievakuasi sejak Januari hingga November 2012. Angka ini mengalami peningkatan signifikan jika dibandingkan tahun sebelumnya 12 kasus. Grafik ini terus menanjak akibat pembukaan lahan skala besar, baik di hutan rawa gambut maupun dataran rendah. Padahal, kawasan itu merupakan tempat hidup paling nyaman bagi orangutan.

Dinas Perkebunan Ketapang mencatat 54 perusahaan sawit yang beroperasi dengan seluas 783.151 hektar. Sedangkan data Dinas Pertambangan, perusahaan pertambangan yang mengantongi izin eksplorasi 78 seluas 990.060 hektar. Pemegang izin pertambangan operasi produksi 56 perusahaan seluas 196.592,8 hektar. Luas total pertambangan di Ketapang mencapai 1.186.661,8 hektar.

Berdasarkan hasil monitoring Yayasan Palung di pesisir Ketapang dan Kayong Utara pada Januari – November 2012, teridentifikasi 10 kasus pemeliharaan orangutan oleh masyarakat. Beberapa kasus berada di permukiman masyarakat yang berbatasan langsung dengan perkebunan dan pertambangan.  Selain itu, Yayasan International Animal Rescue Indonesia (Yiari) juga mencatat, sejak Januari – November 2012, terdapat 17 orangutan berhasil diselamatkan dari berbagai kecamatan.

Direktur Lapangan Yayasan Palung, Tito P. Indrawan, meminta semua pihak menyadari bahwa kebutuhan lahan kian hari akan makin besar. “Jumlah lahan sama sekali tidak bertambah,” katanya di Ketapang, Rabu(5/12/2012). “Sekarang ini, boleh disebut habitat orangutan yang relatif aman hanya masih ada di kawasan lindung seperti Taman Nasional Gunung Palung. Hasil survei 2001, orangutan di sana diperkirakan 2.500 individu. Selanjutnya belum ada informasi terbaru soal jumlah,” ucap Tito. Karena itu, perlu perencanaan cukup matang dalam penggunaan lahan yang terbatas ini. Tujuannya, agar mampu mengakomodir kepentingan semua pihak, baik untuk usaha maupun konservasi.

Konflik antara orangutan dengan perkebunan sawit maupun pertambangan cukup besar. Ini terlihat pada kasus temuan orangutan mati di kawasan maupun yang berhasil diselamatkan. Dalam beberapa kasus, kata Tito, tak jarang perusahaan dengan dalih penyelamatan menyerahkan orangutan di areal konsesi kepada lembaga konservasi. “Seharusnya perlindungan orangutan di lingkup perusahaan menjadi tanggung jawab. Bukan malah mengeluarkan dari habitatnya.”

Tito menyebutkan bahwa keadaan ini membuktikan kurangnya pengawasan perusahaan perkebunan saat penyusunan Kerangka Analisis Dampak Lingkungan (Ka-Andal). Seharusnya Ka-Andal yang disusun menyampaikan detail satwa apa yang ada di kawasan konsesi.

Akibat informasi tidak detail ini menyebabkan konflik antara orangutan dengan perkebunan sawit maupun pertambangan tidak terhindarkan. Kondisi diperparah  dengan tidak ada monitoring dalam pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang dibuat.

Artikel yang diterbitkan oleh
,