,

Uni Eropa Beri Sertifikat Ramah Lingkungan untuk Bahan Bakar Berbasis Kelapa Sawit

Keputusan Uni Eropa memberikan sertifikasi ramah lingkungan untuk komoditi kelapa sawit memancing reaksi berbagai kelompok lingkungan di dunia. Mereka mengatakan bahan bakar berbasis kelapa sawit akan mendorong deforestasi di hutan hujan tropis Indonesia lebih parah.

Skema sertifikasi yang diajukan oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) ini menyasar agar terpenuhinya syarat dan peraturan Renewable Energy Directive yang disusun oleh Uni Eropa, berpotensi meningkatkan permintaan biodiesel ke Eropa.

Menanggapi hal ini, Juru Kampanye Kehutanan Greenpeace, Sini Harkki mengatakan bahwa keputusan Komisi Eropa itu sangat memalukan dan sangat munafik. “Suatu saat mereka mengatakan bahwa bahan bakar biodiesel lebih kotor daripada diesel biasa, dan besok bisa saja berubah akibat tekanan industri, mereka akan menelan kata-kata mereka mentah-mentah,” ungkap Sini.

Padahal dalam kajian yang dilakukan oleh para ahli untuk Komisi Eropa menemukan bahwa penggunaan bahan dasar kelapa sawit untuk memproduksi bahan bakar diesel bisa mempengaruhi perubahan iklim secara signifikan.

Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa hutan dan lahan gambut telah dihancurkan untuk menumbuhkan bahan bagi biodiesel, yang memiliki tingkat emisi lebih buruk dibanding bahan bakar berbasis fosil sekalipun. Selain itu laporan Uni Eropa yang dirilis bulan Oktober mengatakan bahwa kelapa sawit adalah salah satu sumber terburuk dalam konteks peraturan yang termasuk sebagai ILUC (Indirect Land Use Change) atau Perubahan Penggunaan Lahan Secara Tidak langsung.

Direktur Jenderal Kebijakan Energi Uni Eropa Philip Lowe sendiri di Kongres Biofuel Eropa tanggal 4 Desember 2012, mengatakan kepada utusan perusahaan penghasil bahan bakar berbasis kelapa sawit ini bahwa ILUC (Indirect Land Use Change) ini adalah sebuah masalah yang bisa ‘memicu kesulitan dimana-mana’, dan menambahkan bahwa ini adalah alasan utama bagi para pegiat lingkungan terhadap Uni Eropa dan dimanapun.

Namun Lowe juga menambahkan bahwa ukuran ilmiah atas ILUC ini tidak cukup kuat bagi Komisi Uni Eropa untuk menjadikannya sebuah faktor penting dalam rencana peraturan Renewable Energy Directive tersebut. Pihak eksekutif Uni Eropa bahkan telah menentukan kriteria keberlanjutan yang baru bagi bahan dasar berbasis biomassa. Hal ini termasuk ambang batas 60% penghematan gas rumah kaca untuk instalasi bahan bakar biofuel baru tahun 2014 dan komitmen untuk menguji ulang bukti-bukti ILUC tahun 2017.

Persetujuan terhadap skema yang diajukan oleh RSPO ini artinya kelapa sawit dinilai memenuhi kriteria keberlanjutan yang ditetapkan oleh peraturan baru Renewable Energy Directive dan menjadi bagian dalam target  energi terbarukan yang ditetapkan oleh Uni Eropa.

Kendati dinilai membawa dampak positif bagi Eropa soal energi terbarukan, namun persetujuan penggunaan kelapa sawit secara masif di Eropa ini dikhawatirkan akan memicu deforestasi lebih lanjut di negara-negara penghasil kelapa sawit seperti Indonesia dan Malaysia. Robbie Blake Juru Kampanye Bahan Bakar di Friends of the Earth Eropa mengatakan kepada EurActiv: “Bahan bakar berbasis sawit sudah memicu terjadinya deforestasi, hilangnya hutan hujan tropis, konflik masyarakat dan mempercepat perubahan iklim. Uni Eropa harus melarang penggunaan kelapa sawit sebagai bahan dasar untuk bahan bakar.”

Lebih jauh, Blake meragukan validitas pengujian yang dilakukan oleh RSPO bahwa sumber bahan bakar kelapa sawit yang akan digunakan di Eropa sudah memenuhi kriteria. Misalnya adalah adanya fakta bahwa RSPO tidak memiliki perangkat untuk memastikan dan melakukan verifikasi bahwa lahan basah tidak terkuras demi perkebunan sawit, karena hal ini adalah hal yang sangat terlarang dalam aturan keberlanjutan yang ditetapkan Uni Eropa.

Hal senada juga diungkapkan oleh Nusa Urbancic, Juru Kampanye LSM Transport & Environment kepada EurActiv bahwa persetujuan Uni Eropa untuk menerima bahan bakar berbasis kelapa sawit artinya mereka masih mengizinkan RSPO untuk mengeringkan lahan gambut dan melakukan konversi hutan. Nusa mengatakan lebih lanjut bahwa Uni Eropa berada dalam posisi sulit karena tidak menentukan kriteria yang sangat kuat dalam rencana peraturan mereka.

Dalam pernyataannya lembaga Wetlands International menyatakan bahwa: “Angka rata-rata alihfungsi lahan hambut menjadi kebun sawit di Malaysia adalah 8% setiap tahun, artinya tidak akan ada lagi lahan gambut di tahun 2020”

Penelitian lain yang dikemukakan oleh Jonah Busch dari Conservation International disela-sela pertemuan Perubahan Iklim di Doha, Qatar menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit dan konsesi kehutanan lain (termasuk pulp and paper) menyumbang 38% dari keseluruhan deforestasi dan sekitar 46% emisi secara nasional.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,