,

Editorial: Pertemuan Dunia Perubahan Iklim dan Tantangan Pasca Inpres Moratorium Hutan Indonesia

“We will reduce our emissions by 26 percent by 2020 from BAU (Business As Usual),
(but) with international support, we can reduce emissions by as much as 41 percent… and we will change the status of our forest from that of a net emitter sector (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 2009)

Pertemuan Konperensi Perubahan Iklim (COP-18) saat ini berlangsung di Ibukota Qatar, Doha.  Berbicara tentang pertemuan ini, publik seakan diingatkan kepada pernyataan Presiden SBY 4 tahun yang lalu pada pertemuan COP-15 di Kopenhagen tentang rencana sukarela Indonesia untuk menurunkan emisi karbon.  Pernyatan Presiden tersebut pun di pahami dan dikenal pula melalui  konsep “Pertumbuhan Berkelanjutan dengan Berkeadilan” atau yang dikenal dengan istilah pembangunan 7/26 (7% pertumbuhan ekonomi dan 26% reduksi karbon di tahun 2020).  Dengan visi dan arahan itu diharapkan Indonesia akan mampu untuk menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan tekanan terhadap permasalahan lingkungan.

Presiden menyadari bahwa hutan Indonesia, bukan lagi hanya milik bangsa Indonesia, tetapi telah lama menjadi sorotan internasional karena menjadi pelepas karbon yang berpengaruh kepada perubahan iklim global.  Jika dihitung hanya dari emisi yang dilepaskannya, maka kawasan hutan (khususnya hutan gambut), Indonesialah negara yang paling tinggi melepaskan emisi karbon ke udara.

Untuk menindaklanjuti pernyataan tersebut, lewat Inpres Moratorium Hutan no 10/2011, Presiden mengeluarkan instruksi untuk jeda balak (moratorium) selama 2 tahun lewat praktik penangguhan pemberian izin HPH baru di hutan alam primer dan kawasan lahan gambut. Bersamaan dengan hal itu, kerjasama dengan negara sahabat seperti Kerajaan Norwegia pun di buat melalui Surat Pernyataan Kehendak (Letter of Intent). Intinya, kedua negara bersepakat untuk bekerjasama melindungi hutan tersisa yang ada di Indonesia. Perjanjian ini mengikat kedua belah pihak dalam kerangka kerjasama yang bertujuan untuk menurunkan emisi yang terjadi di Indonesia melalui mekanisme REDD+

Menjadi menarik untuk menarik benang merah di usia Inpres yang menjelang 2 tahun ini, apakah crash program kebijakan Inpres tersebut cukup efektif untuk mencapai target yang diharapkan oleh Presiden? Bahkan, apakah kebijakan ini akan menjawab akan adanya jaminan ‘keselamatan hutan pasca Inpres Moratorium atau bahkan pasca lengsernya Presiden SBY tahun 2014?

Hutan bukan Hanya Masalah Kayu: Melihat Tata Kelola dan Pengukuhan Wilayah Hutan

Sudah menjadi sebuah rahasia umum, bahwa dalam peta ekonomi dan politik sumberdaya alam di Indonesia, -termasuk hutan didalamnya,- sumberdaya alam merupakan sumber bancakan kekuasaan politik dan kepentingan ekonomi. Jika pada dua-tiga dasawarsa lalu, hutan diincar karena potensi kayunya, maka saat ini kawasan hutan di incar untuk menjadi kawasan perkebunan skala luas dan HTI, bahkan isi di bawah tanahnyapun di incar untuk dikeruk hasil tambangnya.

Meskipun kawasan hutan telah lama diperbincangkan, dirumuskan dan bahkan dibuat aturan main regulasinya, namun kenyataannya secara de-facto kawasan hutan sering dianggap sebagai kawasan yang ‘tidak bertuan’.  Dengan demikian wilayah hutan dapat begitu saja diserobot dan mudah dialihfungsikan peruntukannya untuk berbagai kepentingan non kehutanan.

Data Kemenhut mencatat bahwa dalam dasawarsa pertama abad 21, yaitu awal dimulainya reformasi, maka laju kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia dalam kurun tahun 2003-2006 adalah sekitar 1,17 juta hektar pertahunnya.  Meskipun, Kemenhut mengklaim, bahwa laju deforestasi terus menurun menjadi 0,83 juta hektar (periode 2006-2009), dan saat ini berada di sekitar 0,5 juta hektar pertahunnya, maka jumlah itu masihlah identik dengan luas wilayah propinsi Bali!

