,

Laporan IWGFF: Ekspansi Pabrik Pulp, 48 % Bahan Baku Bakal Rambah Hutan Alam

Laporan Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF) mengungkapkan, proyek pulp mills berkapasitas 6,95 juta ton melalui pendirian tujuh pabrik baru yang bakal beroperasi 2017, dinilai terlalu optimistis. Dari studi itu, hutan tanaman industri (HTI) diperkirakan hanya mampu menyediakan 51,6 persen bahan baku. Sisanya, 48, 4 persen, akan menguras dari hutan alam.

IWGFF merupakan sebuah forum terdiri dari Walhi, Cifor, WWF, INFID, FWI dan Telapak dan beberapa anggota individu pemerhati kehutanan, maupun keuangan. Willem Pattinasarany Koordinator IWGFF mengatakan, analisis studi ini memperlihatkan, proyek penambahan kapasitas pabrik oleh Grup Korindo, APP, Djarum, dan Medco, dengan hampir 2 juta hektar tambahan konsesi HTI baru tidak akan mampu menyediakan seluruh bahan baku dari ‘hutan tanaman.’ Bahan baku yang akan dipasok kepada seluruh grup perusahaan ini pun, baik dari hutan tanaman maupun hutan alam diperkirakan melalui proses land clearing.

“Sebab hutan tanaman pun akan diarahkan kepada areal hutan sekunder maupun hutan primer yang berada pada lokasi perizinan,” katanya dalam pernyataan pers, di Jakarta, Jumat(7/12/12). Angka ini diperoleh dari  perbandingan antara total kebutuhah bahan baku dan potensi bahan baku (lihat tabel).

Wirendro Sumargo, penulis studi ini mengungkapkan, dari proyeksi optimistis dan realistis terhadap kemampuan HTI yang tergabung dalam group Korindo, APP, Djarum dan Medco, bisa dikatakan potensi produksi belum cukup memasok seluruh kebutuhan bahan baku pabrik pulp sesuai kapasitas. Mengapa? Kondisi ini disebabkan beberapa hal, yakni, target produksi pulp terlalu tinggi melebihi ketersediaan areal efektif, kinerja penanaman HTI lambat, produkstivitas HTI rendah.

“Jadi, dapat dikatakan secara keseluruhan industri pulp Indonesia masih terus tergantung pada pasokan bahan baku dari hutan alam. Bahkan arah investasi yang selama ini terkonsentrasi di Sumatera bergeser ke Kalimantan dan Papua.”

Kecenderungan investasi ini, kata Wirendro, tetap mengincar kawasan hutan sekunder atau areal bekas tebangan yang masih sangat luas di kedua pulau ini. Yang masih berupa tutupan hutan alam pun akan terancam deforestasi karena praktik tebang habis menjadi HTI.

Berdasarkan hasil analisis tutupan hutan terhadap sejumlah HTI khusus yang tergabung dalam Group Korindo, APP, Djarum dan Medco menunjukkan, di seluruh areal HTI masih ditemukan hutan sekunder bahkan di sebagian masih terdapat hutan primer. Dari total sekitar 1,4 juta hektar HTI yang dianalisis sekitar 271.000 hektar teridentifikasi sebagai hutan sekunder dan sekitar 41.400 hektar hutan primer. “Seharusnya, HTI dialokasikan di tanah kosong, lahan yang sudah terdegradasi terutama alang-alang dan semak belukar.”

Khusus,  di Sumatera dan Kalimantan, ekspansi ini sekaligus mengancam habitat satwa dilindungi dan langka seperti harimau, gajah dan orangutan. Sebab, hutan akan terus menerus untuk menjadi bahan baku bubur kertas. “Ini sejalan dengan laju deforetasi sangat tinggi di Sumatra dengan Riau sebagai provinsi penghasil pulp terbesar di Indonesia,” ujar dia.

Ungkapan senada dari Dedi Ratih, Manager Kampanye dan Advokasi Walhi. Menurut dia, kondisi  ini menyebabkan, upaya perbaikan kondisi hutan alam Indonesia berhadapan dengan kenyataan hutan alam makin terdesak oleh ekspansi terus menerus HTI guna memenuhi kebutuhan industri pulp dan kertas. “Belum lagi konflik tenurial berujung konflik sosial marak dan belum terselesaikan.”

Walhi menilai, tatakelola hutan Indonesia masih sangat buruk. Keadaan ini berdampak pada memburuknya kondisi keragaman hayati di hutan-hutan hujan tropis yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua.

Fakta lain, industri pulp, kata Deddy, selalu kekurangan bahan baku. Keadaan ini, mempertegas keraguan terhadap data Kementerian Kehutanan (Kemenhut) yang melaporkan realisasi penanaman HTI mencapai 5,2 juta hektar sampai pertengahan 2011. “Mestinya HTI seluas ini dapat menghasilkan bahan baku sekitar 130 juta meter kubik per tahun. Jauh melebihi kebutuhan bahan baku industri pulp nasional yang hanya 39 juta meter kubik per tahun.”

Menyadari sektor ini bagi perekonomian Indonesia dan agar rencana investasi industri pulp maupun HTI baru tidak memperburuk permasalahan masa depan hutan negeri ini, studi IWGFF merekomendasikan beberapa hal. Pertama, membangun dan memperkuat database tentang status HTI yang terkini dan dapat dipercaya termasuk data luas areal efektif, laju penanaman tahunan, pertumbuhan kayu dan produktifitas hasil. Termasuk revisi data realisasi hutan tanaman yang membedakan antara HTI pulp dengan HTI perkakas.

Kedua, memastikan pengalokasian seluruh lokasi pencadangan HTI di areal yang sudah tidak berhutan seperti tanah kosong, lahan yang sudah terdegradasi terutama alang-alang dan semak belukar. Kebijakan ekspansi pabrik pulp dan penambahan HTI lebih diarahkan pada penanggulangan persoalan lahan kritis. Ketiga, menerapkan kebijakan stepwise approach untuk new pulp investment sesuai kemampuan pasokan dari HTI yang dibangun secara berkelanjutan.

Sumber: Indonesian Working Group on Forest Finance (IWGFF)
Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,