Akibat dampak dari berbagai akumulasi yang terjadi selama ini, telah mengakibatkan berbagai macam akar permasalahan kehutanan tidak pernah terselesaikan hingga saat ini.  Konflik tenurial yang bermuara dari klaim wilayah terjadi dalam spektrum horisontal maupun vertikal. Seperti diantaranya, konflik antara masyarakat lokal (adat) yang mempertahankan keberadaan ruang hidup melawan pemegang ijin konsesi; tarik menarik kepentingan diantara pemerintah daerah dan pemerintah pusat; pemerintah dengan masyarakat, serta ditambah lagi dengan lemahnya penegakan hukum bagi pelaku pelanggaran dalam bidang kehutanan.

Disisi lain, faktor lemahnya klaim penguasaan hutan oleh Kemenhut kawasan hutan menyebabkan pengukuhan kawasan hutan yang solid tidak dapat kunjung terselesaikan.  Data Forest Watch Indonesia (2009) menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah “bertemu gelang” dan telah selesai diinventarisasi tatabatas hanya baru 12% dari seluruh total kawasan hutan yang diklaim oleh Kemenhut.

Hal ini terjadi dari akibat berbagai klaim wilayah ruang di beberapa wilayah, termasuk karena belum padunya Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang bertabrakan dengan wilayah hutan di tingkat propinsi.  Dalam hal ini, keberadaan kawasan hutan tidaklah berdiri sendiri, tetapi harus diletakkan dalam suatu tinjauan agraria dalam ranah kajian sosial ekonomi dan budaya.

Kelembagaan: Siapa yang Mengelola Hutan?

Kawasan hutan, -khususnya kawasan hutan di luar pulau Jawa-, harus di sadari bukanlah suatu subyek yang telah terberi (given).  Kawasan hutan harus dilihat dalam ruang diskursus yang melibatkan publik dimana di dalamnya terjadi berbagai irisan kepentingan. Dalam subyek diskursus tersebut, perlu didukung klaim bahwa pengelolaan hutan harus mampu memberikan penghargaan pada berbagai cara pandang masyarakat yang telah bermukim di wilayah tersebut. Di mana masyarakat melihat hutan bukan hanya dari sebagai basis ekonomi kapitalistik semata, tetapi merupakan habitus ruang hidup yang harus dipertahankan.

Pengelola hutan tentunya tidak dapat ditempatkan begitu saja dalam ranah teknokratik seperti yang selama ini terjadi.  Perencanaan hutan tidak dapat dilakukan tanpa adanya kepastian penguasaan hutan (forest tenure system) sebagai syarat mutlak dari berjalannya suatu sistem kelola hutan yang baik (forest governance).

Dengan adanya kepastian subyek kelola, maka sistem kelola dapat didefinisikan untuk menurunkan berbagai komponen untuk transparansi, koordinasi, akuntabilitas dan partisipasi dari para aktor yang terlibat.  Dalam hal ini, tentunya kejujuran dan tindak komunikatif dialogis, -tanpa adanya perasaan hegemonistik dan dominansi oleh satu pihak,- adalah jawaban kunci untuk memperoleh suatu keniscayaan ruang publik yang bersifat solutif.

Dalam tingkat manajerial teknis implementasi, perlu dilakukan pembagian peran di tingkat makro dan mikro untuk membangun kelembagaan kehutanan.  Jika di tingkat makro terdapat Kemenhut dan Kada Propinsi, maka di tingkat tapak, perlu dibangun suatu model pengelola.  Salah satu model yang dapat diadopsi, -dengan berbagai modifikasi yang diperlukan-, adalah sistem KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) yang selama ini telah dilakukan untuk pengelolaan hutan di Jawa.

Dengan basis ini, maka informasi, kebutuhan dan keragaman yang ada di tingkat tapak dapat ditampung dan diselesaikan melalui proses manajerial. Tidak ada lagi, hutan yang “disewakan” lewat proses legitimasi vertikal satu arah yang berakhir dengan konflik di lapangan, seperti yang terjadi selama ini.

Niat baik Presiden melalui Inpres Moratorium, belumlah cukup untuk mendorong munculnya pengelolaan hutan lestari dan berkeadilan.  Pasca pemberlakuan Inpres, tanpa adanya penyelesaian mendasar terhadap sistem tata kelola hutan, maka hanya akan berujung kembali kepada perilaku business as usual seperti selama ini berlaku. Bagaimana tindakan selanjutnya? Mari kita nantikan.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,